Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YULIANTO melenggang keluar dari kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, Senin siang pekan lalu. Kepala Subdirektorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung ini, beserta lima anak buahnya, kembali ke Jakarta lebih awal. Soalnya, rencana mereka memeriksa Dahlan Iskan batal. "DI (Dahlan Iskan) membuat surat dan memberitahukan kondisinya tidak sehat," kata Yulianto, Senin pekan lalu.
Pemanggilan Dahlan kali ini merupakan tindak lanjut atas penerbitan surat perintah penyidikan yang diteken Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Fadil Zumhana pada 26 Januari lalu. Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara itu sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 16 unit mobil listrik jenis minibus dan bus eksekutif.
Jaksa menjerat Dahlan dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur hukuman atas kejahatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan cara merugikan keuangan negara. Ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menjadikan Dahlan sebagai tersangka dalam kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha pada 2003. Kala itu, Dahlan menjadi direktur utama di badan usaha milik daerah Jawa Timur tersebut. Jaksa menuduh Dahlan melepas aset BUMD tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan Dahlan berkukuh melepas dan menukar aset BUMD setelah mendapat "lampu hijau" dari Gubernur dan pimpinan DPRD Jawa Timur. Kasus ini masih dalam proses persidangan. Dahlan untuk sementara berstatus tahanan kota.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan dasar penetapan kembali Dahlan sebagai tersangka adalah putusan kasasi Mahkamah Agung atas terdakwa Dasep Ahmadi. Putusan itu menyebutkan Dasep "terbukti korupsi bersama-sama" dalam proyek mobil listrik, sesuai dengan dakwaan primer jaksa. Mahkamah juga menambah hukuman Dasep dari tujuh tahun menjadi sembilan tahun penjara. "Yang dimaksud 'bersama-sama' Dasep dalam dakwaan primer itu tiada lain adalah DI," ujar Prasetyo.
Dasep adalah pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama, perusahaan yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek pengadaan 16 mobil listrik untuk keperluan Konferensi Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 2013. Dahlan mengusulkan proyek mobil listrik itu dalam rapat kabinet yang dihadiri Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.
Supaya tidak membebani negara, waktu itu Dahlan menawarkan pendanaan proyek kepada sejumlah BUMN. Akhirnya ada tiga BUMN yang bersedia mendanai, yakni PT BRI, PT PGN, dan PT Pertamina. Ketiga perusahaan pelat merah itu mengeluarkan dana corporate social responsibility sebesar Rp 32 miliar dan meminta semua mobil listrik siap jalan sebelum pembukaan Konferensi APEC pada 1 Oktober 2013.
Dasep gagal memenuhi target. Sampai pembukaan Konferensi APEC, dia hanya merampungkan tiga mobil. Sisanya ia kerjakan setelah itu. Inilah yang menjadi amunisi jaksa untuk menyeret Dasep ke meja hijau. Menurut jaksa, Dasep pun tak mengantongi sertifikat ahli, hak cipta, atau paten dalam pembuatan mobil listrik.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung saat itu, Maruli Hutagalung, meneken surat perintah penyidikan terhadap Dasep pada Juni 2015. "Sebenarnya dari dulu saya mau menjadikan DI tersangka, tapi saya keburu dipindah," kata Maruli, yang kini menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Di bawah kepemimpinan Maruli pula Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kemudian menjadikan Dahlan Iskan sebagai tersangka kasus pelepasan aset BUMD. "Sewaktu saya masuk, kasusnya masih penyelidikan. Saya percepat masuk penyidikan," ujar Maruli.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, jaksa mendakwa Dasep melakukan korupsi bersama-sama Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan. Menurut jaksa, Dahlan yang menunjuk Dasep sebagai pelaksana proyek pengadaan mobil listrik yang belakangan mereka anggap merugikan keuangan negara. Jaksa pun menuntut Dasep dihukum 12 tahun dan membayar ganti rugi Rp 32 miliar.
Pada Maret 2016, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Dasep tujuh tahun penjara dan ganti rugi Rp 17,9 miliar. Namun, dalam amar putusan itu, hakim menyatakan Dasep tidak terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Untuk sementara, bidikan jaksa atas Dahlan pun meleset.
Tak terima atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kejaksaan mengajukan permohonan banding. Namun Pengadilan Tinggi malah menguatkan putusan tingkat pertama. Jaksa lantas mengajukan permohonan kasasi pada Juni 2016. Majelis kasasi yang diketuai hakim agung Artidjo Alkostar mengabulkan permohonan jaksa pada 7 November 2016.
Kejaksaan Agung menerima salinan putusan kasasi itu pada 16 Januari lalu. Melihat ada celah pada frasa "korupsi bersama-sama", Jaksa Agung Prasetyo langsung memerintahkan tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus untuk menindaklanjuti putusan yang memperberat hukuman atas Dasep itu.
Atas instruksi Jaksa Agung, tim penyidik bergegas menggelar perkara. Lewat dua kali ekspose yang dihadiri semua pemimpin Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, penyidik akhirnya menaikkan status Dahlan yang sebelumnya saksi menjadi tersangka. "Pada ekspose terakhir, kami mempertimbangkan petikan putusan itu," kata seorang jaksa penyidik.
Setelah menghadiri sidang pada Jumat dua pekan lalu, Dahlan menanggapi penyematan lagi status tersangka atas dirinya. "Saya kira yang mulia Jaksa Agung mungkin ingin dapat menjadikan seorang Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN dan tokoh pers Indonesia, menjadi tersangka tiga kali," ujar Dahlan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. Menurut Dahlan, ketiga kasus yang dituduhkan jaksa kepada dirinya tak satu pun yang berkaitan dengan suap-menyuap.
Selain dalam kasus mobil listrik dan BUMD Jawa Timur, kejaksaan membidik Dahlan dalam kasus pengadaan gardu induk listrik PLN Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2011. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sempat menjadikan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara ini sebagai tersangka. Namun, pada Agustus 2015, hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penetapan status tersangka atas Dahlan tidak sah.
Kuasa hukum Dahlan, Pieter Talaway, menganggap kejaksaan tergesa-gesa menyematkan lagi status tersangka terhadap kliennya. Soalnya, Dasep bakal mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan kasasi kasus mobil listrik. Menurut Pieter, kejaksaan seharusnya menunggu dulu putusan peninjauan kembali yang bersifat final dan mengikat. "Bagaimana kalau dalam PK nanti Dasep bebas? Kan, lucu jadinya?" tutur Pieter.
Pieter juga mempersoalkan kejanggalan dalam pengusutan kasus mobil listrik. Menurut dia, jaksa tak pernah memeriksa Dahlan sebagai saksi pada tahap penyidikan. Dalam persidangan atas terdakwa Dasep, Dahlan pun tak pernah dihadirkan sebagai saksi. "Jadi bagaimana jaksa bisa mengaitkan dengan Pak Dahlan?" katanya.
Jaksa Agung Prasetyo menepis anggapan bahwa kejaksaan sengaja mengincar Dahlan dengan berbagai kasus lama. Menurut dia, Dahlan dijadikan lagi sebagai tersangka karena semua orang harus diperlakukan sama di mata hukum. "Bukankah kita juga harus menghapus kesan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas?" ujar Prasetyo, yang pernah menjadi politikus Partai NasDem sebelum kembali ke Korps Adhyaksa.
Perintah Jaksa Agung soal penyidikan kembali peran Dahlan Iskan dalam kasus mobil listrik, menurut Prasetyo, semata-mata untuk meyakinkan tim penyidik atas langkah hukum selanjutnya. Kejaksaan pun tak akan menunggu putusan peninjauan kembali yang akan diajukan Dasep. Alasannya, kecuali dalam kasus pidana mati, peninjauan kembali tak menangguhkan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. "Dengan demikian, tidak pula menghalangi proses hukum bagi tersangka DI," kata Prasetyo.
Linda Trianita | Nur Hadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo