DEMONSTRASI mahasiswa di Cina biasanya membuat orang bertanya-tanya: perubahan apa gerangan yang bakal terjadi. Di tahun 1919 demontrasi itu memojokkan pemerintah Cina untuk menolak perjanjian yang mereka sebut Konperensi Perdamaian "imperialis" Versailles yang memberi kekuasaan kepada Jepang untuk menduduki daerah bekas kekuasaan Jerman, misalnya di Shanghai. Lalu gerakan mahasiswa pada 1976 untuk menghormati meninggalnya Zhou Enlai disusul meninggalnya Mao, ditangkapnya Komplotan Empat, dan kembalinya Deng Xiaoping ke mimbar kekuasaan. Kini, perubahan apa yang dibawa oleh demonstrasi yang meledak sehubungan dengan pemakaman Hu Yaobang pekan lalu? Memasuki hari ketujuh setelah Hu Yaobang meninggal, mahasiswa Beijing ternyata makin galak. Pada Sabtu pekan lalu sekali lagi puluhan ribu massa mahasiswa yang, kabarnya, juga diperkuat barisan buruh berkumpul di Lapangan Tiananmen, tak jauk dari Balairung Besar Rakyat. Mereka meneriakkan yel-yel menuntut hak-hak demokrasi yang lebih besar dan menuntut agar diperkenankan berdialog langsung dengan para pemimpin Cina. Di dalam balairung, penghormatan terakhir kepada mendiang Hu Yaobang sedang dilangsungkan. Perdana Menteri Li Peng, Sekjen Partai Zhao Ziyang, dan Deng Xiaoping mengucapkan pidato yang memuji Mendiang sebagai pejuang komunis. Tapi, tentang mundurnya Hu dari pemerintahan, pada 1987 tak disinggung-singgung. Padahal itulah yang dituntutkan oleh para mahasiswa. Selama, upacara berlangsung, keadaan sangat hening. Hadirin, baik yang di dalam, maupun yang di luar ruangan, semuanya turut menyanyikan lagu kebangsaan dan mars Internationale ketika barisan musik mengumandangkannya. Begitu upacara selesai konfrontasi pun dimulai lagi "Dialog, dialog," seru mereka dengan menggunakan megafon ketika Li Peng berjalan menuju mobilnya. Percuma, 10 lapis barisan polisi tak bisa ditembus. Kemudian dua wakil mahasiswa diperkenankan masuk ke dalam ruang upacara. Padahal, Jumat pekan lalu, dengan mengesahkan sekitar 100 ribu massa, mereka ke wilayah Zhongnanhai, bagian Kota Beijing tempat Partai Komunis Cina (PKC) berkantor. Berhasilnya mereka masuk ke Tiananmen menjelang pemakaman Hu Yaobang bisa jadi lantaran banyaknya massa yang terlibat. Sebelum itu, koordinator gerakan yang terdiri dari unsur pimpinan gerakan mahasiswa di empat kampus terkemuka di Beijing -- Universitas Beijing, Universitas Rakyat, Universitas Qinghua, dan IKIP Beijing -- menyerukan dilancarkannya pemogokan selama tiga hari, untuk menuntut hak-hak demokrasi. Besar kemungkinan seruan itu akan mendapat sambutan di kalangan masyarakat. Ada gejala gerakan itu akan meluas ke seluruh negeri, seperti yang dikhawatirkan para pemimpin Cina. Turis-turis asing yang baru kembali dari Shanghai dan Nanjing melaporkan adanya gerakan mahasiswa di kedua kota besar itu, walaupun masih dalam ukuran kecil. Andai kata itu berkembang, pasti akan menjadi persoalan yang memusingkan para pemimpin Cina yang begitu mendambakan terciptanya ketenangan "demi modernisasi". Adalah kematian Hu yang menjadi sumbu gerakan mahasiswa kali ini. Tuntutan mahasiswa masih sama seperti demonstrasi yang melanda Cina pada 1987: demokrasi. Cuma, bila gerakan massa mahasiswa dulu untuk melindungi reformisme dan kaum reformis -- terutama Deng Xiaoping demosntrasi kini agak lain arahnya. Kini ada tanda-tanda bahwa yang jadi sasaran protes justru kaum reformis, termasuk Deng Xiaoping sendiri. Ini diakui oleh seorang pejabat partai, yang tak mau disebutkan namanya, kepada para wartawan Barat. Kata dia, di masa sekarang ini setumpuk ketaksenanga sedang melanda Cina dan itu tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Kini petani menggerutu lantaran harga pupuk makin mahal. Pekerja pun tak puas, karena praktek korupsi dan sistem guanxi (koneksi) merajalela. Golongan intelektual juga kecewa karena pendidikan -- kunci ke arah modernisasi seperti yang digembor-gemborkan selama ini ternyata ditelantarkan. Hampir semua orang tak puas karena harga-harga barang naik sebagai akibat inflasi. Semua katakpuasan itu ternyata tertumpah kepada Deng Xiaoping. Sehingga ada lelucon bawah tanah yang mengatakan, "Semua barang naik kecuali Deng yang tak naik-naik." Itu sebagai gurauan dan sekaligus untuk mencibir kepada Deng yang tingginya tak sampai 1,55 meter. Deng telah dipuji orang karena tekadnya yang bulat dan usahanya yang konkret demi keberhasilan "revolusi kedua" sejak 1978. Tapi revolusi -- yang pada hakekatnya tak lain dari reformasi -- itu sekarang telah kehilangan momentum. Ada juga kekesalan lain, terutama yang berasal dari pendapat para pendukung reformisme. Mereka mengatakan bahwa ketaksediaan Deng untuk mengundurkan diri, malah telah membuat posisi golongan reformis jadi serba salah. Dengan masih bercokolnya Deng, usaha mengalirkan "darah baru" ke dalam administrasi dan partai menjadi terhalang. Tapi itu juga berarti bila Deng mengundurkan diri, kaum "konservatif" mendapat jalan berkuasa kembali. Jadinya serba salah buat Deng. Mundur atau tidak mundur, hasilnya sama saja: reformisme berada dalam posisi defensif. Dan bila benar "adat" di Cina bahwa secara tak langsung gerakan mahasiswa membawa sesuatu perubahan, sungguh menarik menunggu perubahan yang bakal terjadi.A. Dahana (Jakarta) dan Yusril Djalinus (AS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini