Di Najaf, beberapa belas tahun yang lalu, saya melihat mereka: penziarah yang datang ke tempat Sayidina Ali dimakamkan. Wanita-wanita yang diam berkerudung hitam. Laki-laki yang dengan khusyuk bersembayang di sekitar masjid berkubah keemasan yang berkilat menjelang sore musim panas. Setelah sebelumnya mengunjungi Kufah dan Kerbala, setelah beberapa kali bersua dengan para penziarah, saya seperti disadarkan. Islam, bagi mereka yang hidup di kawasan ini, bukan hanya sebuah ajaran. Ialam hadir juga sebagai sejarah. Di Kufah, Sayidina Ali dilukai. Di Najaf, menantu Nabi itu wafat dan dikebumikan. Di Kerbala, putranya dibunuh. Riwayat yang tragis. Dan sebagaimana lazimnya perjalanan hidup yang demikian, ia bisa lebih mencekam dan lebih membekas. Mungkin itu pula yang menyebabkan jejak sejarah di bagian Timur Tengah ini (yang saya saksikan dalam perjalanan mengikuti Almarhum Adam Malik) terasa lebih kuat, biarpun sekian belas abad telah ditempuh -- terutama bila kita memandang wajah para penziarah itu. Orang yang datang ke Mekah, Madinah dan padang Arafat mungkin akan lebih tergetar oleh Sabda. Di Najaf dan di Karbala mereka lebih tergetar oleh Peristiwa. Adakah bedanya? Brangkali tak ada yang berbeda. Tapi bagaimana pun ada satu lembar tambahan antara Sabda dan Peristiwa. Itukah mungkin yang disebut sebagai praxis, atau (mungkin lebih tepat) "pengalaman". Manusia mendapatkan titah Tuhan, dan menjalankannya -- dan kemudian, perlahan ataupun cepat, menemukan banyak hal yang tak semula diduganya. Dalam proses itu pula tak semua kejadian -- tak semua kasus -- sesuai dengan yang kita kehendaki. Pembantaian di Karbala itu, kekerasan dan nafsu kekuasaan yang mirip dengan itu, menunjukan bahwa dunia juga bisa berisi sesuatu yang mengerikan, yang menyedihkan, bahkan menjijikkan kita -- ihwal yang terkadang merupakan hasil tindakan orang yang menyatakan berasal dari satu Sabda dengan kita. Tapi bagaimana bisa dihindarkan? Sabda -- yang diturunkan kepada manusia -- betapapun akhirnya diterima, dan dilaksanakan, oleh manusia sebagai mahluk yang diciptakan dari tanah liat, dan sebab itu berada dalam ruang-dan-waktu. Dalam "dunia" itu ia punya darah, daging, selera, takbiat dan entah apa lagi yang tak bisa dielakkannya, walaupun terkadang bisa diatasinya dalam satu tindak transendensi. Masalah yang timbul dari situasi "di dunia" seperti itu adalah: sejauh mana kita bisa mengatasi, sejauh mana pula kita bisa melakukan kompromi? Ada ajaran yang mempunyai institusi pertapaan dan kebiarawanan: satu cara melakukan perjuangan melampaui sebagian dari keduniaan manusia. Tapi tak semua kita bisa melakukannya, dan tak mungkin pertapaan jadi satu-satunya alternatif dalam hidup. Bahkan seorang biarawan bisa mengakui, seperti Padri Zossima yang arif dalam novel Karamazov Bersaudara Dostoyewski: "Kita tak lebih suci ketimbang orang awam karena kita datang ke mari dan menutup diri kita di antara tembok". Di antara tembok biara, penolakan terhadap kompromi memang mungkin bukan hanya tanda ke arah kesucian. Penolakan terhadap kompromi juga suatu tanda kekuatan. Dalam cerita Salman Rushdie The Satanic Verses yang menghebohkan itu, ada satu bagian mimpi yang mendongeng bagaimana Gadis Ayesha yang ganjil dari Desa Titlipur berhasil membawa rombongan jemaah ke Mekah berjalan kaki menyebrangi laut. Ia adalah tokoh yang murni, yang menolak kompromi dengan keras, dan satu contoh bagaimana keyakinan yang teguh bisa menciptakan keajaiban. Tapi sikap seperti itu pada sisi lainnya bisa terasa kurang humane, kurang bisa tersentuh oleh kemajemukan dan kejatuhan manusia. Sikap seperti itu juga cenderung untuk tegar mengabaikan rumit dan rapuhnya struktur manusia di-dunia. Bahkan tiap tendensi untuk kompromi dicurigainya sebagai isyarat lembek semangat, mungkin khianat. Tak heran bila karena itu pula dengan gampang tersingkir orang-orang yang disebut "moderat", mereka yang melihat kebijakannya berkompromi karena sadar bahwa posisi kita adalah berada di-dunia dan-bersama-orang lain. Para moderat itu mungkin akan mengingatkan bahwa bagaimanapun asal kita adalah tanah liat dan karena itu seperti dikatakan dalam satu sajak Attar, Adam "mencari pemaafan" sedangkan Setan, yang terbuat dari api, menyombongkan diri. Atau mungkin orang moderat itu akan mengutip Nabi, bahwa sebaik-baiknya perkara ada di tengah-tengah -- meskipun nasibnya tak selamanya beruntung, juga di tempat-tempat di mana nama Nabi dijunjung.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini