Berlangsung dalam suasana muram dan tegang, diwarnai saling bentak di sana-sini, rapat itu menghasilkan satu maklumat yang singkat, padat, dan mengguntur. Paling tidak, di kuping Yasser Arafat dan rakyat Palestina.
Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sendiri yang memimpin rapat Kabinet Keamanan Israel itu setelah mempersingkat kunjungannya di India. Hasilnya tercantum dalam satu maklumat yang diumumkan pada Kamis pekan silam.
Inti maklumat: Arafat dianggap sebagai penghambat utama bagi perdamaian. Dan "Israel akan berusaha menyingkirkan hambatan tersebut pada waktu dan cara yang ditentukannya sendiri". Maklumat itu juga menekankan beberapa poin keras lain. Umpama, Israel tak sudi melakukan gencatan senjata apa pun dalam urusan dengan terorisme, Tembok Pemisah Palestina-Israel agar segera dirampungkan segera. Dan "kabinet memberi kuasa kepada Menteri Pertahanan Shaul Mofaz untuk menggunakan kekuatan militer dalam menumpas terorisme".
Walau tak menyebutkan ancer-ancer rencananya, Israel memang tengah berupaya keras menendang Arafat jauh-jauh ke luar Palestina. Hanya karena jeri oleh hardikan Amerika Serikat, sejumlah negara Barat, dan reaksi keras Liga Arab, Israel belum menjadwal kapan akan menyeret pemimpin Palestina itu keluar dari negerinya.
Mofaz sendiri, saking naik pitamnya, dalam rapat itu mengusulkan agar Arafat dibunuh saja. Namun, bosnya, Pak Sharon, buru-buru menghardik agar Mofaz tak "kelepasan kata" memakai istilah membunuh. Dari Palestina, Arafat tak berpangku tangan saja. Di depan khalayak yang mengelu-elukan dia di Ramallah, Tepi Barat, Arafat berujar: "Tak seorang pun bisa menyeret saya pergi dari tempat ini, dari Terra Sancta, tanah suci bagi umat Islam dan Kristen." Pendukungnya langsung bertempik-sorak dan bersumpah menjadikan diri mereka tameng hidup begitu mendengar amanat yang heroik itu.
Niat Israel melenyapkan Arafat dipicu oleh sepasang bom bunuh diri yang mengguncang Yerusalem pada hari Rabu pekan silam. Bom pertama meletus di dekat Tzrifin, salah satu markas terbesar militer Israel di pinggiran Tel Aviv. Sebuah bola api tiba-tiba membumbung di udara, disusul suara ledakan yang memekakkan kuping. "Adegan paling buruk yang pernah saya lihat," kata Eyal Schneider, seorang anggota pasukan payung Israel yang menjadi saksi mata insiden tersebut.
Eyal beruntung hanya pingsan. Tapi delapan koleganya tewas dan 32 orang lainya cedera berat. Belakangan, polisi menyatakan bom bunuh diri itu dilakoni seorang remaja berusia 19 tahun asal Rantis, Tepi Barat, Palestina. Dia menggunakan bom seberat 2-3 kilogram yang diumpetkan di dalam tas kulitnya.
Hanya lima jam kemudian, adegan serupa menyusul di kawasan Koloni Jerman di Yerusalem. Distrik ini sesak oleh restoran, butik, dan kedai kecil. Saat orang berdesakan di dalam Kafé Hillel, sebuah bom bunuh diri meluluh-lantakkan bangunan depan kafé yang baru sebulan beroperasi itu. Tujuh orang tewas, sekitar 30 orang luka berat. Di antara yang meninggal terdapat nama David Applebaum, 51 tahun, seorang dokter kepala ruang gawat darurat yang terkenal di sana.
Pada malam itu, Applebaum mengajak putrinya, Nava, 20 tahun, jalan-jalan ke Kafé Hillel. Sehari lagi Nava akan menikah dan sang ayah ingin memberikan nasihat-nasihat terakhir sebelum anak gadisnya naik menjadi pengantin. Tapi bom memetik nyawa ayah-beranak itu. Rumah keluarga Applebaum yang telah dihias untuk pesta perkawinan itu berubah menjadi ruang peribadatan kematian yang dipenuhi ratapan. Selain ayah dan anak Applebaum, kedua ledakan itu menewaskan 20 lebih nyawa dan melukai puluhan manusia.
Pekan-pekan ini Palestina sedang kerepotan benar. Pekan lalu, Perdana Menteri Mahmud Abbas mengundurkan diri. Arafat segera meminta Ketua Parlemen Palestina, Ahmad Qureia, agar menggantikan Abbas. Ini saja sudah satu soal karena Israel tak berkenan pada tokoh ini. Belum lagi serah-terima Abbas-Qureia dilangsungkan, eh, dua bom bunuh diri melibas dua lusin nyawa di Israel. Ariel Sharon berang luar biasa dan keluarlah maklumat tersebut.
Israel segera menuding kelompok Hamas. Abdul Aziz Rantisi, juru bicara kelompok Hamas, menjawab bahwa Hamas tak ikut campur dalam dua peledakan itu. Tapi, "Operasi itu, siapa pun otaknya, adalah reaksi alamiah terhadap agresi berdarah terhadap rakyat kami, pembantaian terhadap rakyat kami," ujar Aziz Rantisi.
Aksi bom bunuh diri yang dituduhkan terhadap Hamas bukanlah barang baru di Israel. Tapi, dua ledakan bom yang hanya terpaut lima jam di Tel Aviv dan Yerusalem diselingi naiknya Qureia ke kursi PM Palestina memaksa Ariel Sharon menyingkat kunjungannya di India. Dalam rapat kabinet, Sharon dan para pembantunya beramai-ramai mengutuk Arafat, yang dituduh tak becus mengendalikan kelompok militan Hamas dan Jihad Islam.
Hati Sharon lebih panas lagi karena Mahmud Abbas, yang "disukai" Israel dan AS, terpental akibat pertengkaran pahit soal penguasaan pasukan keamanan Palestina dengan Arafat. Abbas ngotot mengambil alih kontrol pasukan keamanan Palestina dari tangan Arafat. Niat Abbas, dengan pasukan itu dia punya alat untuk menekan sepak terjang Hamas dan Jihad Islam sesuai dengan tuntutan Israel dan AS.
Abbas adalah tokoh moderat Palestina. Israel dan AS merasa lebih nyaman berurusan dengan dia ketimbang dengan Arafat. Tapi, repotnya, Abbas juga tak memperoleh apa-apa dari Israel dalam perundingan perdamaian yang dipatok AS lewat proposal Jalan Damai. Israel tetap berbelit-belit dan AS tak mampu menjinakkan anak emasnya. Abbas pun terjepit dan frustrasi. Walhasil, Israel dan AS harus membayarnya dengan kehilangan Abbas dan kembali berhadapan langsung dengan Arafat.
Terhadap Arafat pribadi, Sharon kali ini bertindak cukup dingin kendati hatinya geram luar biasa. Sharon menghitung juga kecaman AS dan dunia internasional khususnya Liga Arab bila dia menjamah langsung kepala Arafat. Tapi pasukan militer Israel tetap meluapkan aksi pembalasan. Kamis pagi, mereka mengambil alih kantor Kementerian Kebudayaan Palestina, yang hanya berjarak 300 meter dari markas Arafat di Ramallah. Satu tarikan picu rudal dari tank atau helikopter Apache dengan alasan "kesalahan teknis" sudah cukup melumatkan Arafat dan markasnya.
Jika itu terjadi, riwayat Arafat bisa jadi selesai, tapi perlawanan berdarah Palestina akan terus bergolak. Sementara itu, Sharon tak menaruh banyak harapan pada perdana menteri baru Palestina, Ahmad Qureia, 65 tahun. Berasal dari faksi Fatah, dia tokoh paling berpengaruh setelah Arafat dan Abbas.
Amerika telah menyatakan kesediaannya menerima Abu Ala—nama akrab Qureia. Tapi Washington menekankan sejumlah syarat yang wajib ditaati perdana menteri baru ini demi mengamankan posisi Israel. "Perdana menteri yang baru harus memberangus organisasi teroris dan memiliki otoritas mengomando seluruh pasukan keamanan Palestina," ujar Condoleeza Rice, penasihat keamanan nasional AS.
Soal wewenang inilah yang diduga bakal mengganjal Qureia. "Dia (Abu Ala) tak bakal memiliki kontrol terhadap pasukan keamanan, dan ada pertarungan kekuasaan dengan Arafat dan Hamas," kata Judith Kipper, seorang analis Timur Tengah.
Sebagaimana Abbas, Abu Ala juga dikenal sebagai sosok yang moderat. Dia salah satu tokoh kunci memuluskan negosiasi damai Palestina-Israel pada tahun 1993 yang menghasilkan Perjanjian Oslo. Ala bergabung dengan faksi Fatah yang dipimpin Arafat sejak tahun 60-an, tapi namanya baru muncul dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1970-an. Dia mendampingi Arafat ke Tunisa saat Israel mendepak PLO dari Libanon. Sejak itu, Ala mulai punya kuku dalam politik Palestina. Belakangan menjadi otak di bidang ekonomi ketika Pemerintah Otoritas Palestina terbentuk.
Kepribadiannya yang hangat memikat politikus AS dan kelompok pro-perdamaian Israel. Bahkan, bekas perdana menteri Shimon Peres pernah mengusungnya ke ambulans saat Ala mendapat serangan jantung dalam pembicaraan damai di Israel pada 1995. "Pak Peres menyelamatkan nyawa saya," ujarnya ketika itu.
Loyalitasnya terhadap Arafat teguh seperti karang. Saat Arafat memintanya menjadi perdana menteri, Ala bersedia selama ada jaminan Israel menarik pasukannya dari Palestina dan menghentikan isolasi terhadap Arafat. "Saya tak mau didikte oleh Israel," ujar Abu Ala.
Sikap inilah yang membuat gusar kelompok garis keras Israel. "Kami tak akan bekerja sama dengan kacung Arafat," kata Menteri Pertahanan Shaul Mofaz. Ariel Sharon sendiri belum angkat suara soal Abu Ala. Tapi ledakan bom kembar dan cercaan Mofaz terhadap Ala bukanlah awal yang menjanjikan untuk kembali ke meja perundingan.
Raihul Fadjri (Financial Times, Haaretz, Al-Jazeera, Jerusalem Post)
Jalan Damai yang Berliku
28 September 2000
Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, sejumlah pengikutnya, dan sekitar 1.000 polisi Israel berkunjung ke Al-Aqsa hari itu. Banyak korban jatuh ketika jemaah salat Jumat bentrok dengan tentara Israel. Gelombang demi gelombang kekerasan berlangsung di sana. Keadaan baru berakhir setelah pemerintah Israel mencabut blokade penutupan sejumlah daerah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta menarik tentaranya.
20 Oktober 2001
Menteri Pariwisata Israel Rehavam Zeevi terbunuh, dan helikopter Israel melepaskan rudalnya ke bangunan tempat para penembak jitu Palestina bersembunyi. PM Ariel Sharon memerintahkan tentaranya menekan dan menghancurkan militan Palestina. Kaum militan membalas, dan Israel memandang Arafat pemimpin yang tak sanggup mengontrol warganya. Arafat dikepung di kantornya. Ia hidup tanpa air, listrik, dan telepon, sementara invasi Israel melebar ke enam kota: Nablus, Jenin, Tulkarem, Qalqilya, Ramallah, dan Betlehem.
25 Maret 2002
Arab Saudi muncul dengan tawaran solusi damai yang dibahas di KTT Liga Arab. Isinya, negara-negara Arab siap mengakui Israel, seandainya negeri Yahudi itu menarik diri dari wilayah yang diduduki sejak Perang 1967. Israel menolak, sementara konflik berlanjut. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan juga sempat mengusulkan pembentukan pasukan multinasional, pasukan koalisi beberapa negara yang berminat yang mendapat otoritas dari Dewan Keamanan PBB berdasarkan Piagam PBB Bab VII. Berbeda dengan pasukan penjaga perdamaian PBB, pasukan multinasional berhak menggunakan kekuatan bersenjata.
28 Januari 2003
Sharon kembali memimpin Israel setelah partainya, Likud, menang dalam pemilihan umum. Sudah diperkirakan, ia akan meneruskan kebijakan-kebijakan tangan besinya. Tak lama berselang, tokoh reformis Mahmud Abbas menerima penawaran Yasser Arafat untuk menjadi Perdana Menteri Palestina pertama. Barat menyambutnya. Itulah langkah untuk mengakhiri pertikaian 29 bulan Israel-Palestina dan membentuk negara Palestina. Amerika, Rusia, Uni Eropa, dan PBB mengajukan Peta Damai
24 Mei 2003
Kabinet Israel Setuju Peta Damai dengan Syarat
Dalam pemungutan suara dalam kabinet Israel, 12 menteri setuju dengan
Peta Damai tapi dengan syarat menolak kembalinya para pengungsi Palestina ke wilayah negara Yahudi itu. Tujuh menteri lainnya menolak dan empat menteri memilih abstain. Peta Damai diusung oleh kuartet negara internasional: AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB. Isinya, Israel dan Palestina menuju perdamaian sebagai dua negara berdaulat berdampingan. Palestina menerima sepenuhnya.
11 September 2003
Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan Front Demokratik untuk Palestina, kelompok garis keras, setuju untuk tidak menyerang Israel dan memberikan jalan bagi Peta Damai. Meski demikian, Israel tetap ngotot ingin melucuti kelompok militan. Kekerasan tidak berhenti. Di bawah tekanan Israel, akhirnya PM Mahmud Abbas meletakkan jabatan. Israel menuduh Arafat menyabot proses perdamaian, tak lama kemudian kabinet Ariel Sharon memutuskan mengusir Arafat.
Telni Rusmitantri (CNN, AFP, BBC)