Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) melaporkan sebanyak 264 pengungsi Rohingya tiba di Indonesia pada Ahad, 5 Januari 2025. Mereka tiba di Aceh setelah berminggu-minggu berlayar dengan kapal di laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Associate Communications Officer UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, mengatakan bahwa lembaganya telah berkoordinasi dengan otoritas setempat sejak para pengungsi itu tiba Senin lalu. UNHCR, jelas Mitra, juga bekerja sama dengan para pihak untuk memastikan pengungsi-pengungsi yang datang mendapatkan pertolongan dan perlindungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini termasuk memberikan bantuan darurat untuk kesehatan mereka, dan sesuai arahan pihak otoritas, memindahkan para pengungsi ke tempat penampungan yang lebih baik," kata Mitra dalam pesan tertulisnya kepada Tempo melalui aplikasi WhatsApp pada Jumat, 10 Januari 2025.
Selain 264 pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia, UNHCR juga mencatat bahwa 196 pengungsi Rohingya juga tiba di Malaysia pada Jumat, 3 Januari 2025. Dengan demikian, sekitar 460 orang pengungsi Rohingya telah tiba di kedua negara itu.
Berdasarkan catatan UNHCR, sebanyak 10 orang di antaranya dilaporkan meninggal di perjalanan menuju kedua negara tersebut. Hanya tiga minggu sebelumnya, 115 warga Rohingya lainnya mendarat di Sri Lanka setelah kehilangan enam orang di laut.
“Menyelamatkan nyawa harus menjadi prioritas pertama,” ujar Direktur Biro Regional UNHCR untuk Asia dan Pasifik, Hai Kyung Jun, dalam keterangannya di situs resmi UNHCR.
Jun mengatakan bahwa organisasinya menghargai langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah di wilayah terkait untuk menerima para pengungsi yang rentan ini. Dia menyebut para pengungsi itu melarikan diri dari pertempuran dan penganiayaan di tempat asal mereka. Para pengungsi itu, Jun menyampaikan, bertahan hidup selama berhari-hari di laut dengan sedikit makanan dan air.
"Kami siap memberikan dukungan kepada pemerintah dan upaya lokal untuk membantu mereka," tuturnya.
Berdasarkan laporan UNHCR, para pendatang baru ini datang di puncak "musim berlayar"– saat laut lebih tenang di antara musim hujan tahunan–menyusul meningkatnya pertempuran di Myanmar. Pada 2024, lebih dari 7.800 warga Rohingya berusaha melarikan diri dari negara itu dengan perahu–meningkat 80 persen dibandingkan dengan tahun 2023.
Lebih dari 650 orang tewas atau dilaporkan hilang dalam perjalanan, menjadikan ini salah satu perjalanan paling berbahaya di dunia. Lebih banyak anak-anak yang ikut dalam pelayaran, yang angkanya mencapai 44 persen dari total penumpang, naik dari 37 persen pada tahun 2023. Proporsi perempuan juga meningkat hingga hampir sepertiga.
Di antara tren baru tahun lalu, ribuan orang begitu putus asa untuk melarikan diri hingga mempertaruhkan nyawa mereka saat mencoba menyeberangi Sungai Naf ke Bangladesh dalam cuaca buruk selama musim hujan. Selain itu, semakin banyak warga Rohingya yang berlayar langsung dari Myanmar sedangkan di masa lalu, banyak yang meninggalkan kamp-kamp di Bangladesh.
Ada pula laporan tentang perahu-perahu yang didorong kembali ke laut.
“Meskipun Negara memiliki hak yang sah untuk mengendalikan perbatasan mereka dan mengelola pergerakan ilegal, terutama dalam konteks penyelundupan dan perdagangan manusia, tindakan tersebut harus menjamin hak-hak orang untuk mencapai keselamatan,” ucap Jun.
Jun menyerukan kepada semua negara untuk melanjutkan upaya pencarian dan penyelamatan dan memastikan bahwa para penyintas menerima bantuan dan perlindungan yang mereka butuhkan.
Karena situasi di Myanmar terus memburuk, Jun mengatakan, lebih banyak orang diperkirakan akan mengungsi dalam beberapa bulan mendatang.
UNHCR mendorong Negara untuk fokus pada perlindungan di laut, memenuhi kebutuhan kemanusiaan, dan menangani narasi palsu serta ujaran kebencian terhadap pengungsi dan pencari suaka yang tiba di pantai mereka.
UNHCR juga menilai bahwa tindakan internasional dan regional yang lebih besar juga diperlukan untuk mengakhiri pertempuran di Myanmar dan mengatasi akar penyebab perpindahan sehingga para pengungsi dapat kembali ke rumah secara sukarela, aman, dan bermartabat.