BEBERAPA saat sebelum menjalani hukum gantung, Zulfikar Ali Bhutto berkata: "Saya akan memerintah dari liang kubur." Ia benar. Setidaknya, Jumat pekan lalu, salah seorang anak Bhutto dilantik menjadi perdana menteri Pakistan dalam sebuah upacara singkat hanya sekitar 12 menit. Bukan singkatnya upacara itu yang kemudian mengundang perhatian, tapi tokoh itu sendirilah yang membuat orang menunggu, langkah apa gerangan yang akan dibuatnya dalam waktu dekat. Soalnya, Nyonya Benazir Bhutto, 35 tahun, yang bulan lalu menjadi ibu, adalah wanita pertama yang memimpin sebuah negeri Islam dalam sejarah modern. Negeri Islam, tentu bukan sekadar nama, tapi terkandung arti bahwa di situ berlaku hukum Islam. Dengarlah Benazir yang mengenakan kerudung putih dan berkebaya hijau ketika mengucapkan sumpah jabatan: "...Aku berjanji untuk mewujudkan persatuan, keamanan, dan ideologi Islam di seluruh Pakistan." "Ideologi Islam" dan seorang wanita sebagai pemimpin, ini sendiri'sudah merupakan persoalan. Dekat di hari-hari sebelum pelantikan, suara sumbang yang meragukan kepemimpinan Benazir terdengar dari negara-negara Arab. Mingguan Al-Nour yang terbit di Kairo, Mesir, menulis, "Bagaimana mungkin masyarakat Muslim Pakistan diperintah oleh seorang wanita?" Benazir Bhutto sendiri, yang terkenal moderat, setelah pelantikan, mengatakan kepada wartawan bahwa ia merasa bahagia. Ia menyatakan akan segera membebaskan tahanan politik, membebaskan pers dari kontrol ketat pemerintah, dan mendukung Presiden Ishaq Khan bila, pekan depan, penerus Zia Ul-Haq itu dicalonkan lagi. Dan, tentunya, ia belum lupa janjinya ketika berkampanye. Yakni, akan memperhatikan kaum wanita, dan meninjau kembali berbagai jenis hukum Islam yang diterapkan di Pakistan -- misalnya, hukuman cambuk, hukum potong tangan, dan hukum rajam sampai mati. Tak sulit dilihat bahwa kaum wanita Pakistan, selama ini, tak mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria. Lebih dari itu diberlakukannya Hukum Zina oleh Jenderal Zia Ul-Haq pada 1979, benar-benar membuka perlakuan tak adil bagi kaum wanita, dalam kasus-kasus perkosaan. Menurut Hukum Zina, seorang wanita yang melaporkan bahwa dirinya diperkosa, harus sanggup mengajukan saksi, sedikitnya 2 wanita, atau 4 pria yang benar-benar bersih dan jujur. Dan itu tidak mudah. Contoh ekstrem yang pernah terjadi adalah yang dialami Safia Bibi lima tahun lalu. Wanita, 20 tahun, yang masih sendiri ini mengaku diperkosa. Gugatannya ditolak pengadilan, karena ia tak bisa menemukan saksi, bahkan tudingannya terhadap seseorang dengan mudah dielakkan oleh orang tersebut. Bagaimana Safia mengenali pemerkosanya, sementara kedua mata Safia buta? Justru, Safia dituduh berzina karena ia hamil tanpa suami. Hakim menjatuhkan hukuman cambuk 15 kali dan penjara 3 tahun. Hanya karena desakan kaum wanita yang marah, ia kemudian dibebaskan. Tapi kasus itu jarang terjadi. Yang biasanya terjadi, si terhukum harus menjalani keputusan hakim. Jeihan Mina, 13 tahun, pada tahun itu juga misalnya. Karena ia tak dapat membuktikan bahwa ia diperkosa, sebaliknya dialah yang divonis dengan hukuman cambuk 100 kali. Untunglah, vonis itu diubah, mungkin karena usia Jeihan: ia hanya harus menjalani hukuman penjara 3 tahun, ditambah 10 kali cambuk, setelah bayinya berusia 2 tahun. Di Pakistan, jangan kaget, dari 7 ribu perkara yang di pengadilan tiap tahunnya, lebih dari 90% adalah perkara perzinaan. "Jarang pencuri yang dipotong tangannya atau mati dirajam selama ini. Yang jadi korban selalu wanita," ujar Asma Jahangir, seorang pengacara yang harus sering mengalami kekalahan dalam membela perkara zina. Itulah salah satu tantangan besar bagi Benazir Bhutto. Para mullah, yang menjaga berlakunya hukum Islam, tak mudah dibujuk. Bisa-bisa, Benazir sendiri yang tergelincir. Sementara itu, berbagai persoalan lain masih menantinya. Soal Afghanistan, misalnya. Pakistan mesti cepat mengambil sikap terhadap bantuan senjata AS untuk pejuang Mujahidin, yang selama ini lewat Pakistan tanpa merusakkan hubungannya dengan AS yang juga membantu persenjataan dan keuangan Pakistan. Ia pun harus melayani protes India yang menuduh "Pakistan-lah yang selama ini memasok senjata, dan memberikan perlindungan terhadap kaum Sikh yang menginginkan sebuah wilayah sendiri". Dalam kampanyenya, Benazir memang disambut meriah di jalan-jalan. Tapi dalam pemerintahannya kini, tampaknya, ia bakal mendapat tentangan yang cukup merepotkan. Janji Benazir untuk memperbaiki ekonomi Pakistan yang, katanya, "morat-marit karena pemerintahan terdahulu," kini ditunggu, dengan curiga, oleh para bankir dan pengusaha: bagaimana ia membayar utang negara kepada para bankir internasional dan kreditor dalam negeri sendiri. Dalam membentuk kabinetnya ia sudah mengundang kritik. Selain Menlu Sahabzada Yaqub Khan, 23 menteri lainnya adalah pendukung PPP yang belum berpengalaman. Menteri Negara urusan Produksi Raja Shahid Zafar, misalnya, adalah bekas pemimpin pelajar Pakistan yang tak berpengalaman sama sekali. Memang ada jago tua dari zaman Ali Bhutto yang disingkirkan Zia ul Haq yang ditarik oleh benazir sebagai Jaksa Agung, yakni Yahya Bakhtiar. Sementara Jabatan portfolio untuk menteri keuangan, pertahanan, pendidikan, perencanaan dan perminyakan dipegang sendiri oleh Benazir. Richard Ehrlich (Karachi) & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini