Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sepanjang Kabul—Mazar-e-Sharif

Afganistan menyelenggarakan pemilu parlemen. Para panglima milisi, warlords, ikut ambil bagian. Bagaimana masa depan negeri itu?

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sepanjang jalan menuju Mazar-e-Sharif, kita bisa menyaksikan mereka. Berdiri berderetderet, diselang-seling oleh padang tandus dan bangkai tank Rusia. Ya, rumah-rumah tanah liat, tanpa atap, tanpa penghuni, yang salah satu sudutnya rompal, seperti telah digempur peluru meriam. Dan dari sisa-sisa bangunan yang tinggal separuh atau tiga perempat itu, masih dapat kita bayangkan pembagian ruangannya—beranda, dapur, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur.

Ya, keluarga-keluarga sederhana tinggal di sana, sampai akhirnya Soviet menarik pasukannya yang pasrah pada 1990, sekaligus membuka sebuah arena raksasa, tempat kelompok-kelompok Mujahidin saling menghabisi. Dan kita tahu, bekas-bekas pertempuran tak jauh dari Kota Kabul, di sepanjang jalan ke Mazar-e-Sharif itu, panorama menyakitkan yang belum berubah. Tapi inilah Afganistan, negeri yang pada 18 September menyelenggarakan pemilihan parlemen dan para wakil provinsi. Sebuah negeri yang terpaksa memilih tiga golongan kandidat: pendatang baru yang wajah dan asal-usulnya tidak terlalu dikenal, bandar opium, dan mantan mujahidin yang punya hubungan istimewa dengan para panglima milisi swasta (warlords).

Di Kabul dua pekan lalu, kehidupan seperti biasa. Pasar-pasar tradisio-nal, bazaar, menyedot semua: para pe-dagang, pembeli, dan dua lapisan masya-rakat yang baru terbentuk setelah pe-rang—mantan pengungsi yang kembali ke ta-nah air dan peminta-minta. Kabul ber-gerak, toko-toko menawarkan kul-kas buatan Rusia, ban mobil buatan Ci-na, musik memekakkan kuping. Sebagi-an be-sar berasal dari loudspeaker yang terpasang di chaikhane, kedai khusus tem-pat orang minum teh. Mereka me-ma-sang VCD/ DVD musik-musik India, yang diharamkan pada zaman Taliban. Di kota tua itu, harga-harga barang melangit, gairah berdagang meningkat, tapi tingkat partisipasi pemilu meny-u-sut hingga 50 persen.

Itulah pemilu dengan ribuan kand-idat (5.800 calon), tapi mempunyai tujuan tung-gal: menghasilkan oposisi legisl-atif yang lemah. Dengan kata lain, memper-kuat pemerintahan Presiden Hamid Kar-zai. Kita mungkin bisa merasakan be-tapa para pemilih seakan terperosok ke dalam dunia yang tak diketahuinya. Majalah The Economist menyodorkan ilustrasi menarik tentang seorang warga Kota Kabul yang gagal memilih kandidat Jamil Karzai, kemenakan Presiden Hamid Karzai yang berjiwa reformis. Di bilik suara, matanya sibuk menelusuri ratusan nama dan foto kandidat. Ia meng-ulangi pencariannya yang melelahkan tapi sia-sia itu. Ia akhirnya menjatuhkan pilihannya pada sebuah pas foto tak dikenal: seorang dokter berjanggut panjang. ”Dia pasti seorang berpendidikan, dan tentu konservatif,” katanya.

Masalah yang dihadapi para kan-di-dat juga tak mudah. Mereka para kandi-dat independen yang tidak berpijak pa-da mesin politik (baca: partai). Inikah faktor-faktor yang menipiskan gairah mencoblos? Yang terang, munculnya sejumlah kandidat yang memiliki catatan suram hak asasi dan hubungan spesial dengan panglima milisia telah mengha-pus selera memilih. Sebagian orang me-rasakan itu.

Ya, pasukan Soviet menduduki Afga-nistan sepanjang 1980-an, dan di K-abul mereka meninggalkan sejumlah bangun-an dan infrastruktur hancur. Tapi, lantas perang saudara mengoyak kota itu sepanjang 1992-1996, dan dari sebuah titik ketinggian kita bisa menyaksikan lukisan kebinasaan itu: dinding-din-ding yang runtuh di daerah perumahan penduduk, pabrik-pabrik dan gudang yang dijarah habis di daerah industri. Pertempuran di antara berbagai kelompok Mujahidin menewaskan puluhan ribu penduduk sipil. Dan kini, setelah Taliban dikalahkan pada 2001, lalu pe-merintah Hamid Karzai di Kabul terbentuk, kita bisa menyaksikan ”kera-jaan-keraj-aan” mereka: memiliki teritori sendiri, memelihara milisi sendiri, dan mencalonkan diri—atau orang kepercayaannya—se-bagai kandidat parlemen.

Afganistan adalah dunia yang kompleks. Semua tahu, pemilu parlemen 2005 merupakan peluang emas Hamid Kar-zai untuk mengerdilkan wilayah ke-kuasaan para panglima milisi. Di tangan Karzai, tergenggam mandat untuk mencoret kandidat yang mempunyai hubung-an akrab dengan panglima milisi mana pun. Bahkan, pasukan koalisi Amer-ika Serikat dan ISAF (pasukan negara-ne-ga-ra NATO yang ditempatkan di Afga-nistan) sudah siap-siap ”menyambut” kan-didat yang tidak bisa menerima diskualifikasi dengan langkah desisif.

Semua siap, kecuali Karzai. Ketika ko-misi pemilihan umum menyodorkan laporan tebal, informasi keterlibatan 207 kandidat dalam milisi-milisi itu, Karzai menghindar. Sesungguhnya, komisi menerima banyak pengaduan dan hati-hati memilah. Pengaduan yang menyebut se-orang kandidat telah membawa lari i-stri si pelapor tidak ditang-gapi. Tapi kali ini Karzai rupanya menolak konfronta-si langsung dengan para pang-lima, dan dari nama-nama itu, ia memilih s-ebuah kompromi: mencoret nama 32 kan-d-i-dat, dan membiarkan sebagian besar dari mereka lolos. Karzai tahu, ia telah mengecewakan banyak orang, termasuk Amerika dan negara-negara Barat. Dan diam-diam ia telah mengusik sebuah agenda besar yang bakal dijalankan pasukan koalisi Amerika dan ISAF di Afganistan.

Perang antara pasukan Amerika dan sisa-sisa Taliban serta Al-Qaidah di dae-rah timur dan selatan Afganistan, yang telah berlangsung sejak 2001, banyak makan waktu, energi, dan korban. Pertempuran berdarah yang telah merenggut sekitar seribu jiwa, tak terkecuali 77 serdadu Amerika, sepanjang tahun lalu. Dalam pemilu barusan, 19 lok-asi memi-lih diserang, dan selusin orang tewas. Itu-lah perang tanpa bayangan yang jelas: bilamana sasaran-sasaran mereka, Usamah bin Ladin dan Mullah Omar, tertangkap, dan kapan perlawanan Tali-ban bisa diakhiri sama sekali.

Menurut rencana, Amerika akan menarik ribuan anggota pasukannya dari Afganistan. Dan pasukan ISAF, yang se-lama ini bergerak sebagai penjaga per-damaian di Kabul, daerah utara dan barat negeri itu, akan menggantika-n-nya. Tapi, sebelum mundur, Amerika m-emang harus mewariskan paling tidak dua hal: pemerintah pusat yang kuat dan jaminan dari pemerintah Pakistan di selatan—sebuah janji untuk menolong Afganistan mengamankan perbatasannya dengan Pakistan dari infiltrasi Taliban dan Al-Qaidah. Untuk yang terak-hir ini, Afganistan telah mendapatka-nnya. Tapi untuk yang pertama, Amerika kha-watir para panglima milisia—pengu-a-sa nega-ra dalam negara—akan semakin kuat, dan pemerintahan pusat semakin l-emah.

Pemilu bukan saja memberi arti pen-ting bagi pemerintah pusat. Pe-milu ada-lah sebuah pemandangan yang mung-kin tak pernah tampak: 25 persen anggota parlemen adalah perempuan. Dan itu ber-arti jauh lebih maju dari prestasi ne-gara-negara demokrasi. Juga kabar baik bagi Afganistan. Joanna Nathan, dari International Crisis Group (ICG), menyebut kecilnya kemungkinan para politisi perempuan itu bermain mata dengan para panglima milisi.

Inilah Afganistan yang berubah. Pagi di Kabul adalah barisan panjang anak-anak perempuan berseragam sekolah; memakai kerudung, menenteng tas plastik bertuliskan ”Back to School”. Mereka siswi sekolah-sekolah perempuan yang ditutup kala Taliban berkuasa. Di luar pagar sekolah, di bawah pohon-pohon, para lelaki mencukur jenggotnya; sebagian kelihatan bangga mengenakan pantalon. Sementara itu, perempuan yang memakai burqa abu-abu dan yang hanya menutup kepala dengan kerudung melangkah cepat di depannya.

Di jalan raya, kebebasan ini menjelma jadi chaos: taksi berwarna kuning dan putih melesat di jalan yang rapat, berlomba menjemput penumpang. Di zaman Taliban jumlah mereka cuma 200, dan kini 20.000. Semua bergerak, kecuali polisi lalu-lintas: mobil-mobil putih berlogo PBB, mobil-mobil patroli militer berwarna hijau, kereta-kereta yang ditarik keledai.

Idrus F. Shahab (Kabul)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus