SAKYAMUNI, yang dipercaya umat Buddha sekte Lama di Tibet
sebagai pendiri kepercayaan Buddha, pada abad ke 5 Sebelum
Masehi pernah meramalkan masa gelap itu. Menjelang abad ke 20
Masehi, katanya, agama Buddha akan rontok dan musnah. Para biksu
Lama, sesudah 20 tahun hidup di bawah tekanan politik pemerintah
RRC, tidak menyangkalnya.
Banyak cerita pahit dari kehidupan keagamaan di Tibet
diungkapkan para biksu tadi kepada rombongan wartawan asing yang
sengaja diundang RRC baru-baru ini menengok negeri yang dijuluki
Atap Dunia. Namun Peking tampaknya berusaha memugar pendapat
dunia tentang peranannya di Tibet selama 20 tahun ini.
Maret 1959, hanya dalam 2 hari, Tentara Pembebasan Rakyat yang
disemangati ketua Mao dengan kampanye Seratus Bunga Mekar
menumpas pemberontakan rakyat Tibet. Peking ketika itu berdalih,
Tibet yang merupakan bagian Cina sejak lama, sudah mengalami
kemerosotan moral dan kehidupan demokrasi. India, seperti
diungkapkan seorang gembong pemberontak kepada para wartawan
asing, disebut berdiri di belakang pemberontakan itu. Lhalu
Cewangdoje, 65 tahun --pernah meringkuk selama 6 tahun karena
memimpin 10.000 pemberontak -- membuat pengakuan itu. "Kami
telah membayar senjata India, sebelum kehilangan segalanya,"
kata Lhalu yang kini menjadi birokrat dengan posisi baik di
Tibet.
Kalimpong, kota kecil di India yang berbatasan dengan Tibet,
disebut sebagai pusat pemberontakan. Tiga hari setelah Tentara
Pembebasan melakukan aksinya, 4.000 pemberontak telah ditahan.
Disita sejumlah senjata ringan dan berat, meriam, dan lebih 10
juta butir peluru. Semuanya buatan India. Pemerintah Nehru
ketika itu, di Majelis Rendah India, memberikan bantahannya.
Tapi kemudian diketahui, India mengijinkan pemimpin keagamaan
Tibet, Dalai Lama, bersama 80.000 pengikutnya mengungsi di kota
kecil, Dharamsala yang berbatasan dengan Tibet.
Sejak itu para biksu Lama di Tibet melewati masa yang paling
gelap dalam sejarah berkembangnya agama Buddha. 5 Jumlah vihara
Buddha di Tibet yang semula lebih 2.400 buah itu, kini tinggal
10 saja. Biksu Lama yang sebelum 1959 berjumlah 110.000, sekitar
20% dari jumlah penduduk, kini tinggal 2.000-an. Vihara Drepung
di pinggiran kota Lhasa dulu dikenal sebagai yang terbesar dan
berwibawa seperti juga tempat suci Jokka Kang. Drepung pernah
ditinggali 10.000 biksu dan 25.000 budak penggarap tanah. Kini
vihara itu kotor dan tak terawat -- mirip bagian sebuah kota
hantu dengan 270 biksu di dalamnya.
Drepung dan banyak tempat keagamaan lain, termasuk Potala --
suatu benteng sekaligus tempat peristirahatan mengagumkan yang
pernah ditinggali Dalai Lama -- kini ditempatkan di bawah Biro
Administrasi Peninggalan dan Pemeliharaan Kebudayaan di Lhasa.
Banyak tempat suci kini diubah sebagai museum dan obyek turis.
Dalam kaitan itu Peking mengeluarkan biaya AS$ 450.000 untuk
memugar arca Sakyamuni dan Jokka Kang, yang pernah dihancurkan
Pengawal Merah tahun 1966.
Tulisan Ketua Mao
Sementara itu, Peking diam-diam tetap melemahkan umat Buddha
sekte Lama ini. Umpamanya 6.300 sekolah Cina yang mengajarkan
anti ketuhanan didirikan di berbagai tempat. Untuk mengontrol
seluruh sistim itu, Peking menempatkan 120.000 tentaranya di
antara 1,7 juta penduduk pribumi Tibet. Di Lhasa saja yang
berpenduduk 50.000 terdapat 70.000 tentara dan orang Cina.
Sekte Lama merupakan campuran antara kepercayaan Buddha dengan
unsur pemujaan primitif Tibet. Yang penuh dengan mistik, kadang
sadis seperti paham Tantra, malah bisa juga dalam pemujaan
melakukan penyiksaan diri sendiri sebagai yang dianut
kepercayaan shaman.
Dulu anak berusia 7 tahun dianggap sudah patut masuk vihara
untuk memulai masa kehidupan seorang biksu. Tapi sejak 1959,
kebiasaan yang sudah berakar lama itu, tidak ada lagi. Bahkan
pada setiap Jum'at sore para biksu ini lewat biksu yang lebih
senior dicekok dengan pikiran Mao. Banyak diantaranya mempunyai
keyakinan yang mengejutkan. "Komunis", kata mereka, "akhirnya
lebih baik daripada Buddha bagai alat perjuangan."
Benarkah itu? Dalai Lama yang ditanya para wartawan selepas
melakukan medical Check up di Zurich, Swiss, tidak menolaknya.
"Ajaran Buddha tidak berbeda jauh dengan Sosialisme," katanya.
"Beberapa tulisan ketua, Mao, memberi ilustrasi kenyataan itu."
Dalai Lama juga berpendapat antara Marxisme dan Buddhisme
terdapat beberapa persamaan yang mendasar. "Tapi saya lebih
cenderung memakai Marxisme seperti yang tulen, daripada yang
diterapkan di Soviet atau RRC," katanya. "Tujuan yang utama
adalah membuat bahagia rakyat Tibet. Bukan seperti yang
dilakukan sekarang, memulihkan demokrasi, tapi bangsa Tibet
terancam punah."
Pemerintah Pusat di Peking -- setelah kelompok radikal
ditumbangkan -- kini tampaknya berusaha menunjukkan sikap
moderat. Jokka Kang dan vihara Drepung, yang tertutup sejak
pendudukan, kini dibuka. Panchen Lama, orang kedua setelah Dalai
Lama dalam hirarki kepemimpinan agama Tibet, yang pernah 6 tahun
meringkuk sebagai tahanan politik di jaman ketua Mao, kini
mendapat peranan lumayan di partai. Peking juga memberi 29 kursi
pada wakil Tibet di Kongres Rakyat Nasional, naik dari hanya 6
buah sebelum zaman ketua Hua. Malahan sidang Kongres Rakyat
terakhir, dipelopori para biksu Lama, mensyahkan Undang-undang
yang menjamin kebebasan beragama kepada rakyat Cina. Bagi para
pejabat partai yang merintangi pelaksanaan kebebasan beragama
itu, "diancam dengan hukuman penjara 2 tahun."
Kepada para wartawan asing yang mengunjungi Tibet, Peking
tampaknya berusaha keras menunjukkan beberapa keberhasilannya.
"Mereka memang telah membangun jalan-jalan, memperkenalkan
industri kecil, mendirikan pabrik penyamakan kulit dan pabrik
korek api di Tibet," kata Dalai Lama. "Tapi mereka juga telah
menghancurkan segalanya, yang terbaik maupun yang terburuk. Para
biksu yang masih hidup dari aksi militer dikirim ke kamp kerja
atau ke desa sebagai petani."
Cuci Mata
Tanggal 6 Juli lalu, Dalai Lama yang diyakini merupakan titisan
ke-14 dari pendiri Buddha sekte Lama, merayakan ulang tahun
ke-44 bersama 80.000 pengikutnya di Dharamsala, suatu kota
pegunungan India yang berbatasan dengan Tibet. Selain sebagai
pimpinan keagamaan, ia juga berperanan sebagai pimpinan politik
-- suatu bentuk titisan yang tak disenangi Peking. Undangan
pemerintah RRC untuk mengunjungi Tibet baru-baru ini telah
ditolaknya. Dalai Lama tetap tidak bersedia kembali "hingga
Peking memberi jaminan hak asasi manusia, seperti dalam
berbicara kepercayaan beragama dan memberi kebebasan memilih
hidup bagi penduduk Tibet."
Peristiwa perjalanan terakhir Dalai Lama ke Mongolia dan Uni
Soiet menarik perhatian. Di Mongolia, terdapat umat Buddha
sekte Lama. Dari Zurich ia berencana pergi ke Amerika. Apakah
hal itu dalam kaitan mempercepat diplomasinya sambil memainkan
kartu Soviet, untuk kembali ke Tibet "Semata-mata untuk mencari
teman baru dan melihat negeri yang menarik perhatian," jawabnya.
Di Amerika ia akan berkunjung juga ke vihara Lama di Staten
Island dan New Jersey. Dengan jubah kuningnya, setelah lama
mendekam di gunung, Dalai Lama memang perlu 'cuci mata' di
Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini