Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seorang indonesia di rrc

Laporan ketua pbsi sudirman tentang kehidupan di peking, cina, dalam rangka menghadiri invitasi bulu tangkis asia iii. kesederhanaan dan persamaan menimbulkan disiplin olahragawan berprestasi. (ln)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA PBSI Sudirman baru saja kembali dari Peking untuk menghadiri Invitasi Bulutangkis Asia III. Di samping mengurus soal perbulutangkisan, ia juga memperhatikan kehidupan sehari-hari di sana. Inilah kesan-kesannya seperti diceritakan kepada Herry Komar dan A. Dahana dari TEMPO: Kalau kita baca atau dengar cerita, RRC seringkali dilukiskan sebagai negara tertutup, menyeramkan. Apa yang disaksikan adalah kebalikan dari cerita-cerita burung itu. Orangnya ramah-tamah, suasananya terbuka dan bebas. Saya tak merasa diawasi seperti kata orang. Pemandu saya yang bernama keluarga Liu -- pernah bertugas pada Kedubes RRC di Jakarta selama 5 tahun -- menawarkan apa saja yang ingin saya lihat. Ia juga berusaha memberi jawaban sejelas-jelasnya atas segala pertanyaan. Yang namanya ibukota Peking tak lebih bagus dari Cibinong. Cuma jalannya lebar-lebar dan kotanya luas. Tahun 1963 saya pernah ke Peking. Tak ada perubahan menyolok, kecuali beberapa gedung bertingkat di sana-sini. Jalanjalan lebar itu sepi dari kendaraan beri motor. Yang banyak cuma sepeda, karena itulah kendaraan utama. Mobil ada tapi kebanyakan bus dan truk. Jarang sekali kelihatan mobil sedan. Selama di Peking saya cuma lihat 3 polisi lalu lintas. Ada traffic-light, tapi karena jalanan sepi, lampu merah sering dilewati saja. Sekarang pemerintah baru mulai menempuh "long march" baru. Bukan long march militer seperti yang dilahirkan oleh Mao 43 tahun lalu, tetapi long march pembangunan. Artinya memberi penghidupan sederhana yang pokok kepada rakyat yaitu sandang, pangan dan papan. Penghidupan di RRC merupakan praktek suatu ekonomi dengan biaya hidup yang rendah. Gaji seorang dokter 80 yuan (Rp 20.000) per bulan. Sewa rumah termasuk listrik dan air 7 yuan (Rp 1.750). Uang sekolah anak 2 yuan (Rp 450). Harga beras per kilo tidak pernah turun atau naik kurang dari 3 sen sana atau Rp 60. Kalau mau berobat ke rumah sakit cukup membayar uang pendaftaran sebesar 10 sen saja. Di Peking saya mendapat serangan tekanan darah tinggi dan dirawat di RS dan tak bayar sepeser pun. RS-nya bagus, bersih. Jauh lebih baik dari RSCM di Jakarta. Pelayanan baik dan dokter kelihatan ahli dalam tugasnya. Obat yang diberikan cukup baik. Cuma tidak pakai embel-embel. Obat adalah obat, tanpa bentuk indah, dilapisi gula dan improvisasi-improvisasi lain. Sesuai dengan prinsip "ekonomi murah" itu, maka kesederhanaan merupakan suatu hal yang paling menyolok di negara itu. Ini kelihatan dalam segala kehidupan mulai dari cara berpakaian, perumahan ataupun hal-hal lain. Makanan terutama beras dijatah. Setiap orang mendapat kupon untuk membeli beras di tempat-tempat yang ditentukan. Jatahnya 125 gram sehari. Penjatahan dimaksudkan agar semua orang mendapat makan secara wajar tanpa berlebihan dan mencegah pemborosan. Kalau tidak demikian, bayangkan saja harus memberi makan 900 juta mulut. Cara berpakaian semua orang sangat sederhana. Warna pakaian hanya 2 macam: putih dan hitam. Jarang sekali orang berpakaian dengan warna menyolok atau cemerlang. Potongannya pun gedombrongan, tak ada gaya. Pokoknya cukup untuk menutup tubuh. Demikian pula wanitanya. Mereka berpakaian sangat bersahaja, tanpa make-up atau perhiasan. Rambut cukup dicocang (dikepang) saja. "Himbauan seks" (sex-appeal) pada wanita tidak ditonjolkan sama sekali. Katanya ini disengaja agar tak ada gairah dari pihak laki-laki. Dengan demikian semua orang, laki maupun perempuan, hanya berkonsentrasi pada kerja. Tidak ada gangguan lain. Ini mengingatkan saya pada peristiwa bulan September tahun lalu di Hongkong dalam acara-acara Invitasi Bulu Tangkis se Asia di Hongkong. Pada waktu itu tuan rumah mengundang seluruh peserta dalam suatu pesta. Ketika pertunjukan tari telanjang (strip tease) dipertunjukkan, saya lirik para peserta RRC yang hadir. Sangkaan saya tentu mereka akan terkesiap dengan tarian merangsang itu. Tapi ternyata seluruh peserta RRC menundukkan kepala. Kehidupan sederhana dan puritan ini, ditambah dengan prinsip samarata sama-rasa, juga terbayang dalam kehidupan para pemimpinnya. Dalam suatu resepsi di Balairung Besar Rakyat saya sempat bertemu muka dengan Wakil PM Teng Hsiao-ping dan Jenderal Ch'en Hsi-lien. Teng orangnya kecil pendek tapi kelihatan gesit dan masih segar. Bajunya seragam jas tutup sederhana. Sepatunya dari kanvas bukan kulit. Menurut kabar orang tak banyak tahu tentang hidup pribadinya, siapa isterinya, apa kendaraannya. Malahan orang tak tahu di mana rumahnya. Ketika ia tahu ada delegasi dari Indonesia, dengan perantaraan juru bahasa ia mengatakan "Saya gembira ada peserta dari Indonesia. Saya pun berharap agar hubungan persahabatan antara kedua negara kita dapat segera terwujud." Akan hubungan dengan Indonesia ini, pemandu saya, Liu mengatakan "Dari pihak kami tak ada soal lagi dalam hubungan Peking-Jakarta. Semuanya terletak di tangan Indonesia." Kalau Soviet Menyerang . . . Yang amat mengesankan dari para penggede RRC, selain bersahaja juga cara bawahannya bergaul dengan dia. Ketika kedua pembesar itu masuk, tak ada protokol yang mengumumkan kedatangannya. Mereka masuk begitu saja, sehingga tak tahu kalau keduanya merupakan orang kuat RKC sekarang. Orang pun tidak nanak-nunuk kalau mau bicara dengan dia. Santai dan wajar saja. Persamaan juga kelihatan dalam kemiliteran. Semua anggota tentara berbaju hijau kedodoran. Tak ada tanda-tanda khusus yang menunjukkan mana jenderal, mana kopral, mana prajurit. Juga perlakuan orang sipil kepada militer. Dalam suatu perjalanan, mobil kami meliwati sekelompok anggota Tentara Pembebasan Rakyat. Klakson dipijat supir dengan keras dan berkali-kali. Bung supir malahan memaki karena mereka terlambat menepi. Ketika bung supir ditegor, dengan seenaknya ia menjawab "Mereka kan pelindung rakyat." Di dalam kota tidak kelihatan anggota tentara berseliweran. Kesederhanaan, kewajaran dan persamaan ini menimbulkan disiplin. Orang lebih disibukkan dengan kerja. Hiburan tidak ada, apalagi yang berbau "maksiat." Dengan disiplin ini bulutangkis mereka maju pesat. Karena para pemain berlatih dengan penuh dedikasi. Pemain hanya memusatkan diri pada latihan. Disiplin datang dengan sendirinya, sehingga pengurus tak usah repot memaksakannya. Tak mengherankan apabila dalam 3 atau 4 tahun mendatang mereka akan merebut supremasi bulutangkis dari kita. Yang menyebabkannya juga karena jaminan pemerintah pada olahragawan berprestasi. Kalau seorang pemain harus berlatih dan bapak atau ibunya sakit, maka pemerintah menugaskan orang buat mengurus si sakit. Dengan demikian konsentrasi pemain tidak berantakan. Saya tanya mereka, kalau kebutuhan setiap orang sudah dipenuhi pemerintah, kenapa banyak orang lari keluar RRC. Jawabnya: "Mereka itu adalah orang-orang yang mau hidup mewah atau lebih dari apa yang mereka peroleh di sini. Kalau mereka sudi hidup secara sederhana, pasti tak akan lari." Atas permintaan saya sendiri, saya diajak menyaksikan sistem pertahanan rakyat. Saya dibawa ke satu bagian kota. Di suatu sudut jalan, komandan pertahanan rakyat setempat yang mendampingi saya memijat sebuah tombol. Di lantai trotoir terbukalah sebuah pintu selebar 1,5 meter. Turun kira-kira sedalam 15 meter terdapatlah suatu terowongan panjang sekali. Tingginya kira-kira 1,8 meter sedangkan lebarnya kira-kira 1,5 meter. Saya dibolehkan berjalan di gang itu sejauh-jauhnya sampai 3 kilometer. Hampir pingsan karena kelelahan. Dalam lubang perlindungan tersedia berbagai fasilitas mulai dari kamar mandi, rumah sakit sampai dapur. Kalau Soviet menyerang, seluruh terowongan di bawah kota Peking sanggup memberi tempat buat seluruh penduduk. Oleh seorang penghuni komune saya ditanya "Tuan orang mana?". Ketika saya jawab dari Indonesia, ia tahu di mana Indonesia. Bahkan ia pun tahu bahwa wakil presiden kita adalah Adam Malik. Saya punya kesan mereka cukup tahu tentang dunia di luar mereka. Ini berkat sistim komunikasi dan penerangan yang walaupun sederhana cukup efektif. Koran dan bahan bacaan lain bertumpuk dan mudah didapat, walaupun baik cetakan maupun kertasnya sangat kasar. Saya berkesempatan juga menyaksikan mausoleum Mao Tse-Tung. Jenazah Mao diletakkan di sebuah peti kaca. Sampai batas leher badannya ditutup dengan bendera RRC. Muka Mao kelihatan tak wajar, terlalu berkerut dan warnanya kekuning-kuningan. Jarak antara penonton dengan jenazah Mao agak jauh, sekitar 34 meter, sehingga penglihatan tidak cukup jelas. Tiap hari pengunjung cukup banyak. Satu-satunya orang yang jadi pujaan adalah "Ketua Mao." Gambarnya terpampang di mana-mana. Di lapangan udara internasional Peking sebuah gambar raksasa Mao dan Hua Kuo-feng seolah-olah mengucapkan selamat datang. Chou En-lai juga dipuja. Di dalam mausoleum Mao terpampang beberapa potret Mao dan Chou ketika mereka berjuang bersama-sama. "Omong kosong kalau Ketua Mao dan Perdan Menteri Chou selalu bertengkar. Mereka selalu bekerja sama," kata Liu. Gambar-gambar lain yang sering terpampang selain Mao dan Hua Kuo-feng adalah, Stalin, Marx dan Engels. Tempolong Di Mana-mana Pogram yang paling getol dijalankan RRC sekarang adalah "Empat Modernisasi". Ini mencakup bidang-bidang industri, pertanian, pertahanan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Ambisinya di tahun 2000 nanti RRC harus jadi negara modern dan menyamai bahkan melampaui negara-negara modern di dunia bebas sekarang. Bayangkan kalau ini tercapai. RRC yang modern dengan milyar penduduknya pasti bisa membuat kita keteter. Saya tanya: "Kalau modernisasi tercapai, termasuk mekanisme, tentunya akan terjadi pengangguran besar-besaran." Jawabnya: "Kami tak khawatir, karena negeri lain masih luas. Banyak daerah-daerah yang belum tergarap." Saya bertemu dengan bekas hoakiao dari Indonesia yang giat dalam olahraga bulutangkis. Dengan Lin Feng-yu (Liu Hong Giok) saya ngobrol. Ia sahabat saya, dulu bekerja sebagai wartawan Keng Po dan pulang negeri sekitar tahun 1957. Sampai tahun 1956, ketika saya jadi ketua PBSI, Hong Giok-lah yang jadi wakil ketua. Lim yang berumur 50-an itu sekarang menjadi wakli Ketua Persatuan Bulutangkis RRC. Waktu ngobrol-ngobrol dengan para pengurus bulutangkis itu, secara bergurau saya menunjuk Lim sambil mengatakan: "Orang ini yang dulu menganjurkan saya masuk IBF. Sekarang tuan-tuanlah yang menyuruh saya keluar dari IBF. Gimana nih?" Mereka ketawa keras sambil mengatakan: "Ah, itu kan dulu!". Secara simpatik mereka menawarkan kerja-sama memajukan perbulutangkisan antara Indonesia dengan RRC. Kalau perlu, kata mereka "setiap saat kami bisa mengirim Feng-yu ke Jakarta buat menceritakan pengalaman-pengalaman kami." Saya berjumpa pula dengan pemain wanita asal Jawa Tengah (Solo) Chen Yu-niang (Tan Giok Nio? red). Ngomongnya masih medok, malahan saya ngomong Jawa dengan dia. Umurnya sebaya dengan Minarni. Yang hebat, Yu-niang ini menjadi anggota Kongres Rakyat Nasional mewakili olahragawan. Karenanya ia sangat bebas bergaul dan kenal semua penggede RRC. Masih ada satu soal yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dari kebiasaan rakyat: meludah dan mereak. Rupanya dalam hal ini pemerintah terpaksa berkompromi. Di mana-mana ada tempolong: di sudut, ruangan resepsi, kamar, dekat tangga hotel dan lain-lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus