Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tempenovela

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebenaran disampaikan melalui cerita. Juga kepalsuan. Atau yang berada di ambang batas antara kebenaran dan kepalsuan yang bernama impian. Dalam dunia cerita di televisi, telenovela menjadi istilah yang kini diterima. Dengan penempatan, slot, sebagai jenis pengisi program, kita mengenali format dan formula serta formasi dalam tayangan. Posisi ini merupakan kemenangan kemasan sebuah produk, sejajar dengan istilah lain dalam dunia drama televisi: sinetron, miniseri, serial, atau jenis-jenisnya seperti komedi, aksi, misteri. Sistem slotting ini menjadi penting dalam dunia industri karena kaveling otak pemirsa mudah membedakan dengan program lain, sebagaimana kita membedakan sesama lauk-pauk, antara tempe dan tahu, misalnya. Tempe pun ada variannya: tempe goreng, tempe rebus, tempe terik, tempe bacem, atau mendoan. Sebagai merek dagang, telenovela melenggang di pasar dunia, melebihi istilah teleroman—yang sama awalnya dikembangkan oleh pertelevisian berbahasa Prancis--atau bahkan soap opera yang berdaya di Amerika Serikat. Negara-negara Amerika Latin menjadi ibu bagi lahirnya telenovela: serial drama-yang-sangat-melo, berepisode banyak, bisa mencapai 200 episode tayangan satu jam, disiarkan secara “weekdays” Senin sampai Jumat, dengan pemeran utama sepasang kekasih yang digeleparkan oleh asmara. Selama 30 tahun terakhir, telenovela berhasil hadir di lebih dari seratus negara. Dengan masa tayang sampai enam bulan untuk setiap judul, dominasi telenovela terus terasa. Di Indonesia, tak satu pun stasiun siar swasta ataupun semi-swasta yang tak menyiarkan telenovela. Dan tak ada telenovela tanpa air mata. Dan tak ada air mata tanpa kehadiran ibu-ibu yang menonton dengan setia. Dari awalnya begitu, dan agaknya akan terus melaju dengan itu. Keberhasilan melakukan bujuk rayu pada kaum ibu memantapkan para pengiklan kebutuhan barang rumah tangga menjadi penyangga berlangsungnya siaran. Maka, siklus jam para ibu-ibu bisa berubah karenanya: saat arisan bisa dimajukan, telepon berdering tak diangkat, waktu-waktu jeda untuk pipis pun bisa bersamaan. Sewaktu berada di penjara 11 tahun lalu, istri saya terlambat besuk karena maunya menonton telenovela dulu. Awalnya selalu sama, seperti terjadi di Indonesia. Dimulai tahun 1950-an, masyarakat mengenal melalui sandiwara radio. Di tahun 60-an, Peru membuka mata dunia dengan Simplemente Maria—yang ditayangkan juga di sini. Brasil membuka dengan Beto Rockfeller, sebelum kemudian diikuti oleh Meksiko, Venezuela, Kuba, juga Argentina. Berbeda dengan jenis soap opera Amerika yang judul-judulnya memakai nama tempat—Dallas, Santa Barbara--telenovela memakai nama orang, dan biasanya perempuan. Seperti Maria Mercedes, berlanjut Maria Marimar, lalu Maria del Barrio, Kassandra, Esmeralda, Maria Cinta yang Hilang, Cara Sucia, atau yang sekarang masih diputar seperti Amanda, Soledad, Kassandra lagi, dan mungkin akan ada Thalia lagi ngapain. Sebenarnya dalam hal ini kisah-kisah negeri ini tak kalah. Juga dalam memberi judul. Sejak awal ada judul Siti Nurbaya, atau jenis Jaka Tarub-Nawangwulan. Yang membedakan adalah perjalanan produksi ini terhenti ketika masuk ke dunia industri. Penerbitan komik pun mengalami hal yang sama. Jaya diterbitkan sebagai buku, tapi masuk dunia pertelevisian atau perfilman menjadi tidak jaya. Barangkali karena mekanisme dinamis industri di sini masih belum “in”, “baru” saja. Sebenarnya tidak sulit menemukan wajah ayu seperti Thalia Adridna Sodi di sini, yang kemudian juga menjadi penyanyi, bintang sinetron, eh, telenovela, bintang iklan, pembawa acara, dan banyak tertawa di berbagai negara. Saya beruntung—atau Thalia yang beruntung—sempat berciuman pipi dengan gadis yang sampai lima tahun ini belum bicara. Gadis Meksiko ini berani mengatakan bahwa tayangannya ditonton lebih dari satu miliar pasang mata, di seratus lebih negara. Ada benarnya. Konon, di Republik Rakyat Cina saja—yang penduduknya memang banyak—ditonton seratus juta jiwa. Sukses besar inilah yang mengubah pertelevisian dunia—sebelum bisa melakukan “sapu bersih” di negara-negara asalnya: tayangan bersambung ini disiarkan setiap hari pada jam prima. Sempurnalah sudah kisah ala Cinderella, atau seorang tukang sepatu yang punya dua kekasih, satu kaya raya satu miskin, kisah gadis penjual lotre jalanan yang dipersunting triliuner, gadis buta yang dicintai mati-matian oleh siapa saja yang bertemu dengannya. Untuk gadis yang selalu berpakaian warna hijau ini, di Indonesia dihadirkan cerita tersendiri. Gadis itu bernama Esmeralda. Lahir buta, oleh ibunya dibuang, karena suaminya berharap anak lelaki. Sang ibu mengadopsi seorang anak lelaki yang bakal mewarisi harta kekayaannya. Begitulah nasib gadis buta yang amat sangat perlu dikasihani ini, yang dicintai dokter yang menyembuhkan, malah pacaran dengan pemuda anak angkat orang tua asli hingga hamil. Pemuda pun pergi dari daerah perkebunan dan pacaran sana-sini. Esmeralda membesarkan anak bayi, sulit mencari pekerjaan, menolak semua lamaran karena cinta mati dengan “bapak bayinya”. Jangan prihatin, karena gadis miskin ini akhirnya duduk bersanding di pelaminan dengan sang kekasih yang adalah anak dari orang tuanya. Jangan bingung, meskipun serba menikung, mereka akhirnya bahagia. Esmeralda diproduksi ulang sebanyak 140 episode, dari 5 Mei 1996 hingga 31 Oktober 1997 dari Meksiko. Venezuela pernah juga membuat produk dengan judul yang sama. Masih “gres” dari sono, diputar di SCTV setahun kemudian, masih dengan teks berbahasa Indonesia, dan para pemain menggunakan bahasa Inggris. Dalam pemutaran ulang, reruns—yang biasanya memang tercantum dalam bayaran kontrak--tampil lagi sudah dalam bahasa Indoensia. Disiarkan setiap Senin-Jumat pagi pukul 09.00 hingga pukul 10.00, tayangan ini memasuki episode ke-114 ketika dihentikan. Masalahnya memang nama. Namun, bukan nama Esmeralda yang dipermasalahkan, melainkan salah satu tokohnya bernama Fatima—dimainkan biasa-biasa saja oleh Laura Zapata—yang adalah tokoh antagonis. Berperilaku kurang bagus. Protes muncul dari Laskar Pembela Islam, organisasi di bawah Front Pembela Islam, FPI, karena nama Fatima adalah putri Nabi Muhammad SAW. Dicarilah kompromi untuk tidak menyebut nama Fatima, melainkan “dia”. Dicarilah jalan keluar adegan ketika Fatima muncul diedit. Atau disiarkan siang. Tapi, sejak 8 Juni 2000, Esmeralda dan kekasih sampai mati Jose Armando tak terlihat lagi. Banyak yang bisa dipersoalkan dari kasus Esmeralda, tapi tak ada jalan keluar yang bisa dipakai sebagai rumusan untuk menilai telenovela yang lain. Kenapa justru tayang ulang Esmeralda yang dipersoalkan—dalam siaran 27 Februari sampai 4 Maret 2000, rating hanya 5, sementara Cinta Paulina yang disiarkan Televisi Pendidikan Indonesia pada saat yang sama meraih rating 10, melibas acara sore dari stasiun lain termasuk program berita. Dan kalau sampai kini pun, rata-rata di atas 30 jam dalam lima hari telenovela bisa ditonton, dari pagi pukul 09.00 hingga larut malam 23.30. Ini pertanda apa? Sulit dibayangkan, Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk menggemari tontonan yang padat dengan adegan berdoa di depan patung Bunda Maria dan para tokohnya berkalung salib. Barangkali hanya Malaysia yang membatasi tayangan ini di antara 128 negara yang sekarang ini sedang menyiarkan secara rutin. Adakah kebenaran bisa disampaikan melalui cerita—yang mampu mengatasi perbedaan yang direkayasa? SATU hal agak-agak pasti. Telenovela telah menjadi idiom sebuah industri pertelevisian untuk menjadi bagian sah dari budaya massa. Padanya, berlaku “hukum-hukum industri”, hukum-hukum perdagangan. Arus kuat bisnis ini membentuk komunitas sendiri, dan berkembang. Perbedaan geografis sebuah negara, atau bahkan daerah, tak dikenali, karena jumlah penonton yang perlu. Berapa biayanya—biasanya sekitar 6 kali biaya kalau kita membuat dengan durasi yang sama--bukan pertimbangan besar, selama menghasilkan yang lebih besar. Dengan pasar dunia, dengan dukungan iklan mendunia, semua serba mungkin. E. Katz dan G. Wedell menuliskan dengan jitu dalam Broadcasting in the Third World: Promise and Performance (1977), bahkan negeri Kuba pun tak bisa menghindarkan perkembangan telenovelanya karena peran Coolgate. Biro iklan Unilever dengan berbagai anak perusahaannya merupakan motor utama. Lebih dari itu, cerita dalam telenovela memang menghindar jauh dari topik-topik hangat atau yang dianggap krusial. P. Aufderheide, dalam Latin America Grassroots Video: Beyond Television (1993), memberikan contoh topik-topik yang dihindari dalam pertelevisian di Brasil. Alhasil, tayangan jenis ini menjadi “aman”, “sejuk”, tak menimbulkan konflik, walau sebenarnya juga tak bicara apa-apa mengenai masalah sosial, baik di negara kelahiran maupun negara-negara yang dikunjungi. Tema cinta asmara antara si kaya dan yang tak punya, keajaiban sepatu kaca, legitimasi adanya cinta sejati, akhir bahagia-sejahtera-damai-senantiasa, memang tidak menimbulkan kecurigaan gambaran sosial negara-negara yang sedang dilanda permusuhan dan perpecahan atau jual-beli suara. Pertemuan sepasang kekasih seperti ini memang jauh dibandingkan dengan kerinduan kepada Kekasih yang ada dalam kisah-kisah sufi Hakim Nizami lewat Layla dan Majenun serta—yang lebih menggetarkan--Khusraw dan Syirin, atau bahkan kisah pencarian cinta Panji Asmarabangun, juga Angling Dharma. Namun, dalam dunia yang disatukan oleh budaya massa—yang sepenuhnya adalah budaya bisnis yang tak selalu berarti harus sinis--dengan tata krama “returns of investment” dalam waktu dekat, dengan “ayat-ayat” berupa angka, grafik, persentase, siapa yang mau merenungi kehidupan setelah kematian dengan rumusan lama? Atau dengan pertanyaan yang lebih menggugah dan membuat gelisah: ataukah justru kisah dan cerita beginian lebih menggugah kebenaran? Dengan gagah kita membantah, atau dengan teriak kita menolak, tapi proses budaya massa terus melangkah, juga berbenah dalam berkenalan dengan berinteraksi. Produser raksasa seperti Globo, Televisa, Venevision sudah menjalin kerja sama produksi dengan artis-artis lokal dari negara yang dijadikan sasaran pasar. Kisah-kisah setempat yang tak menimbulkan masalah kembali diolah dan dihadirkan kembali sebagai Esmeralda versi beberapa negara, sebagaimana daur ulang kisah Cinderella. Dalam pelintiran budaya massa, keunikan, kekhasan, sesuatu yang “sakral” dalam komunitas pribadi menjadi dipertanyakan lagi. Apakah Bangsacara-Ragapadmi mewakili cinta kasih Bali, atau Pronocitro-Roro Mendhut mewakili cinta kasih Jawa, atau Sam Pek-Ing Tay mewakili cinta kasih Cina, atau Khusraw-Syirin mewakili cinta kasih Persia, atau Romeo-Juliet mewakili cinta kasih Inggris, kalau disediakan “Maria-Alexandro” yang juga sama-sama mati bersama dalam mengabadikan kemenangan di balik kemalangan? Telenovela salah satu dari sekian bentuk budaya massa yang telah memiliki slot dan bagus, sementara tari-nyanyi India, gerakan silat Cina, remaja Taiwan pun sekarang berjajar dalam antrean dan masuk daftar acara kegiatan kita sehari-hari. Kita dipaksa mempertanyakan kembali keberadaan kita, keunikan, keunggulan nilai yang selama ini kita agungkan sebagai identitas budaya, bukan karena kita tidak berdaya, melainkan karena kebenaran dalam suatu cerita telah menemukan kemasan yang nyaris sempurna. Kebenaran disampaikan melalui dan dalam cerita. Juga kalau kita mencoba mengubahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus