KETUA PBSI Sudirman baru saja kembali dari Peking untuk
menghadiri Invitasi Bulutangkis Asia III. Di samping mengurus
soal perbulutangkisan, ia juga memperhatikan kehidupan
sehari-hari di sana. Inilah kesan-kesannya seperti diceritakan
kepada Herry Komar dan A. Dahana dari TEMPO:
Kalau kita baca atau dengar cerita, RRC seringkali dilukiskan
sebagai negara tertutup, menyeramkan. Apa yang disaksikan adalah
kebalikan dari cerita-cerita burung itu. Orangnya ramah-tamah,
suasananya terbuka dan bebas. Saya tak merasa diawasi seperti
kata orang. Pemandu saya yang bernama keluarga Liu -- pernah
bertugas pada Kedubes RRC di Jakarta selama 5 tahun --
menawarkan apa saja yang ingin saya lihat. Ia juga berusaha
memberi jawaban sejelas-jelasnya atas segala pertanyaan.
Yang namanya ibukota Peking tak lebih bagus dari Cibinong. Cuma
jalannya lebar-lebar dan kotanya luas. Tahun 1963 saya pernah
ke Peking. Tak ada perubahan menyolok, kecuali beberapa gedung
bertingkat di sana-sini. Jalanjalan lebar itu sepi dari
kendaraan beri motor. Yang banyak cuma sepeda, karena itulah
kendaraan utama. Mobil ada tapi kebanyakan bus dan truk. Jarang
sekali kelihatan mobil sedan. Selama di Peking saya cuma lihat 3
polisi lalu lintas. Ada traffic-light, tapi karena jalanan sepi,
lampu merah sering dilewati saja.
Sekarang pemerintah baru mulai menempuh "long march" baru. Bukan
long march militer seperti yang dilahirkan oleh Mao 43 tahun
lalu, tetapi long march pembangunan. Artinya memberi penghidupan
sederhana yang pokok kepada rakyat yaitu sandang, pangan dan
papan.
Penghidupan di RRC merupakan praktek suatu ekonomi dengan biaya
hidup yang rendah. Gaji seorang dokter 80 yuan (Rp 20.000) per
bulan. Sewa rumah termasuk listrik dan air 7 yuan (Rp 1.750).
Uang sekolah anak 2 yuan (Rp 450). Harga beras per kilo tidak
pernah turun atau naik kurang dari 3 sen sana atau Rp 60. Kalau
mau berobat ke rumah sakit cukup membayar uang pendaftaran
sebesar 10 sen saja.
Di Peking saya mendapat serangan tekanan darah tinggi dan
dirawat di RS dan tak bayar sepeser pun. RS-nya bagus, bersih.
Jauh lebih baik dari RSCM di Jakarta. Pelayanan baik dan dokter
kelihatan ahli dalam tugasnya. Obat yang diberikan cukup baik.
Cuma tidak pakai embel-embel. Obat adalah obat, tanpa bentuk
indah, dilapisi gula dan improvisasi-improvisasi lain.
Sesuai dengan prinsip "ekonomi murah" itu, maka kesederhanaan
merupakan suatu hal yang paling menyolok di negara itu. Ini
kelihatan dalam segala kehidupan mulai dari cara berpakaian,
perumahan ataupun hal-hal lain. Makanan terutama beras dijatah.
Setiap orang mendapat kupon untuk membeli beras di tempat-tempat
yang ditentukan. Jatahnya 125 gram sehari. Penjatahan
dimaksudkan agar semua orang mendapat makan secara wajar tanpa
berlebihan dan mencegah pemborosan. Kalau tidak demikian,
bayangkan saja harus memberi makan 900 juta mulut.
Cara berpakaian semua orang sangat sederhana. Warna pakaian
hanya 2 macam: putih dan hitam. Jarang sekali orang berpakaian
dengan warna menyolok atau cemerlang. Potongannya pun
gedombrongan, tak ada gaya. Pokoknya cukup untuk menutup tubuh.
Demikian pula wanitanya. Mereka berpakaian sangat bersahaja,
tanpa make-up atau perhiasan. Rambut cukup dicocang (dikepang)
saja. "Himbauan seks" (sex-appeal) pada wanita tidak ditonjolkan
sama sekali. Katanya ini disengaja agar tak ada gairah dari
pihak laki-laki. Dengan demikian semua orang, laki maupun
perempuan, hanya berkonsentrasi pada kerja. Tidak ada gangguan
lain.
Ini mengingatkan saya pada peristiwa bulan September tahun lalu
di Hongkong dalam acara-acara Invitasi Bulu Tangkis se Asia di
Hongkong. Pada waktu itu tuan rumah mengundang seluruh peserta
dalam suatu pesta. Ketika pertunjukan tari telanjang (strip
tease) dipertunjukkan, saya lirik para peserta RRC yang hadir.
Sangkaan saya tentu mereka akan terkesiap dengan tarian
merangsang itu. Tapi ternyata seluruh peserta RRC menundukkan
kepala.
Kehidupan sederhana dan puritan ini, ditambah dengan prinsip
samarata sama-rasa, juga terbayang dalam kehidupan para
pemimpinnya. Dalam suatu resepsi di Balairung Besar Rakyat saya
sempat bertemu muka dengan Wakil PM Teng Hsiao-ping dan Jenderal
Ch'en Hsi-lien. Teng orangnya kecil pendek tapi kelihatan gesit
dan masih segar. Bajunya seragam jas tutup sederhana. Sepatunya
dari kanvas bukan kulit. Menurut kabar orang tak banyak tahu
tentang hidup pribadinya, siapa isterinya, apa kendaraannya.
Malahan orang tak tahu di mana rumahnya. Ketika ia tahu ada
delegasi dari Indonesia, dengan perantaraan juru bahasa ia
mengatakan "Saya gembira ada peserta dari Indonesia. Saya pun
berharap agar hubungan persahabatan antara kedua negara kita
dapat segera terwujud." Akan hubungan dengan Indonesia ini,
pemandu saya, Liu mengatakan "Dari pihak kami tak ada soal lagi
dalam hubungan Peking-Jakarta. Semuanya terletak di tangan
Indonesia."
Kalau Soviet Menyerang . . .
Yang amat mengesankan dari para penggede RRC, selain bersahaja
juga cara bawahannya bergaul dengan dia. Ketika kedua pembesar
itu masuk, tak ada protokol yang mengumumkan kedatangannya.
Mereka masuk begitu saja, sehingga tak tahu kalau keduanya
merupakan orang kuat RKC sekarang. Orang pun tidak nanak-nunuk
kalau mau bicara dengan dia. Santai dan wajar saja.
Persamaan juga kelihatan dalam kemiliteran. Semua anggota
tentara berbaju hijau kedodoran. Tak ada tanda-tanda khusus yang
menunjukkan mana jenderal, mana kopral, mana prajurit. Juga
perlakuan orang sipil kepada militer. Dalam suatu perjalanan,
mobil kami meliwati sekelompok anggota Tentara Pembebasan
Rakyat. Klakson dipijat supir dengan keras dan berkali-kali.
Bung supir malahan memaki karena mereka terlambat menepi. Ketika
bung supir ditegor, dengan seenaknya ia menjawab "Mereka kan
pelindung rakyat." Di dalam kota tidak kelihatan anggota tentara
berseliweran.
Kesederhanaan, kewajaran dan persamaan ini menimbulkan disiplin.
Orang lebih disibukkan dengan kerja. Hiburan tidak ada, apalagi
yang berbau "maksiat."
Dengan disiplin ini bulutangkis mereka maju pesat. Karena para
pemain berlatih dengan penuh dedikasi. Pemain hanya memusatkan
diri pada latihan. Disiplin datang dengan sendirinya, sehingga
pengurus tak usah repot memaksakannya. Tak mengherankan apabila
dalam 3 atau 4 tahun mendatang mereka akan merebut supremasi
bulutangkis dari kita.
Yang menyebabkannya juga karena jaminan pemerintah pada
olahragawan berprestasi. Kalau seorang pemain harus berlatih dan
bapak atau ibunya sakit, maka pemerintah menugaskan orang buat
mengurus si sakit. Dengan demikian konsentrasi pemain tidak
berantakan.
Saya tanya mereka, kalau kebutuhan setiap orang sudah dipenuhi
pemerintah, kenapa banyak orang lari keluar RRC. Jawabnya:
"Mereka itu adalah orang-orang yang mau hidup mewah atau lebih
dari apa yang mereka peroleh di sini. Kalau mereka sudi hidup
secara sederhana, pasti tak akan lari."
Atas permintaan saya sendiri, saya diajak menyaksikan sistem
pertahanan rakyat. Saya dibawa ke satu bagian kota. Di suatu
sudut jalan, komandan pertahanan rakyat setempat yang
mendampingi saya memijat sebuah tombol. Di lantai trotoir
terbukalah sebuah pintu selebar 1,5 meter. Turun kira-kira
sedalam 15 meter terdapatlah suatu terowongan panjang sekali.
Tingginya kira-kira 1,8 meter sedangkan lebarnya kira-kira 1,5
meter. Saya dibolehkan berjalan di gang itu sejauh-jauhnya
sampai 3 kilometer. Hampir pingsan karena kelelahan.
Dalam lubang perlindungan tersedia berbagai fasilitas mulai dari
kamar mandi, rumah sakit sampai dapur. Kalau Soviet menyerang,
seluruh terowongan di bawah kota Peking sanggup memberi tempat
buat seluruh penduduk.
Oleh seorang penghuni komune saya ditanya "Tuan orang mana?".
Ketika saya jawab dari Indonesia, ia tahu di mana Indonesia.
Bahkan ia pun tahu bahwa wakil presiden kita adalah Adam Malik.
Saya punya kesan mereka cukup tahu tentang dunia di luar mereka.
Ini berkat sistim komunikasi dan penerangan yang walaupun
sederhana cukup efektif. Koran dan bahan bacaan lain bertumpuk
dan mudah didapat, walaupun baik cetakan maupun kertasnya sangat
kasar.
Saya berkesempatan juga menyaksikan mausoleum Mao Tse-Tung.
Jenazah Mao diletakkan di sebuah peti kaca. Sampai batas leher
badannya ditutup dengan bendera RRC. Muka Mao kelihatan tak
wajar, terlalu berkerut dan warnanya kekuning-kuningan. Jarak
antara penonton dengan jenazah Mao agak jauh, sekitar 34 meter,
sehingga penglihatan tidak cukup jelas. Tiap hari pengunjung
cukup banyak.
Satu-satunya orang yang jadi pujaan adalah "Ketua Mao."
Gambarnya terpampang di mana-mana. Di lapangan udara
internasional Peking sebuah gambar raksasa Mao dan Hua Kuo-feng
seolah-olah mengucapkan selamat datang. Chou En-lai juga dipuja.
Di dalam mausoleum Mao terpampang beberapa potret Mao dan Chou
ketika mereka berjuang bersama-sama. "Omong kosong kalau Ketua
Mao dan Perdan Menteri Chou selalu bertengkar. Mereka selalu
bekerja sama," kata Liu. Gambar-gambar lain yang sering
terpampang selain Mao dan Hua Kuo-feng adalah, Stalin, Marx dan
Engels.
Tempolong Di Mana-mana
Pogram yang paling getol dijalankan RRC sekarang adalah "Empat
Modernisasi". Ini mencakup bidang-bidang industri, pertanian,
pertahanan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Ambisinya di tahun
2000 nanti RRC harus jadi negara modern dan menyamai bahkan
melampaui negara-negara modern di dunia bebas sekarang.
Bayangkan kalau ini tercapai. RRC yang modern dengan milyar
penduduknya pasti bisa membuat kita keteter. Saya tanya: "Kalau
modernisasi tercapai, termasuk mekanisme, tentunya akan terjadi
pengangguran besar-besaran." Jawabnya: "Kami tak khawatir,
karena negeri lain masih luas. Banyak daerah-daerah yang belum
tergarap."
Saya bertemu dengan bekas hoakiao dari Indonesia yang giat dalam
olahraga bulutangkis. Dengan Lin Feng-yu (Liu Hong Giok) saya
ngobrol. Ia sahabat saya, dulu bekerja sebagai wartawan Keng Po
dan pulang negeri sekitar tahun 1957. Sampai tahun 1956, ketika
saya jadi ketua PBSI, Hong Giok-lah yang jadi wakil ketua. Lim
yang berumur 50-an itu sekarang menjadi wakli Ketua Persatuan
Bulutangkis RRC.
Waktu ngobrol-ngobrol dengan para pengurus bulutangkis itu,
secara bergurau saya menunjuk Lim sambil mengatakan: "Orang ini
yang dulu menganjurkan saya masuk IBF. Sekarang tuan-tuanlah
yang menyuruh saya keluar dari IBF. Gimana nih?" Mereka ketawa
keras sambil mengatakan: "Ah, itu kan dulu!". Secara simpatik
mereka menawarkan kerja-sama memajukan perbulutangkisan antara
Indonesia dengan RRC. Kalau perlu, kata mereka "setiap saat
kami bisa mengirim Feng-yu ke Jakarta buat menceritakan
pengalaman-pengalaman kami."
Saya berjumpa pula dengan pemain wanita asal Jawa Tengah (Solo)
Chen Yu-niang (Tan Giok Nio? red). Ngomongnya masih medok,
malahan saya ngomong Jawa dengan dia. Umurnya sebaya dengan
Minarni. Yang hebat, Yu-niang ini menjadi anggota Kongres Rakyat
Nasional mewakili olahragawan. Karenanya ia sangat bebas bergaul
dan kenal semua penggede RRC.
Masih ada satu soal yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dari
kebiasaan rakyat: meludah dan mereak. Rupanya dalam hal ini
pemerintah terpaksa berkompromi. Di mana-mana ada tempolong: di
sudut, ruangan resepsi, kamar, dekat tangga hotel dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini