SUARA pemerintah bukannya jarang berbeda dengan suara rakyat, juga di Amerika Serikat. Umumnya, orang berkata bahwa suara pemerintah AS dalam pertikaian Palestina-Yahudi sangat pro-Yahudi. Tapi poll yang disebarkan oleh Gallup -- sebuah lembaga independen pengumpul pendapat publik yang didirikan oleh George Gallup, psikolog yang mempelajari jurnalisme, pada 1935 -- akhir Februari lalu menyimpulkan, sebagian besar responden berpendapat bahwa sebaiknya AS menghentikan bantuan kepada Israel. Sebabnya, cara Israel menangani intifadah tak berperikemanusiaan. Angket itu juga mengungkapkan, rakyat AS setuju pembentukan negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pada 1985, University of Michigan mengadakan pengumpulan pendapat, dan hasilnya, sebagian besar responden mengatakan bahwa perdamaian di Timur Tengah baru bisa terwujud bila orang Palestina punya negara (54%). Tampaknya, sikap rakyat Amerika terhadap Israel dan Palestina naik turun. Menurut poll Gallup pada 1945, 3 tahun sebelum kelahiran negara Israel, sebagian besar responden (76%) sangat setuju bila Yahudi berdiam di Tanah Palestina. Lalu, ketika PBB pada 1947 mengusulkan agar Tanah Palestina dibagi menjadi 2 negara, Arab dan Israel, Gallup mengadakan poll lagi. Nah, 65% responden ternyata mendukung PBB. Hanya 10% yang menentang. Menurut analisa waktu itu, dukungan adanya dua negara dikarenakan rakyat Amerika khawatir bila terjadi imigrasi orang Arab ke AS. Tapi sekitar 25 tahun setelah Israel berdiri, setelah terjadi konflik Israel versus negara-negara Arab, rakyat AS makin kuat pro-Yahudi. Dari poll pada 1970-an oleh Komite Yahudi Amerika (AJC), misalnya, disimpulkan bahwa lebih dari 30% Yahudi yang tinggal di AS merasa lebih dekat ke Israel ketimbang ke Amerika. Di tahun itu pula lembaga poll Roper mengungkapkan bahwa rakyat Amerika melihat konflik di Timur Tengah seolah-olah pertentangan dunia "Barat" yang modern dan beradab melawan para teroris dari padang pasir. Sikap itu tentulah dipengaruhi oleh embargo minyak Arab ke AS pada Desember 1973. Perubahan sikap mencolok terjadi setelah Presiden Mesir Anwar Sadat berkunjung ke Yerusalem, 1977. Orang Amerika tiba-tiba menaruh simpati besar kepada Arab. Pengumpulan pendapat stasiun TV NBC yang dilakukan pada Oktober 1977 dan April 1978 melontarkan pertanyaan menarik: Manakah yang Anda pilih, memberi perhatian lebih banyak kepada tuntutan Arab meski harus bermusuhan dengan Israel, atau tetap memberi dukungan kepada rael meski bisa berakibat adanya embargo minyak? Pada poll pertama, yang setuju dengan pilihan pertama 27%. Pada poll kedua, naik menjadi 29%. Sedangkan yang setuju dengan pilihan kedua merosot dari 54% menjadi 43%. Responden dari kalangan perguruan tinggi bahkan putar haluan. Dalam poll pertama, perbandingan mereka yang mendukung Israel dan Arab adalah 49:34. Pada poll kedua menjadi 36:40. Yang menarik, sejak kunjungan Sadat, jumlah orang Amerika yang mengikuti masalah Timur Tengah terus melonjak, dan pandangan mereka lebih realistis. Poll pendapat Roper pada 1980 menunjukkan, 39% responden menyatakan Israel seharusnya memberi tanah air kepada bangsa Palestina, dengan syarat PLO mau mengakui keberadaan Israel. Dan untuk itu, 19% setuju bila Amerika menekan Israel supaya membagi dua Tanah Palestina. Tercatat, hanya 21% yang menolak kemerdekaan Palestina. Sikap setelah Sadat itulah agaknya yang membentuk opini orang Amerika sampai sekarang. Suara keras pemerintah AS yang menuduh PLO adalah organisasi teroris rupanya tak mempenaruhi sikap rakyat Amerika. Bahkan kasus pembajakan kapal Achille Lauro, yang menewaskan seorang sandera Amerika pada 1985, tak banyak berpengaruh terhadap pendapat orang Amerika bahwa pemerintahnya seharusnya mendukung adanya negara Palestina (poll koran Los Angeles Times, Juni 1987). Rupanya, dalam hal ini rakyat Amerika lebih melihat aksi kedua belah pihak daripada hanya aksi PLO. Seorang profesor dari Universitas Tennessee berpendapat, naiknya dukungan terhadap Arab karena ulah Israel, antara lain: pendudukan Israel atas Libanon Selatan pada 1978, pengeboman atas reaktor nuklir Irak dan pusat Kota Beirut pada 1981, invasi Israel ke Libanon pada 1982 yang melahirkan pembantaian Sabra dan Shatilla, dan peran Israel dalam kasus Iran-Contra. Belum diketahui, bagaimana sikap rakyat Amerika setelah Shultz menolak memberikan visa kepada Arafat. Prg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini