Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERPASANG-PASANG mata kontan membelalak tatkala angka-angka itu muncul di layar proyektor: 1.134 hektare hutan mangrove milik DKI Jakarta Raya pada tahun 1960 kini hanya tersisa sekitar 233 hektare. Jadi, lebih dari 1.100 hektare yang raib dalam empat dekade terakhir. Adalah Peni Susanti, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI, yang menyajikan data-data itu dalam seminar tentang hutan mangrove di Denpasar, Bali, pada awal pekan silam.
Hilangnya hutan mangrove, atau lazim dikenal dengan bakau, menurut Peni, berpangkal pada dua hal. Kebijakan pemerintah yang salah kaprah serta perilaku warga yang gegabah. Celakanya, daerah bakau yang tersisa pun jauh dari sehat. Kerusakan menjalar hingga ke kawasan hutan lindung. Di Kapuk, Jakarta Utara, misalnya. Luas resminya kurang lebih 45 hektare. Tapi kandungan bakaunya hanya mencakup 33 hektare lebih atau sekitar 70 persen saja.
Di kawasan suaka margasatwa Angke, kondisinya lebih buruk. Dari 25 hektare lahan, hanya 2,5 hektare yang ditumbuhi bakau. Kerusakan parah juga bisa disaksikan dengan mata telanjang di sepanjang Jalan Sedyatmo menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari total sekitar 96 hektare jalur hijau berawa di situ, hanya ada 27 hektare yang dihiasi oleh deretan pohon bakau. Mengapa si bakau yang buruk rupa ini layak dirisaukan?
Para ahli lingkungan mengibaratkan hutan ini sebagai benteng kukuh yang mampu menangkal serangan dari laut dan darat sekaligus. Dia berjasa melindungi daratan dari tekanan intrusi air laut ke daratan. Selain itu, mampu mencegah proses abrasi (pengikisan) garis pantai serta dapat menahan tiupan angin kencang. Mangrove juga sakti dalam menyaring bahan-bahan pencemar berbahaya, agar tak langsung meluncur ke laut lepas. Akarnya menyerap polutan lalu menyimpannya dalam pohon dan dedauannya.
Nyoto Santoso, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove, menyatakan kerugian ekonomis oleh pupusnya hutan bakau memang tidak secara langsung. Hutan ini sedikit sekali menghasilkan kayu. Ikan pun tak banyak yang beranak-pinak dalam rawa-rawa yang ditumbuhi bakau. Tapi Nyoto mencatat, kerugian besar akan muncul dan baru terasa dalam waktu lama.
Nyoto mencontohkan, jika mangrove punah di DKI Jakarta, bukan saja daratan Jakarta yang terancam. Penghuni Ibu Kota pun akan cepat menuai getahnya. Sebab, pencemar jenis logam berat dari darat bakal tumpah-ruah ke laut tanpa dihambat oleh si bakau. Maka mulailah "lingkaran setan" pencemaran: logam berat menempel pada tumbuhan dan jentik laut makanan ikan. Ikan atau kerang memakan tumbuhan tercemar tersebut. Lalu manusia menyantap ikan atau kerang yang telah dikotori racun. "Sekarang orang boleh mencibir. Tapi bahayanya tetap mengancam," kata Nyoto.
Bahaya lain adalah hilangnya daerah tangkapan air. Selama berbad-abad, rawa-rawa bakau di Jakarta terbukti ampuh dalam mengendalikan banjir, paling tidak untuk banjir lokal. "Jadi, bukan kerugian langsung. Tapi, jika dihitung dengan nilai uang, jumlahnya jelas amat besar," tutur Nyoto.
Nah, lenyapnya "benteng Jakarta" ini, menurut Nyoto, bersumber pada kebijakan pemerintah yang mengalihfungsikan hutan bakau.
Dari hutan penjaga, bakau-bakau ini dibabat dan disulap menjadi areal perikanan, permukiman, lokasi industri, sarana transportasi, jaringan tenaga listrik, hingga rekreasi. Konversi lahan besar-besaran terjadi pada pertengahan 1980-an. Ketika itu Pemerintah DKI menerbitkan izin pembangunan kawasan permukiman dan rekreasi Pantai Indah Kapuk (PIK). Gara-gara izin itu, hutan bakau 827 hektare diuruk menjadi daratan. "Itu pukulan paling mematikan," ujar Nyoto.
Pencemaran air dan sampah adalah biang kerok lain yang memusnahkan hutan bakau Jakarta. Teluk Jakarta, misalnya, telah tercemar logam beratâmerkuri, khususnyaâdan pestisida. Kondisi itu diperparah oleh praktek pembuangan minyak dari kapal dan perahu kecil di perairan Teluk Jakarta. Di Pulau Rambut, yang terletak di kawasan Pulau Seribu, hutan bakau yang rusak meluas dari 3 hektare menjadi hampir 8 hektare selama tujuh tahun terakhir. Pembuangan sampah tak terurai (non-organik) secara sembaranganikut mempercepat laju kerusakan bakau. Sampah jenis plastik biasanya tersangkut dan tertumpuk di akar-akar bakau. Dan pohon yang tak punya ruang bernapas itu lambat-laun mati.
Dalam pengamatan Peni Susanti, peristiwa serupa terjadi di hampir semua muara sungai di Jakarta. Hal serupa disaksikan Tempo News Room saat menyaksikan tumpukan sampah setinggi 1,5 meter yang mengitari kawasan hutan lindung Kapuk. Petugas di sana menjelaskan, gunungan sampah itu adalah hasil pembersihan sampah yang tersangkut di akar dan batang pohon bakau. Sampah ditumpuk begitu saja sepanjang pantai, karena tak ada lagi tempat untuk membuangnya.
Apa daya, bakau-bakau ini kian tak berfungsi karena perilaku gegabah warga Jakarta dan sekitarnya. Umpama, penambangan pasir besar-besaran di perairan Jakarta dan Kepulauan Seribu. Menurut Peni, kegiatan ini menjadi pangkal abrasi di berbagai titik pantai utara Jakarta. Di daerah hutan lindung Kapuk, proses abrasi telah menggerogoti sekitar 6 hektare hutan bakau.
Lalu apa langkah penyelamatan Pemda DKI Jakarta? Semua beleidâdari keputusan presiden hingga peraturan daerahâtentang tata ruang Jakarta sejatinya mengatur pelestarian hutan bakau. "Sasarannya, hutan mangrove yang ada harus dipertahankan," ujar Peni. Upaya penanaman ulang pun telah beberapa kali digelar.
Tahun lalu, misalnya, Pemda DKI menanam 10 ribu pohon bakau di jalur hijau tol Sedyatmo. Dalam lima tahun ke depan, kata Peni, Pemda DKI merencanakan penanaman bakau bertahapârata-rata 10 ribu pohon per tahun. Ada juga satu-dua perusahaan swasta yang ikut menyumbang. Standard Charter, misalnya, menanam 10 ribu pohon mangrove di suaka margasatwa Angke. Tahun ini, bekerja sama dengan LPP Mangrove, bank asal Inggris itu akan kembali menyumbang 10 ribu bakau muda.
Sayang, banyak program rehabilitasi dari pemerintah masih berorientasi proyek. Rehabilitasi dianggap selesai saat penanaman pohon. "Jadi, menanam tapi lupa merawat," kata Nyoto. Padahal, segala upaya rehabilitasi ini baru "sekadar" bisa memperbaiki atau mempertahankan hutan yang rusak. Sebab, hutan bakau yang lenyap dari kawasan DKI tak mungkin kembali lagi. Lahan Jakarta yang kian terbatas membuat perluasan hutan bakau menjadi hal yang nyaris mustahil.
Jajang Jamaludin, Agriceli (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo