Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Serat surya raja dan islam

Dalam serat surya raja ada semacam nasionalisme ke agamaan. setelah perang antara jawa & tanah sebrang berlangsung seimbang, mereka sadar allah telah menyelamatkan. akhirnya keduanya memeluk agama islam.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITANYA dimulai pada suatu waktu ketika Purwa Gupita (juga disebut Purwa Cipta), sebuah negeri Islam di Jawa, diperintah oleh Surya Amisesa. Inilah tuturan dari Serat Surya Raja, sebuah babad Keraton Yogyakarta, yang sejak 1948 telah diamankan sebagai pusaka di dalam Prabajeksa (kamar pribadi) Sri Sultan HB IX. Serat yang mulai ditulis pada abad ke-19 dan baru selesai (dengan versi barunya) pada 1911-12 ini adalah -- seperti dikatakan Ricklefs dalam disertasinya -- A grand pseudo-historical or prophetical allegory bagi nasib kekuasaan raja-raja Jawa yang mulai berpecah-belah akhir abad ke-17 dan 18. Gambaran perpecahan itu dimulai dengan pembagian Kerajaan Purwa Gupita kepada kedua putra sang raja. Dana Kusuma, putra tertua, mendapat jatah pemerintahan di Negeri Danuraja. Dan Jaya Kusuma, putra kedua, menggantikan ayahnya untuk memerintah di Negeri Purwa Gupita. Tujuh bulan kemudian, sang raja tua, yang telah mengetahui kersoning Gusti Allah (kehendak Allah), mangkat. Krisis dimulai ketika sang adik, Jaya Kusuma -- setelah memerintah selama 15 tahun -- menyusul ayahandanya. Puja Kusuma, putra tertua Jaya Kusuma, tak bisa mewarisi takhta ayahnya karena abang sang ayah, Dana Kusuma, mengambil alih kekuasaan adiknya. Usaha Puja Kusuma merebut takhta itu sia-sia. Bahkan putra mahkota yang malang itu dibunuh. Tapi sang kakek, pendeta dari Rasa Mulya, yang juga disebut Panembahan ing Giri, menuntut balas. Melalui kesaktiannya, panembahan keturunan waliyolah dari Arab ini menghancurkan kekuatan raja lalim itu. Dan lewat kesaktiannya pula, Jaya Kusuma yang telah terbunuh bisa dihidupkan kemhali. Sang Panembahan Giri, yang sebelumnya telah menduga wisik Tuhan bahwa cucunyalah yang akan menjadi Pakuningbumi kelak, mengetahui tekdir bahwa sang cucu belum waktunya "kembali. Jawa, di bawah rajanya yang sah ini, kembali diintegrasikan. Kisah ini menarik bukan dari segi kebenaran dongengnya, tapi dari fungsi dongeng itu sendiri dalam merekonstruksikan tujuan-tujuan kekuasan dan politik. Jika kita berpegang pada pendapat Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno terkenal, bahwa Arjunawiwaha bukanlah merupakan rekonstruksi post-factum dari kemenangan Erlangga -- karena karya Empu Kanwa itu dibuat sebelum kejayaan Erlangga sempurna -- maka Serat Surya Raja ini bisa juga kita hayati sebagai rencana besar penyatuan politik dan kekuasaan Jawa di masa depan. Dan karena itu pula, serat ini merupakan respon terencana terhadap realitas kekuasaan Jawa yang terpecah belah akibat kehadiran Belanda. Hal yang terakhir inilah yang kemudian dilukiskan lebih lanjut oleh serat itu. Di sini, pada suatu ketika raja Pancasona dari Tanah Sabrang telah menduduki dan menguasai Negeri Purwa Gupita. Dan untuk mempertahankan kekuasaannya, sang raja baru ini membangun benteng di negeri tersebut. Tetapi pada suatu hari ia mendapat wisik yang menyatakan babwa jika ia ingin tetap berkuasa, ia harus menghancurkan "jimat Tanah Jawa, yaitu pasareyan (kubur) Giri Rasamulya. Jika tidak, maka keratonnya akan hancur. Dari sinilah unsur Islam mistik muncul dalam Serat Surya Raja ini. Semacam "nasionalisme keagamaan" telah bangkit di Tanah Jawa, ketika Pancasona, raja Sabrang, berusaha menghancurkan kubur tersebut -- demi mempertahankan kekuasaannya. Maka Purwa Raja atau Puja Kusuma, penguasa Jawa dari Negeri Purwa Gupita, meminta nasihat kepada Jayamurcita untuk meletakkan landasan idiel bagi prang sabilolahnya melawan raja kafir. Lalu dikisahkanlah bahwa perang antara Jawa dan Tanah Sabrang itu berlangsung seru. Kekuatan kedua belah pihak seimbang. Bahkan kesaktian Ratu Laut Selatan, yang memihak orang-orang Jawa, diimbangi oleh kekuatan magis dan gaib dari Tanah Sabrang. Toh akhirnya tentara Jawa terdesak atau setidak-tidaknya mengalami status quo. Maka, dalam situasi itulah Prabu Kenya, seorang Ratu makhluk halus, memerintahkan tentara Jawa agar mengalunkan ayat-ayat Quran dan berdoa kepada Allah guna mencapai kemenangan. Seketika itu pula, pesanggrahan raja Tanah Sabrang diserang gempa bumi dan badai. Akibatnya, bagi raja Tanah Sabrang yang kafir itu cukup fatal. Ia jatuh sakit, keberaniannya lenyap. Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya, tidak juga Nalendra, raja jin kawan sang raja. Dengan sia-sia mereka berdoa kepada dewa untuk mengusir tentara musuh dan menyembuhkan sang raja. Maka, pada suatu Jumat Legi, raja meminta semua pergi dan membiarkannya sendiri. Dalam sepi itu ia berdoa kepada Dewagung, dewa yang luwih misesa untuk kesembuhannya, dan agar orang-orang Jawa yang mengepung kotanya terusir keluar. Tiba-tiba suara tak berbentuk berbisik kepadanya: Jadi, oh Raja, kau meminta kepada Dewa? menyembuhkan sakitmu dan untuk semua keinginan semacam itu. Itu bukanlah jaminan karena semua itu, wadagmu dan meminta-minta kepada Dewa, atas kehendak Tuhan, semua sia-sia. Ubahlah kepercayaannnu dan masuklah ke dalam Islam, Serulah Allah yang Maha Agung. Allah Yang Maha Tinggi Jika engkau memeluk selain Islam, Keratonmu ditakdirkan hancur oleh kekuatan musuh, engkau akan lenyap dengan istri, anak-anak dan pembantumu Jika kau ikut Islam musuhmu akan menyerahkan diri Dan kau akan sembuh Seketika sang raja sadar dan tertarik kepada Islam. Tapi dia tak tahu bagaimana harus menyembah. Ia meminta bantuan dewa, dan kembali suara tadi berkata bahwa Allah Yang Mahatinggi telah menurunkan Quran dan kitab berisi seluruh ajaran Islam. Maka, dengan seketika sang raja sembuh. Yang paling mengejutkan, para pengepung dipukul balik oleh ledakan gunung berapi sehingga para penyerang menyerah. Maka, penguasa Purwa Rukma dan rakyatnya amat gembira, sadar bahwa mereka telah diselamatkan Allah. Akhirnya, kedua raja (Jawa dan Tanah Sabrang) itu berunding bersama, dan akhirnya memeluk agama yang sama, Islam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus