TERLALU beratkah tuntutan tugas bagi Cory Aquino? Delapan belas bulan sesudah berkuasa, ia konon mulai cemas. Menurut sebuah tulisan Malou Mangahas di koran Manila Chronicle Ahad pekan lalu, kepada sejumlah pembantu dekatnya, Cory sudah menyatakan kekhawatirannya pada kenyataan bahwa ia kurang mempunyai pengalaman dan keahlian sebagai presiden. Bahwa presiden wanita pertama Filipina ini -- yang sering mengakui dirinya bukan seorang "politikus profesional" -- sangat bergantung pada para pembantunya mudah dimaklumi. Soalnya: bisakah ia mengatur personel di sekelilingnya yang sedang berbenturan? Demikianlah ketidakpuasan semakin nyaring terdengar. Cory dianggap lemah. Ia tampak oleng "ke kiri" atau condong "kekanan", terombang-ambing oleh angin mana yang lebih kuat berembus. Pertengahan Maret silam, misalnya. Cory memerintahkan pembubaran seluruh unit pasukan bersenjata nonmiliter, termasuk di dalamnya Civilian Home Defence Force (CHDF) -- semacam hansip bersenjata. Keputusan ini ditentang keras oleh pihak militer, dengan alasan kelompok bersenjata sipil ini masih diperlukan untuk memerangi Komunis. Kelompok-kelompok bersenjata itu bermunculan sebagai cara sebagian masyarakat Filipina untuk mempertahankan diri dari serangan pihak Komunis, karena keterbatasan kemampuan AB melindungi mereka. Kelompok sipil bersenjata yang kesohor antara lain apa yang dikenal sebagai kelompok Tadtad di Provinsi Cebu dan Alsa Masa (Massa yang bangkit) di Mindanao. Unit swasta bersenjata ini, termasuk CHDF, sayangnya juga terkenal bengis terhadap siapa saja yang diduga anggota Komunis. Maklumlah, walaupun sejumlah kelompok mendapat dukungan militer, tak satu pihak pun mengontrol aksi-aksi mereka. Mungkin, dengan pertimbangan itulah Cory memutuskan untuk menghapus mereka saja. Atas desakan kuat militer, Cory seminggu kemudian mengubah keputusannya. "Mereka masih dibutuhkan di lapangan," kata Cory. Sebagai gantinya, Cory memerintahkan suatu penelitian mengenai bagaimana menyatukan kelompok-kelompok paramiliter itu ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Sikap ragu Cory berulang lima bulan kemudian, ketika mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan harga bahan bakar. Keputusan tidak populer ini ditentang kelompok buruh, dan akhirnya membuahkan rangkaian aksi mogok di seluruh Filipina. Aksi yang digerakkan Serikat Buruh ini mencapai puncaknya 26 Agustus lalu, yang melumpuhkan berbagai kota di sana. Inilah mogok umum pertama dalam pemerintahan Cory. Untuk meredakan protes ini, Cory pun "mengalah": tingkat kenaikan harga diturunkan. Sikap longgar Cory, yang ditentang kelompok pengusaha dan sejumlah ekonom itu, kenyataannya tak mempengaruhi aksi mogok para buruh, yang tetap menuntut harga bahan bakar yang lama. Sikap tak tegas terakhir yang diperlihatkan Cory tampak dalam menghadapi kelompok militer pemberontak yang melakukan kudeta, akhir Agustus lalu. Semula, Cory memerintahkan untuk menangkap hidup atau mati Kolonel Gregorio Honasan, pemimpin aksi kudeta gagal yang sampai kini masih buron itu. Belakangan, atas desakan kelompok militer, dan mengingat besarnya mereka yang mendukung kolonel kontroversial itu, Cory tampaknya berniat mengubah keputusannya. Filipina memang negeri yang tak mudah, apalagi setelah sendi-sendi untuk permainan bersama dirusakkan baik oleh bekas Presiden Marcos maupun gerilyawan komunis. Farida Sendjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini