ANCAMAN orang kuat Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, akan mengurangi jatah bensin dan gas ke Lithuania ternyata bukan hanya gertak sambal. "Cekikan" Moskow itu membekas nyata pada republik yang memisahkan diri dari Soviet tersebut. Jumat lalu, para pemimpin Lithuania mengatakan, bensin dan gas terpaksa dijatah, dan mereka menganjurkan rakyat agar melakukan penghematan energi. Jurus yang dimainkan Moskow itu tak urung mengundang kritikan keras dari dunia internasional. Bahkan hubungan Moskow-Washington terancam memburuk akibat aksi Gorbachev tersebut. Toh itu membuat Gorbachev surut melakukan langkah kedua untuk memaksa Lithuania bertekuk lutut -- yakni dengan membatasi pengiriman bahan makanan. "Kami telah menerima salinan dokumen-dokumen via telegram yang mengkonfirmasikan bahwa bukan minyak dan gas saja yang pengirimannya dikurangi atau malahan dihentikan, tapi juga pasok bahan makanan," kata Romualdas Ozolas dalam sebuah jumpa pers. Pembantu Perdana Menteri itu menambahkan, dua kapal Kuba yang membawa gula untuk Lithuania telah dibelokkan arahnya, dan pasok ikan yang diangkut dari Latvia, tetangga Lithuania, telah dikirim pula ke tujuan lain. "Saya yakin, kejadian-kejadian di atas merupakan bagian dari suatu rencana lebih besar untuk melakukan blokade terhadap negeri kami. Saya takut, langkah-langkah itu akan diperluas lagi," kata Presiden Vytautas Landsbergis. Kepala Negara Lithuania itu juga mengungkapkan bahwa Moskow telah mengurangi secara drastis pengiriman ban, kabel, pipa, plastik, dan bahan-bahan industri lainnya. Dengan demikian, diperkirakan industri Lithuania akan berhenti bekerja andai kata negara baru itu tak memperoleh pasok dari saluran lain. Sementara itu, tindakan kekerasan pun sudah mulai pula diambil Soviet. Sebuah satuan tentara para Soviet, yang dipimpin oleh seorang kolonel, secara paksa menduduki gedung percetakan milik Partai Komunis Lithuania. Alat-alat cetaknya disita, sedangkan 30 pegawai dan petugas keamanan yang menjaga kantor itu dipukuli tentara. Pemukulan baru berhenti setelah sekumpulan orang yang menyaksikan insiden tersebut meneriaki serdadu-serdadu tersebut dengan, "Fasis, fasis!" Tujuan pendudukan gedung itu mungkin untuk melumpuhkan salah satu alat komunikasi pemerintah Lithuania yang berpenduduk 3,6 juta jiwa tersebut. Itulah keadaan terakhir di Lithuania setelah Moskow mulai memberlakukan blokade ekonomi atas Lituania untuk memaksanya membatalkan proklamasi kemerdekaannya. Tekanan Moskow itu dimulai sejak Jumat, 20 April lalu, dengan batas waktu dua hari. Tapi sampai Sabtu malam, sehari sebelum batas waktu yang dibertkan Moskow berakhir, belum terlihat tanda-tanda Lithuania akan menyerah. "Ini adalah permulaan dari kemerdekaan yang sejati," kata Perdana Menteri Kazimiera Prunskiene. Presiden Landsbergis bersikeras mengatakan, Lithuania akan terus berpegang pada proklamasi pelepasan dirinya dari Uni Soviet 11 Maret lalu. "Lithuania sanggup bertahan sampai seratus tahun tanpa gas dan minyak," katanya. Ia menambahkan, justru Soviet sendiri yang akan rugi dengan blokade ekonomi tersebut. "Ekonomi mereka sedang berada di jurang krisis. Yang dilakukannya sekarang adalah memukuli dirinya sendiri," tambah Landsbergis. Walau para pemimpin Lithuania nampak tegar, kenyataannya justru sebaliknya. Negeri itu sangat bergantung pada pasok minyak dan gas Soviet. Kalau blokade ini tak dihentikan, Lithuania hanya bisa bertahan selama dua minggu untuk bahan bakar dan enam minggu untuk gas. Juga, sebagai akibat dari blokade ekonomi itu, mulai terlihat adanya perbedaan pendapat -- walau masih belum menjadi konflik -- di kalangan para pemimpin negara baru itu. Algirdas Brazauskas, salah seorang Wakil Perdana Menteri, mengatakan di depan anggota Parlemen Lithuania bahwa suatu kompromi mesti dicari. "Dalam waktu dua minggu kita akan menghadapi keadaan yang sangat kritis. Harga untuk kemerdekaan ada batasnya," katanya. Untuk mengatasi embargo itu, beberapa pemimpin Lithuania telah bertolak ke luar negeri dalam pencarian jalan keluar. Perdana Menteri Prunskiene, misalnya, bertolak ke negara-negara Skandinavia untuk memperoleh minyak. Tapi sebegitu jauh misinya belum berhasil karena negara negara itu juga memerlukan bahan energi untuk konsumsi sendiri. Untuk sementara waktu, nampaknya Lithuania tak akan bisa berbuat banyak mengatasi tekanan dari Moskow tersebut. Satu-satunya uluran tangan yang dapat diharapkannya hanyalah tekanan dunia internasional terhadap Soviet. Untung bagi Lithuania, reaksi dunia cukup keras dan cepat, walau tadinya negara-negara Barat mencoba menahan diri untuk tidak menambah kesukaran yang dihadapi Gorbachev. Tapi penggunaan sanksi ekonomi yang nampaknya efektif itu cukup mengejutkan pihak Barat juga. Presiden George Bush, dalam sebuah konperensi pers di Bahama belum lama berselang, mengatakan bahwa ia dan Presiden Francois Mitterrand merasa terganggu oleh langkah Moskow atas Lithuania tersebut, dan Amerika Serikat sedang memikirkan untuk mengambil langkah-langkah "pembalasan". Dikatakannya pula, keseganannya untuk menghukum intimidasi ekonomi Moskow terhadap Lithuania adalah kekhawatiran kalau tindakan seperti itu justru akan mengganggu kemajuan di bidang-bidang lain dalam hubungan Amerika-Soviet. Tapi Menteri Luar Negeri Amerika, James Baker, terang-terangan mengancam akan membalas aksi Moskow itu dengan saluran ekonomi. Jepang pun ikut mengajukan protes dan menyerukan kepada Soviet agar menahan diri serta tak menempuh tindakan-tindakan yang represif. Apa pun perkembangannya, kelihatannya Gorbachev ingin menjadikan nasib Lithuania sebagai contoh untuk kedua negara Baltik lain, Latvia dan Estonia, yang ingin mengikuti jejak Lithuania. Untuk meredakan ketegangan di kedua negara itu, Gorbachev menawarkan mereka untuk mendapatkan posisi khusus dalam Uni Soviet. Kalau keduanya masih bersikeras untuk melepaskan diri, nasib seperti yang dialami Lithuania telah menunggu. Nasib Lithuania memang tak begitu baik, walau tak bisa dikatakan kelabu. Lithuania tak hanya tergantung Soviet dalam bidang minyak dan gas. Hampir 100% dari kebutuhan logam, pupuk, traktor, mesin, dan malah juga biji-bijian, sangat bergantung pada wilayah-wilayah lain Soviet. Tapi nampaknya Gorbachev tak akan mengambil tindakan militer, karena khawatir akan dampak pembalasan Barat terhadap ekonomi Soviet yang sedang parah. Taktik Gorbachev adalah menekan sambil membuka pintu lebar-lebar untuk berunding. Soalnya sekarang, sampai berapa jauh Lithuania bisa bertahan. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini