BILA Naga Merah bertemu Beruang Merah, sejarah pun mencatat persahabatan Cina-Soviet sebentar, dan permusuhan kedua negara yang agak panjang. Kini, setelah sang Beruang yang hampir luntur merahnya, sementara kadar merah sang Naga masih kuat, bila mereka bertemu apa yang akan terjadi? Yang pasti, rencana kunjungan PM Li Peng ke Soviet -- kunjungan pejabat tinggi Cina pertama dalam waktu 35 tahun terakhir ini -- awal pekan ini, menjadi tanda berubahnya sikap RRC terhadap Mikhail Gorbachev. Sampai beberapa bulan silam rencana kunjungan itu masih sangat disangsikan terwujudnya. Beijing sangat tak puas dan mengecam rangkaian kebijaksanaan Gorbachev yang kelewat liberal, baik kebijaksanaan domestik maupun terhadap Eropa Timur. Para pemimpin Cina, yang meng anggap negerinya sebagai benteng terakhir komunisme, malah meramalkan, mungkin mengharapkan, usia pemerintahan Gorbachev tak lama. Dewasa ini RRC sedang sibuk-sibuknya menjalankan pembangunan ekonomi, modernisasi, dan konsolidasi ke dalam. Atas dasar itulah ia memerlukan suatu situasi yang adem ayem di dunia internasional, dan terutama di wilayah yang berada tak jauh dari perbatasannya. Untuk ini, tampaknya RRC siap mengubah kaca mata dalam memandang Soviet. Pertimbangan ekonomi barangkali menjadi faktor yang paling besar peranannya. Walaupun pada kenyataannya hubungan kedua negara belum betul-betul "normal", volume perdagangan Cina-Soviet terus menanjak. Nilai impor Cina ke Soviet pada 1985, tahun ketika hubungan kedua negara mulai menghangat, adalah US$ 982 juta. Angka itu pada 1986 meningkat menjadi US$ 1.440 juta, yang berarti peningkatan sekitar 50%. Sedangkan ekspornya pada 1985 sebesar US$ 995,8 juta, dan pada 1986 US$ 1.200 juta atau naik sekitar 25%. Para ahli perdagangan internasional memperkirakan angka akan itu terus naik sehingga menguntungkan kedua pihak. Sejarah hubungan Cina Soviet sejak 1920-an memang penuh dengan liku-liku yang cukup kompleks dan turun-naik. Pada 1949, ketika perang dingin mulai melanda dunia, dan ketika RRC baru saja berdiri, Mao menganut kebijaksanaan yang kemudian dikenal dengan istilah "condong kesatu pihak". Ia, dalam dunia yang terpolarisasi oleh pertentangan antara kubu imperialisme yang dipimpin Amerika dan kubu sosialisme di bawah Uni Soviet, tak punya pilihan lain. Bagi Cina, kata Mao, berpihak pada sosialis merupakan satu-satunya pilihan, karena itu merupakan "hari depan dunia". Karena itulah, seluruh kebijaksanaan domestik, internasional, dan ideologi Cina waktu itu mengikuti teladan yang diberikan oleh Soviet. Dari pembangunan ekonomi sampai sistem kepartaian di Cina pada periode 1949-1955 dikenal dengan sebutan "era model Soviet". Tapi menjelang pertengahan 1960-an terjadi suatu perubahan yang mendasar, baik di Cina maupun di Uni Soviet. Pada 1955 terjadi pergeseran dalam alam pemikiran Mao: ia mulai mempertanyakan cocoknya "model Soviet" untuk diterapkan di Cina. Ia, misalnya, menyimpulkan pembangunan ekonomi model Soviet yang menekankan pada industri berat ternyata telah memperbesar kesenjangan antara daerah pedesaan dan kota, dan kesenjangan antara kaum buruh dan kaum tani. Pedesaan dan petani ternyata menjadi korban pembangunan ekonomi. Padahal, pada pendapat Mao, petani dan pedesaan adalah unsur yang paling berjasa memenangkan revolusi Cina. Pada 1959, sebagai akibat dari kegagalan Kampanye Lompatan Jauh ke Muka, Mao tersisih dari kedudukannya sebagai kepala negara dan ketua partai. Ia harus menyerahkan kursi presiden kepada saingan utamanya, Liu Shaoqi. Sedangkan dalam urusan partai, ia pun tak banyak lagi menentukan lantaran, meski ia tetap sebagai ketua, urusan administrasi sehari-hari partai diserahkan kepada Deng Xiaoping yang ditunjuk sebagai sekjen. Mao merasa tersisih, tapi dalam ketersisihan itu ia punya waktu untuk merenungkan kembali tentang jalan yang ditempuh Cina. Sementara itu, di Soviet pun terjadi pula perkembangan mendasar. Stalin si diktator meninggal pada 1954. Penggantinya, Nikita Khrushchev, yang keluar sebagai pemenang dalam pergulatan kekuasaan, menempuh jalan yang berlainan sekali. Malah, dalam kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) segala kebijaksanaan Stalin, terutama yang menyangkut masalah kultus individu, dikecam habis. Inilah yang menyebabkan Mao sangat berang. Bila hal-hal yang dilakukan Stalin salah, katanya, berarti pula seluruh kaum sosialis telah melakukan kesalahan. Serangan Khrushchev atas kultus individu Stalin juga membuat marah Mao, lantaran di Cina pun sedang berkembang pula pemujaan pribadi terhadap Mao dan pikiran-pikirannya. Konflik Cina-Soviet kemudian merembet ke bidang ideolgi, karena Khrushchev memperkenalkan gagasan baru dalam menghadapi "imperialisme" Amerika dengan menawarkan prinsip koeksistensi secara damai. Menurut Mao, Khrushchev berkhianat pada perjuangan kubu sosialis, dan kompromistis terhadap imperialis. Mulai saat itulah, setelah melalui berbagai debat Beijing-Moskow, Cina memberi cap "revisionis" kepada para penguasa Uni Soviet. Menjelang pertengahan 1960-an pertentangan Beijing-Moskow tak bisa didamaikan. Cina menganggap Uni Soviet sebagai musuh. Sejak 1969 perang kata-kata Cina-Soviet berubah drastis menjadi perang bedil, setelah meletusnya konflik bersenjata di perbatasan. Tahun itu juga yang menjadi tonggak sejarah penting. Cina mengadakan pendekatan dengan Amerika Serikat demi melawan "agresivitas" Soviet. Tapi, menjelang 1980, kebijaksanaan Cina yang menentang Uni Soviet dan bersekutu dengan Amerika diubah kembali. Ini erat kaitannya dengan strategi baru Cina yang "memelihara jarak" dengan kedua superkuat. Adapun strategi itu seiring dengan dilaksanakannya reformasi ekonomi dan dipacunya Empat Modernisasi. Sejak itu, Cina berusaha memperbaiki hubungan dengan Soviet. Usaha memperbaiki kembali hubungan ini berjalan alot, terutama karena Cina menuntut tiga hal: Uni Soviet harus keluar dari Afghanistan, pasukan Soviet sepanjang perbatasan dengan Cina harus ditarik, dan Moskow harus menekan Vietnam agar angkat kaki dari Kamboja. Dengan naiknya Gorbachev pada 1985, penarikan pasukan pendudukan dari Afghanistan pada 1988, dan penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja, proses pendekatan tambah lancar. Tahun lalu bahkan Gorbachev ke Beijing. Hampir saja kunjungan ini tak ada artinya buat kembalinya hubungan baik kedua negara. Soalnya, Gorbachev disambut pula oleh para demonstran yang menuntut demokrasi. Kunjungan Li Peng kini sebetulnya merupakan kunjungan balasan. Tapi itu mencerminkan bahwa Cina bersedia mengubah sikap demi lancarnya pembangunan ekonominya. Kata pemimpin Cina kini, yang dilakukan Gorbachev adalah urusan dalam negeri Uni Soviet. Siapa nanti yang lebih tidak merah lagi? ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini