KETIKA pamit melaut, Bujo Suarno, 41 tahun, masih tampak bugar dan ceria. Maka, istrinya, Sri Maryati, 38 tahun, tak percaya pada apa yang dikabarkan aparat keamanan di rumahnya di Tanjung Pinang, Sabtu malam dua pekan silam. "Suami saya sakit keras, dan saya diminta menjenguknya," tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Tiba di Rumah Sakit TNI-AL Tanjung Pinang, ia menyaksikan tubuh Bujo telah tak bernyawa. Lantai di bawah kaki Sri pun serasa terban.
Bujo adalah nakhoda kapal Dino Ocean II. Tengah malam buta itu, ia sedang membawa kapal berbendera Singapura itu berlayar dari Perawang, Siak, menuju Tanjung Pinang. Tahu-tahu kapalnya diserang dan dibajak oleh sekitar 10 orang perompak, dan nyawa Bujo menjadi taruhan.
Waktu itu ayah tiga anak tersebut tengah memeriksa keadaan kapal. "Bujo terkejut melihat pengendali kemudi kapal diikat dan ia diancam dengan celurit dan golok," cerita Parno, adik ipar Bujo, mengutip pengakuan anak buah kapal yang selamat. Ia pun lari dan bersembunyi di onggokan ban bekas. Celaka, para pembajak mengetahui persembunyian Bujo dan menceburkannya ke laut.
Mayatnya baru ditemukan nelayan esok siangnya di perairan Pulau Sore, Kepulauan Riau. Sedangkan lima anak buah kapal (ABK) yang dibekap diturunkan dengan selamat di Pulau Benang. Sementara itu, Ferry Anderson Kudaling, mantan nakhoda kapal Dino Ocean II, dibawa kawanan penjahat bersama kapal tunda dan tongkang Dino Ocean. Ini perompakan kedua pada 2003. Yang pertama menimpa kapal Quansing 12, yang juga dinakhodai Bujo?ia juga dibuang ke laut, tapi selamat.
Komandan Gugus Keamanan Laut RI Armada Barat, Laksamana Pertama TNI Tedjo Edy, mengatakan pihaknya tengah mencari kapal tunda yang dibawa kabur itu. "Tingkat perompakan di Riau sangat tinggi karena banyaknya pulau kecil yang aman untuk tempat bersembunyi," tutur Tedjo. Pada tahun 2002 saja tercatat empat kali perompakan, 951 kasus pencurian pasir, penyelundupan hasil hutan, pengiriman tenaga kerja ilegal, dan pencurian kayu.
Selain banyak pulau persembunyian, minimnya kapal cepat pemburu perompak dan tiadanya perjanjian hukum antara Indonesia dan Singapura mempersulit aparat menindak kejahatan di laut di perairan antara negara yang bertetangga ini. "Mereka merampok di Indonesia, hasilnya dijual di Singapura. Pemerintah Singapura tidak mempermasalahkan asal-usul barang (yang diperjualbelikan di sana)," demikian keluhan Tedjo.
Kapal minyak menjadi sasaran utama kejahatan laut, ditambah kapal biasa, bahkan perahu nelayan. Wan Mashuri, pemilik perahu nelayan asal Bagan Siapiapi, misalnya, mengalami seluruh milik dan ikan tangkapannya dirampok akhir Desember silam. Ini dimulai ketika enam orang di sebuah perahu motor meminta pertolongan mereka. Tapi, begitu perahu Mashuri mendekat, pistol dan parang langsung ditempelkan di jidat mereka. Nasib serupa pernah dialami Mashuri pada 1998.
Hal yang sama menimpa pula nelayan Dumai bernama Damhari, 52 tahun. Mantan juragan ikan ini harus kehilangan kapal Cahaya Dumai miliknya, ditambah jari-jari tangannya, saat dirompak ABK-nya sendiri. "Ansori yang mengalungkan celurit dan Sarmin yang mengikat saya," ujarnya.
Menurut para nelayan Bagan Siapiapi, para perompak itu berasal dari Sumatera Utara, Aceh, dan Palembang. "Tapi mungkin juga mereka dari kapal-kapal asing yang melayari perairan Indonesia," ujar Mashuri. Sementara itu, dari pemeriksaan Tedjo, para perompak dapat disimpulkan rata-rata (bekas) ABK yang berpengalaman. "Kebanyakan mereka kenal dengan ABK yang menjadi sasaran," tuturnya.
Tedjo menduga pula, sindikat internasional berada di balik maraknya perompakan kapal dan perahu nelayan. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat mereka makin menggila. "Ditangkap TNI-AL, pihak lain melepasnya dengan alasan enggak cukup barang bukti," ia mengeluh.
Rommy Fibri, Rumbadi Dalle (Tanjung Pinang), Jupernalis Samosir (Bagan Siapiapi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini