SATU juta peso ditawarkan AFP (angkatan bersenjata Filipina) bagi yang mampu menangkap Gregorio "Gringo" Honasan, hidup atau mati. Seperempat dari hadiah itu kabarnya ditanggung sendiri oleh Kastaf AFP Jenderal Fidel V. Ramos. Sisanya dipikul bersama oleh tokoh-tokoh militer lainnya. Adakah iming-iming ini menciptakan peluang lebih besar untuk menangkap Honasan? Belum tentu. Dalam ketidakberdayaan. Jenderal Ramos berusaha menunjukkan bahwa inisiatif tetap ada, kendati terbatas pada mengundang seorang pembunuh bayaran. Sementara itu, masyarakat dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri tentang kudeta gagal yang dilancarkan Honasan, dan krisis tersamar yang kini meruyak dalam tubuh militer. Walau dapat dipatahkan, Honasan belum sepenuhnya kandas. Ternyata, 834 kadet akademi militer Filipina (PMA) di Baguio melancarkan mogok makan sebagai tanda simpati kepadanya. Dukungan ini terang-terangan diperlihatkan di depan Wapres Salvador Laurel, yang diutus Cory untuk menemui taruna itu pekan lalu. Ketika Laurel menyatakan bahwa ada kemungkinan Honasan dan kawan-kawan diampuni, kontan para kadet bersorak sambil memukul-mukul meja. Mereka antusias, tanpa takut dituding berkomplot dengan pemberontak. Dalam kemelut berkepanjangan ini -- kudeta Honasan tercatat sebagai yang kelima dan paling berbahaya -- tidak ada iagi batas antara pembangkang dan loyalis. Disiplin militer mirip bubur yang lumat terinjak-injak. Toh, Presiden Cory Aquino mengajak rakyat merangkul AFP. Imbauan ini tak bergema. Sementara itu, Honasan dari persembunyiannya menawarkan waancara eksklusif seharga US$ 20.000 yang ternyata pekan ini dimenangkan majalah Newsweek. Apa yang dicari Honasan ? Perubahan pada pucuk pimpinan AFP (Ramos supaya diganti), kesejahteraan tentara diperhatikan, sejujurlah menteri yang kekiri-kirian dicopot. Sikap Cory sebagai panglima tertinggi AFP yang semula sangat lunak pada komunis memacu antipati mereka. Dalam kondisi seperti itu, gaji prajurit yang sekitar Rp 125 ribu sebulan kian terasa tak ada nilainya. Kas pemerintah Cory memang hampir kosong, tapi kurangnya perhatian pada prajurit juga bisa dibilang keterlaluan. Di bawah Cory AFP harus menyesuaikan diri dengan tatanan demokrasi yang melembagakan supremasi sipil atas militer. Mereka semula kagok, lalu merasa diperlakukan tidak adil karena pemerintah Cory bertekad mengusut pelanggaran hak-hak asasi yang dulu dilakukan pihak militer. Proses pemurnian militer dilakukan gencar, tapi konsolidasi tersendat-sendat. Sementara itu, militer tercerabut dari dunia bisnis dan politik mereka diharuskan kembali ke barak. Tak hanya itu. Presiden ketujuh Republik Filipina ini memperagakan sikap kompromistis terhadap pemberontak komunis, hingga tentara merasa kian terpojok. Dari sini Cory sudah memberi aba-aba tidak lagi memberikan peluang kepada militer untuk ikut campur tangan dalam mengatur kebijaksanaan politik. Ia tak akan mengulangi pola hubungan sipil-militer zaman Marcos, dan ini didukung Ramos. Ketika bekas Menhan Juan Ponce Enrile didepak dari Malacanang, November silam pola depolitisasi militer kian nyata. Sementara itu, Honasan ikut tersingkir dan sempat diambangkan. Ia sebelumnya dicurigai merancang satu kudeta, tapi belum apa-apa sudah terbongkar, Oktober 1986. Honasan gagal lagi awal bulan ini, tapi ulahnya berhasil memaksa pemerintah lebih memperhatikan nasib AFP. Belum lama ini tercapai kesepakatan Cory-Ileto untuk menaikkan gaji prajurit 60%, sedang pelaksanaannya tinggal menunggu persetujuan Kongres. Tapi di samping itu, masih ada dua tuntutan Honasan yang belum terpenuhi: pemecatan para menteri berhaluan kiri dan penggantian pucuk pimpinan AFP. Andai kata kelak sekretaris eksekutif Joker Arroyo terpental dari sisi Cory, maka peristiwa ini boleh dicatat sebagai keberhasilan Honasan yang kedua. Tapi sejauh yang menyangkut Ramos -- ia kabarnya sudah mengajukan surat pengunduran diri -- Cory tampaknya masih memerlukan jenderal ini. Lagi pula, Ramos, yang dianggap berwatak lemah itu, ternyata cukup populer di kalangan militer. Hasil survei yang dilakukan oleh pakar militer Prof. Felipe B. Miranda dari University of the Philippines menunjukkan bahwa 70% perwira AFP masih melihat Ramos sebagai tokoh panutan yang bersih dan tanpa cacat. Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini