Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hari-hari Dagang Sapi

Kemenangan mutlak Angela Merkel atas Gerhard Schröder di berbagai jajak pendapat tak terbukti di pemilu yang sesungguhnya. Peran Presiden Horst Köhler menjadi vital.

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIAT Kanselir Jerman Gerhard Schröder untuk ”menceploskan gol di menit terakhir” akhirnya tercapai juga. Bak pesepak bola legendaris Franz ”Der Kaiser” Beckenbauer—libero terhebat dalam sejarah sepak bola Jerman—Schröder de-ngan lincah meliak-liuk memorak-po-ran-dakan daerah pertahanan lawan. Ia mengantarkan ”tim”-nya, Partai So-sial Demokrat (SPD), terhindar dari keka-lahan memalukan atas Uni Demokratik Kristen (CDU) yang dipimpin Angela Mer-kel, pada pemilu 18 September.

SPD mampu meraih 34,3 persen suara (222 kursi) dibanding 35,2 persen suara yang diperoleh CDU/CSU (225 kursi). Perlu dicatat, CDU dan CSU (Uni Sosia-lis Kristen) adalah dua partai sekan-dung di mana perolehan suara mereka di-gabung menjadi satu di Bundestag. CSU hanya beroperasi di daerah Bava-ria (Bayern), tidak seperti CDU yang ber-gerak nasional (lihat Tabel 1).

Ji-ka perolehan suara CSU di Bava-ria dikeluarkan dari perhitungan, CDU ha-nya memperoleh suara murni sebesar 27,8 persen berdasarkan exit poll (jajak pen-dapat pascapemilu) yang dilansir Ko-mite Pemilihan Umum Jerman. ”Melihat angka-angka ini, pemilih Jerman su-dah jelas menyatakan keinginan agar Kan-selir Schröder terus memimpin nege-ri ini,” ujar seorang juru bicara SPD, yang me-minta namanya dirahasiakan, kepada Tempo.

Ketatnya perolehan suara mengejutkan hampir semua kalangan. Sebab, ke-tika musim kampanye dimulai tiga bu-lan lalu, CDU memimpin 21 persen di depan SPD. Mungkin karena ”keme-nangan” jajak pendapat yang amat me-yakinkan itulah Perdana Menteri Ing-gris Tony Blair, yang mengunjungi Jer-man pada Juni silam, lebih dulu memen-tingkan ber-temu Merkel ketimbang Schröder yang masih menjabat kanselir.

Bahkan pada saat-saat menjelang pemi-lu, ketika Schröder mampu meng-gen-jot popularitas partainya di mata pemi-lih, nyaris tak ada yang berani me-ramalkan bahwa kedigdayaan CDU/CSU bisa lunglai dalam sekejap. Dari 16 negara bagian (länder), 12 di antara-nya masih dikuasai SPD dengan h-anya menyisakan empat wilayah, yakni Ba-den-Württemberg, Bavaria, Rhineland-Palatinate, dan Saxony, yang bisa ditaklukkan oleh CDU/CSU. (Tabel 2).

Walhasil, blunder yang dialami CDU/CSU membutuhkan kambing hitam. Ke-tua CSU, Edmund Stoiber, yang juga kandidat kanselir dari CDU pada Pemilu 2002, tanpa ragu menunjuk gaya kam-pa-nye Merkel yang ”dingin tanpa pera-sa-an” sebagai penyebab migrasi suara di saat-saat akhir pemilihan.

Stoiber menunjukkan bahwa di (bekas Jerman) Timur, yang merupakan daerah asal Merkel, doktor fisika kuantum ini gagal menjadikan CDU sebagai peme-nang. SPD masih meraup suara terbesar sebanyak 30,5 persen, meski kehilangan 9,2 persen dibandingkan dengan Pemilu 2002. Posisi kedua diduduki Partai Kiri sebesar 25,4 persen, naik 8,5 persen dibanding pemilu sebelumnya. Sedang-kan CDU/CSU, yang kehilangan 3 per-sen suara, harus puas di urutan ketiga dengan 25,3 persen. (Tabel 3)

Di mata Elmar Brähler, profesor politik di Universitas Leipzig, kegagalan Merkel menuai suara di kampung halam-an adalah akibat strategi Merkel yang enggan menyangkutkan identitasnya sebagai Ossi—sebutan bagi warga eks Jerman Timur, dari kata ost yang ber-arti Timur. Ketika berkampanye keliling be-kas wilayah Jerman Timur, Merkel lebih suka menyebut penduduk setempat sebagai ”orang-orang di sini” ketimbang ”ka-mi”. Pesan dari pemilihan kata seper-ti itu amat jelas. ”Ia benar-benar tak mau mengakui akar keberadaannya,” ujar Brähler. ”Selain itu, warga Timur me-lihat Merkel terlampau ambisius dan agre-sif. Sesuatu yang tak disukai masya-rakat di sini,” ia menambahkan.

Majalah Super Illu, yang menjad-ikan masyarakat Jerman Timur seba-gai pang-sa pasar dan terang-terangan mendu-kung CDU selama kampanye, belakang-an kebanjiran surat dari pembaca yang menyatakan Merkel telah mengkhianati jiwa Jerman Timur. ”Merkel,” ucap sosio-log Berlin Harald Michel, ”dilihat oleh ba-nyak pemilih Jerman Timur sebagai se-seorang yang murtad.”

Pengalaman Angela Border, mahasis-wi di Universitas Martin Luther, Halle, memperkuat analisis Michel. Sebelum pe-milihan, mahasiswi berusia 23 tahun itu sudah yakin akan memilih Merkel dan CDU. Tapi, ketika memasuki kamar pencoblosan suara, keraguannya muncul. ”Merkel bukan calon kanselir yang cocok,” tutur Border, yang kemudian memilih... SPD dan Gerhard Schröder!

Di mata masyarakat eks Jerman B-a-rat, citra Merkel juga tak menguntung-kan. Analis politik Eckhard Jesse m-enyatakan, para pemilih Barat tetap melihat Merkel sebagai ”wanita dari Timur” yang mewarisi cara berpikir pa-ra pemimpin Jerman Timur yang kaku dan otoriter. Begitu kuatnya citra itu mele-kat sehingga di Berlin Barat poster-pos-ter kampanye Merkel dirusak dan di-tambahi kalimat ”pembalasan dendam Honecker”—kalimat yang merujuk pada mantan diktator Jerman Timur Erich Honecker.

Problem citra itu diperburuk dengan konsep pemotongan pajak penghasil-an sama rata sebesar 25 persen yang diajukan Paul Kirchhof, calon Menteri Ke-uangan Kabinet Merkel.

Beruntung bagi Merkel, Partai Liberal Demokrat (FDP), yang merupakan partner koalisi CDU/CSU sejak era Helmut Kohl (1982-1998), justru mengalami lonjakan dan menempati posisi ketiga secara nasional dengan meraih 9,8 per-sen suara. Dengan total suara 45 persen di tangan, Merkel bisa bernapas lebih lega dan memiliki posisi tawar yang le-bih bagus ketimbang koalisi SPD-Partai Hijau, yang meraup 42,4 persen.

Jika Partai Hijau mau ”menyeberang” mendukung Merkel, ”koalisi Jama-ika” (hitam-kuning-hijau, sesuai dengan war-na tiap partai) dipastikan akan meng-antarkan das Madchen—sang Gadis, merupakan panggilan sayang Hel-mut Kohl—menjadi kanselir baru J-er-man. Namun, peluang itu sejak jauh ha-ri sudah dijadikan lelucon oleh Joschka Fischer, pemimpin Partai Hidup. ”Pe-r-nahkah Anda benar-benar mel-ihat An-ge-la Merkel dan Edmund Stoiber duduk di satu meja dengan rambut gimbal? Itu gaya kami, bukan mereka.”

Seandainya kedua pihak tetap berta-han dalam pola koalisi tradisional masing-masing, Partai Kiri (PDS) akan muncul sebagai kuda hitam yang akan menghela ke mana arah Jerman selama empat tahun ke depan.

* * *

MASALAHNYA adalah, meskipun Mer-kel dan Schröder sama-sama mena-buh ”genderang perang” dengan menya-takan diri mereka sebagai pemenang pe-milu, saat ini masih terlalu dini memperkirakan siapa Kanselir Jerman be-r-ikutnya karena tak ada calon yang mencapai Kanzlermehrheit—dukungan mi-nimal 50 persen + 1 dari total anggota Bundestag.

Skenario Koalisi Besar antara SPD dan CDU/CSU, plus koalisi masing-masing, yang memungkinkan munculnya mayoritas di parlemen dengan 87,4 per-sen suara, juga tak mudah dilakukan—meskipun bisa saja dilakukan di atas kertas. ”Koalisi Besar tak akan bisa memelopori reformasi dasar yang harus dilakukan untuk memperbaiki Jerman,” ujar Jan Erik Spangenberg dari FDP kepada Tempo (lihat, Koalisi Besar Tak Akan Memperbaiki Jerman).

Skenario ”koalisi lampu lalu-lintas (ampel)” antara SPD-FDP-Partai Hijau (merah-kuning-hijau) sudah sejak awal ditepis pemimpin FDP, Guido Westerwelle. Adapun ”koalisi merah-merah-hijau” antara SPD-Kiri-Partai Hijau masih memiliki peluang untuk terwujud, mengingat Partai Kiri (PDS) pim-pinan Oskar Lafontaine adalah pecahan dari SPD.

Dari sisi ideologi program partai, kendati PDS melihat SPD sudah mulai terlalu ”kanan” dalam kebijakan ekono-minya, namun kebijakan luar negeri Schröder, yang tak selalu mengiyakan keinginan Amerika Serikat seperti CDU/CSU dan FDP yang amat ngotot memperjuangkan poros Trans Atlantik, membuat PDS diperkirakan akan lebih mudah kembali berlabuh ke kapal besar SPD.

Isyarat itu sudah mulai dilont-arkan sejumlah faksi PDS, terutama setelah lonjakan perolehan suara mereka yang cukup signifikan di Jerman Timur. Jika PDS benar-benar berkoalisi d-engan SPD-Partai Hijau, atau tidak perlu ber-koalisi namun memberikan suara untuk Schröder pada saat pemilihan Kanselir, tambahan 8,7 persen suara dari PDS akan membuat Schröder menggenggam dukungan 51,1 persen. Jumlah yang cu-kup untuk membuatnya kembali meme-rintah Jerman.

Karena itu, hari-hari belakangan ini merupakan hari-hari ”dagang sapi” terpelik bagi ketujuh calon kanselir. Selain Merkel dan Schröder, calon kandidat lainnya adalah Edmund Stoiber (CSU), Joschka Fischer (Hijau), Guido Westerwelle (FDP), Gregor Gysi (Kiri), dan Oskar Lafontaine (Kiri).

Sesuai dengan konstitusi Jerman, kesempatan pertama untuk usulan nama calon kanselir akan dilakukan oleh Pre-siden Horst Köhler. Jika nama yang di-usulkan Presiden tidak mendapat dukungan mayoritas anggota Bundestag, ada jeda 14 hari untuk negosiasi antar dan intra partai, misalnya untuk pergan-tian nama calon kanselir jika diperlukan. Pada tahap ini, calon kanselir berikutnya yang paling mungkin muncul adalah Peer Steinbürg (SPD), atau Roland Koch, Christian Wulff, dan Günther Oettinger, ketiganya dari CDU. Pemilihan akan dilakukan dengan voting terbuka.

Jika nama-nama yang muncul tak ju-ga mendapat persetujuan dari mayoritas anggota Bundestag, Presiden Köhler bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk menentukan kanselir. Dalam konteks ini, amat mungkin Angela Merkel menjadi Kanselir, meskipun hanya mendapat dukungan CDU/CSU dan FDP. Atau, bisa saja Schröder yang tetap di kursi-nya. Kelemahan siapa pun kanselir yang terpilih dengan cara ini adalah mereka akan menghadapi kesulitan meloloskan legislasi baru karena tak punya kekuat-an yang berarti di Bundestag. Namun, Presiden masih punya satu opsi lain: meminta pemilu ulang.

”Jika ini yang terjadi, posisi Schröder akan lebih diuntungkan,” ujar Paskal Kle-den, pengamat politik Jerman, dalam diskusi dengan Tempo pada pekan lalu. Menurut Paskal, jika pemilu ulang sampai dilangsungkan, pemberi suara tradisional terutama akan cenderung menyokong pemimpin yang telah pasti jam terbangnya (baca Schröder) ketimbang pendatang baru yang sepak terjangnya belum terbukti—dalam hal ini Merkel.

Hasil pemilu Jerman yang terancam buntu kali ini menarik perhatian lembaga-lembaga keuangan internasional, yang tentu saja punya urusan dengan Jerman—salah satu pilar penyangga Uni Eropa. Direktur Pelaksana Dana Mone-ter Internasional (IMF) Rodrigo Rato, misalnya, memilih bersikap optimistis. ”Akan ada konsensus, terutama dari dua partai besar. Mereka sama-sama yakin bahwa reformasi ekonomi merupa-kan hal penting,” kata Rato seperti dikutip Il Sore 24 Ore.

Sebaliknya, gubernur bank sentral Eropa, Jean-Claude Trichet, kepada The Irish Times menyatakan, bila kebuntuan ini tak segera diselesaikan, tingkat pertumbuhan Euro yang tak meyakinkan selama setahun terakhir akan kian terpuruk.

Ketidakpastian siapa yang berkuasa juga mulai melahirkan kecemasan di dalam negeri. ”Jika kita tak punya pemerintahan yang stabil, suasana penjualan menjelang Natal kali ini bakal amat berbahaya,” ujar Holger Wenzel, Direktur Pelaksana Asosiasi Pedagang Eceran.

Yang tak disebutkan Wenzel adalah, hari-hari ”dagang sapi” justru sedang mencapai puncaknya hari-hari ini.

Akmal Nasery Basral, Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus