ARMADA ke-7 mengirim sejumlah pesawat patrolinya bersama
sedikitnya 4 kapal perangnya untuk mondar-mandir di Laut Cina
Selatan. Tugas menyelamatkan "orang perahu" dari Vietnam.
Operasi itu pekan lalu tampaknya sekedar memberi kesan pada
dunia bahwa AS cukup serius menangani soal kemanusiaan.
Sebelumnya di Jenewa, Wakil Presiden AS Walter Mondale
menghadiri konpercnsi PBB tentang pengungsi Indocina. Pada
konperensi itu (20-21 Juli) Evian diingatkannya kembali.
Evian, kota kecil Perancis yang berada di pantai selatan Danau
Jenewa, tempat 32 negara berkonperensi tahun 1938 untuk
membicarakan nasib kaum Yahudi yang diancam pengusiran oleh Nazi
Jerman dan Austria. "Jika tiap bangsa di Evian sepakat hari itu
untuk menerima 17.000 orang Yahudi serentak, tiap Yahudi di
Reich sudah dapat diselamatkan," kata Mondale. ". . . Di Evian
mereka memulai (konperensi) dengan harapan besar. Tapi mereka
gagal dalam ujian peradaban."
Zone Ekonomi Baru
Artinya, 41 tahun lalu mereka tidak bulat hati untuk menampung
Yahudi Jerman itu. Ada bangsa yang hanya mau menerima tenaga
trampil saja. Ada yang mau menerima asalkan ia sudah
di-Keristen-kan.
Dalam konperensi Jenewa terakhir ini masih dirasakan sikap
seperti di Evian dulu. Umumnya para peserta, walaupun bersedia
menyumbang materi, terbatas sekali kesediaannya menampung jumlah
pengungsi Indocina.
Di wilayah ASEAN dan Hongkong kini terdapat hampir 400.000
pengungsi yang menanti pemukiman kembali di negara ketiga.
UNHCR, badan PBB urusan pengungsi, menghitung cuma 250.000 orang
yang sudah terjamin bisa ditampung tahun ini. Sedang janji pihak
negara ketiga itu sudah dibuat sebelum mereka pergi ke
konperensi Jenewa itu.
ASEAN, pemberi suaka (asylum) pertama, dari semula sudah kuatir
terhadap adanya masalah sisa, atau "sampah-sampah" yang tak
bermanfaat. Kemungkinan "sisa" itu terjadi sudah kelihatan,
sedang negara-negara pemberi suaka pertama itu masih diminta
supaya tetap berperikemanusiaan. Maksudnya, arus "orang darat"
maupun "orang perahu" dari Indocina supaya tetap diizinkan masuk
dan jangan diusir.
Muangthai sudah menggiring puluhan ribu orang kembali ke wilayah
Kambodia. Malaysia pun sudah menaikkan kembali ribuan pengungsi
Vietnam ke perahu dan menggiring mereka ke laut lepas. Indonesia
dan Filipina sekedar mencegah supaya tidak bertambah banyak
"orang perahu" itu mendarat.
Kemungkinan bertambah tetap ada. Sumber Amerika menaksir 1,5
juta manusia lagi, mungkin lebih banyak, yang bertekad untuk
berangkat dari Vietnam. Sebagian besar adalah keturunan Cina.
Mereka umumnya dihadapkan pada pilihan: pindah ke Zone Ekonomi
Baru -- yaitu dipaksa membuka hutan dan bertani -- atau berusaha
lari ke luar negeri.
Pemerintah Vietnam tadinya memungkinkan, tentu secara tidak sah,
kepergian mereka. Jalan tidak sah ini malah memasukkan uang ke
kas Hanoi sampai, menurut suatu dokumen yang diedarkan delegasi
AS di Jenewa, sebesar $ 115 juta tahun lalu saja.
Di konpernsi Jenewa itu ternyata delegasi Vietnam tunduk pada
opini dunia. "Vietnam telah meminta saya untuk memberitahukan
anda bahwa untuk suatu jangka waktu yang pantas ia akan berusaha
menyetop keberangkatan illegal," demikian sekjen PBB Kurt
Waldheim yang memimpin konperensi itu.
Diumumkannya pula kesediaan Vietnam untuk bekerjasama dengan
PBB dalam melaksanakan program 7 pasal yang bertujuan mengatur
keberangkatan secara tertib. Dengan penyetopan sementara itu --
tidak jelas sampai berapa lama -- bisa menimbulkan dilemma di
kemudian hari:
Dalam jangka pendek, sejumlah negara termasuk anggota ASEAN
tidak perlu kuatir lagi akan bertambahnya arus "orang perahu"
Vietnam. Sementara itu UNHCR bisa melanjutkan usaha membuka
pusat transit atau processing center -- antara lain di Indonesia
dan Filipina seperti yang telah dijanjikan dan mengatur
keberangkatan pengungsi ke tempat pemukiman tetap di negara
ketiga.
Pusat transit itu bahkan diusulkan antara lain oleh Perancis
supaya juga di ibuka di Vietnam sendiri, tapi ini masih kabur.
Sebab dari situ negara Barat umumnya hanya bersedia menerima
kaum emigran yang akan menyusul keluarga mereka. Ada unsur
pilihan yang ketat. Pihak Barat umumnya kuatir kalau pusat
transit tadi berobah nanti menjadi semacam kemah konsentrasi
(concentration camp) baru di Vietnam.
Dalam jangka panjang -- ini dikuatirkan sekali oleh para
pejabat PBB-Vietnam mungkin akan menyetop keberangkatan sama
sekali. Artinya, tiada lagi terbuka keberangkatan illegal yang
selama ini menjadi kesempatan untuk siapa saja yang ingin lari,
dan tertutup harapan emigasi untuk menyusul keluarga yang,
sudah bermukim di luar negeri.
Jika mau menyetop sama sekali. Vietnam sudah terbukti bisa
melakukannya. Secara ganas, tentunya. Belum lama ini tersiar
berita, misalnya, bahwa serdadu Vietnam menembaki "orang perahu"
di kepulauan Spratly, yang masih dipertikaikan oleh Vietnam,
Cina, Taiwan dan Filipina. Dari 93 orang yang menompang kapal
nelayan dari dekat Nha Trang di bagian selatan Vietnam, hanya
delapan saja yang selamat dari pembantaian di Spratly (21 Juni)
itu.
Kini unit patroli Amerika dari Armada ke-7 berada di Laut Cina
Selatan. Jika benar tujuannya untuk menyelamatkan "orang
perahu", tulis International Herald Tribune, itu "malah menambah
dramatis keterlibatan AS . . . terutama jika Hanoi mulai
menghalangi orang perahu itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini