Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sesudah lama diduduki rrc

Pemerintah peking mengirim rombongan pers asing ke tibet. para biksu mempunyai keyakinan bahwa antara masxisme dan buddhisme terdapat persamaan. bekas vihara dirubah sebagai museum dan obyek turis.(ln)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAKYAMUNI, yang dipercaya umat Buddha sekte Lama di Tibet sebagai pendiri kepercayaan Buddha, pada abad ke 5 Sebelum Masehi pernah meramalkan masa gelap itu. Menjelang abad ke 20 Masehi, katanya, agama Buddha akan rontok dan musnah. Para biksu Lama, sesudah 20 tahun hidup di bawah tekanan politik pemerintah RRC, tidak menyangkalnya. Banyak cerita pahit dari kehidupan keagamaan di Tibet diungkapkan para biksu tadi kepada rombongan wartawan asing yang sengaja diundang RRC baru-baru ini menengok negeri yang dijuluki Atap Dunia. Namun Peking tampaknya berusaha memugar pendapat dunia tentang peranannya di Tibet selama 20 tahun ini. Maret 1959, hanya dalam 2 hari, Tentara Pembebasan Rakyat yang disemangati ketua Mao dengan kampanye Seratus Bunga Mekar menumpas pemberontakan rakyat Tibet. Peking ketika itu berdalih, Tibet yang merupakan bagian Cina sejak lama, sudah mengalami kemerosotan moral dan kehidupan demokrasi. India, seperti diungkapkan seorang gembong pemberontak kepada para wartawan asing, disebut berdiri di belakang pemberontakan itu. Lhalu Cewangdoje, 65 tahun --pernah meringkuk selama 6 tahun karena memimpin 10.000 pemberontak -- membuat pengakuan itu. "Kami telah membayar senjata India, sebelum kehilangan segalanya," kata Lhalu yang kini menjadi birokrat dengan posisi baik di Tibet. Kalimpong, kota kecil di India yang berbatasan dengan Tibet, disebut sebagai pusat pemberontakan. Tiga hari setelah Tentara Pembebasan melakukan aksinya, 4.000 pemberontak telah ditahan. Disita sejumlah senjata ringan dan berat, meriam, dan lebih 10 juta butir peluru. Semuanya buatan India. Pemerintah Nehru ketika itu, di Majelis Rendah India, memberikan bantahannya. Tapi kemudian diketahui, India mengijinkan pemimpin keagamaan Tibet, Dalai Lama, bersama 80.000 pengikutnya mengungsi di kota kecil, Dharamsala yang berbatasan dengan Tibet. Sejak itu para biksu Lama di Tibet melewati masa yang paling gelap dalam sejarah berkembangnya agama Buddha. 5 Jumlah vihara Buddha di Tibet yang semula lebih 2.400 buah itu, kini tinggal 10 saja. Biksu Lama yang sebelum 1959 berjumlah 110.000, sekitar 20% dari jumlah penduduk, kini tinggal 2.000-an. Vihara Drepung di pinggiran kota Lhasa dulu dikenal sebagai yang terbesar dan berwibawa seperti juga tempat suci Jokka Kang. Drepung pernah ditinggali 10.000 biksu dan 25.000 budak penggarap tanah. Kini vihara itu kotor dan tak terawat -- mirip bagian sebuah kota hantu dengan 270 biksu di dalamnya. Drepung dan banyak tempat keagamaan lain, termasuk Potala -- suatu benteng sekaligus tempat peristirahatan mengagumkan yang pernah ditinggali Dalai Lama -- kini ditempatkan di bawah Biro Administrasi Peninggalan dan Pemeliharaan Kebudayaan di Lhasa. Banyak tempat suci kini diubah sebagai museum dan obyek turis. Dalam kaitan itu Peking mengeluarkan biaya AS$ 450.000 untuk memugar arca Sakyamuni dan Jokka Kang, yang pernah dihancurkan Pengawal Merah tahun 1966. Tulisan Ketua Mao Sementara itu, Peking diam-diam tetap melemahkan umat Buddha sekte Lama ini. Umpamanya 6.300 sekolah Cina yang mengajarkan anti ketuhanan didirikan di berbagai tempat. Untuk mengontrol seluruh sistim itu, Peking menempatkan 120.000 tentaranya di antara 1,7 juta penduduk pribumi Tibet. Di Lhasa saja yang berpenduduk 50.000 terdapat 70.000 tentara dan orang Cina. Sekte Lama merupakan campuran antara kepercayaan Buddha dengan unsur pemujaan primitif Tibet. Yang penuh dengan mistik, kadang sadis seperti paham Tantra, malah bisa juga dalam pemujaan melakukan penyiksaan diri sendiri sebagai yang dianut kepercayaan shaman. Dulu anak berusia 7 tahun dianggap sudah patut masuk vihara untuk memulai masa kehidupan seorang biksu. Tapi sejak 1959, kebiasaan yang sudah berakar lama itu, tidak ada lagi. Bahkan pada setiap Jum'at sore para biksu ini lewat biksu yang lebih senior dicekok dengan pikiran Mao. Banyak diantaranya mempunyai keyakinan yang mengejutkan. "Komunis", kata mereka, "akhirnya lebih baik daripada Buddha bagai alat perjuangan." Benarkah itu? Dalai Lama yang ditanya para wartawan selepas melakukan medical Check up di Zurich, Swiss, tidak menolaknya. "Ajaran Buddha tidak berbeda jauh dengan Sosialisme," katanya. "Beberapa tulisan ketua, Mao, memberi ilustrasi kenyataan itu." Dalai Lama juga berpendapat antara Marxisme dan Buddhisme terdapat beberapa persamaan yang mendasar. "Tapi saya lebih cenderung memakai Marxisme seperti yang tulen, daripada yang diterapkan di Soviet atau RRC," katanya. "Tujuan yang utama adalah membuat bahagia rakyat Tibet. Bukan seperti yang dilakukan sekarang, memulihkan demokrasi, tapi bangsa Tibet terancam punah." Pemerintah Pusat di Peking -- setelah kelompok radikal ditumbangkan -- kini tampaknya berusaha menunjukkan sikap moderat. Jokka Kang dan vihara Drepung, yang tertutup sejak pendudukan, kini dibuka. Panchen Lama, orang kedua setelah Dalai Lama dalam hirarki kepemimpinan agama Tibet, yang pernah 6 tahun meringkuk sebagai tahanan politik di jaman ketua Mao, kini mendapat peranan lumayan di partai. Peking juga memberi 29 kursi pada wakil Tibet di Kongres Rakyat Nasional, naik dari hanya 6 buah sebelum zaman ketua Hua. Malahan sidang Kongres Rakyat terakhir, dipelopori para biksu Lama, mensyahkan Undang-undang yang menjamin kebebasan beragama kepada rakyat Cina. Bagi para pejabat partai yang merintangi pelaksanaan kebebasan beragama itu, "diancam dengan hukuman penjara 2 tahun." Kepada para wartawan asing yang mengunjungi Tibet, Peking tampaknya berusaha keras menunjukkan beberapa keberhasilannya. "Mereka memang telah membangun jalan-jalan, memperkenalkan industri kecil, mendirikan pabrik penyamakan kulit dan pabrik korek api di Tibet," kata Dalai Lama. "Tapi mereka juga telah menghancurkan segalanya, yang terbaik maupun yang terburuk. Para biksu yang masih hidup dari aksi militer dikirim ke kamp kerja atau ke desa sebagai petani." Cuci Mata Tanggal 6 Juli lalu, Dalai Lama yang diyakini merupakan titisan ke-14 dari pendiri Buddha sekte Lama, merayakan ulang tahun ke-44 bersama 80.000 pengikutnya di Dharamsala, suatu kota pegunungan India yang berbatasan dengan Tibet. Selain sebagai pimpinan keagamaan, ia juga berperanan sebagai pimpinan politik -- suatu bentuk titisan yang tak disenangi Peking. Undangan pemerintah RRC untuk mengunjungi Tibet baru-baru ini telah ditolaknya. Dalai Lama tetap tidak bersedia kembali "hingga Peking memberi jaminan hak asasi manusia, seperti dalam berbicara kepercayaan beragama dan memberi kebebasan memilih hidup bagi penduduk Tibet." Peristiwa perjalanan terakhir Dalai Lama ke Mongolia dan Uni Soiet menarik perhatian. Di Mongolia, terdapat umat Buddha sekte Lama. Dari Zurich ia berencana pergi ke Amerika. Apakah hal itu dalam kaitan mempercepat diplomasinya sambil memainkan kartu Soviet, untuk kembali ke Tibet "Semata-mata untuk mencari teman baru dan melihat negeri yang menarik perhatian," jawabnya. Di Amerika ia akan berkunjung juga ke vihara Lama di Staten Island dan New Jersey. Dengan jubah kuningnya, setelah lama mendekam di gunung, Dalai Lama memang perlu 'cuci mata' di Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus