Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Beit Lahiya Meledak

Warga sipil terbunuh lagi oleh serangan Israel. Milisi Hamas mencabut gencatan senjata. Presiden Abbas, dari Fatah, mengecam Israel melancarkan terorisme negara.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETUSAN peluru di antara deburan ombak. Dan delapan warga Palestina yang sedang bersantai di pantai dekat Beit Lahiya, Gaza, itu pun meregang nyawa. Yang tujuh adalah satu keluarga. Tiga di antaranya anak-anak.

Kejadian dua pekan lalu itu menebar ketegangan. Hamas menunjuk militer Israel bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Kelompok Islam militan ini pun menyatakan mengakhiri kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung 16 bulan.

Israel membantah tudingan itu. Menteri Pertahanan Amir Perets tampil bersama penyelidik Jenderal Meir Klifi mengumumkan hasil penyelidikan internal mereka. Klifi menampik kemungkinan negaranya terlibat dalam peristiwa ini. Ia malah balik menuduh ranjau Palestina yang meledaklah penyebabnya.

Kelompok militan Hamas—yang menguasai pemerintah Palestina—menolak klaim Israel itu. Mereka meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan investigasi independen. ”PBB dan komunitas internasional seharusnya meningkatkan usaha mereka untuk melindungi warga sipil Palestina,” kata Saeb Erakat, Ketua Negosiasi Palestina.

Hasil penyelidikan yang dilansir Human Rights Watch memperkuat tuduhan Hamas. Menurut Mark Garlasco, salah satu anggota tim yang datang ke lokasi kejadian, ledakan tidak berasal dari pasir di bawah mereka, namun ditembakkan oleh artileri Israel dari sebelah utara Gaza. Artinya, gugur sudah pernyataan bahwa ledakan berasal dari ranjau Palestina sendiri.

Peristiwa di pantai itu menambah panjang daftar serangan Israel. Sebelumnya, militer Israel membunuh kepala keamanan Hamas, Jamal Abu Samhadana.

Serangan demi serangan ini membuat Hamas kian menggelegak. Sayap militer Hamas, Brigade Ezzedin al-Qassam, segera mengumumkan akan memulai kembali serangan bom bunuh diri ke Israel setelah 16 bulan—selama masa gencatan senjata—menahan diri. Brigade al-Qassam juga mengumumkan telah meluncurkan sebelas roket ke Israel sebagai sebuah serangan balasan atas tewasnya warga sipil Palestina.

Salah satu pimpinan Hamas, Khaled Meshal—kini dalam pelarian politik di Damaskus, Suriah—mendukung aksi pembalasan ini. Namun, Ahmad Yusuf, penasihat Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah, menyatakan serangan itu ”tidak dilakukan untuk kepentingan pemerintah Palestina”. Apa pun, inilah episode baru dari konflik tanpa henti Palestina-Israel. Perdamaian tampaknya makin jauh dari kenyataan.

Apalagi, konflik politik Hamas-Fatah sering diperburuk dengan bentrokan-bentrokan berdarah. Pekan lalu, Presiden Mahmud Abbas mengumumkan akan diadakan referendum pada 31 Juli mendatang. Rakyat Palestina sendiri yang menentukan apakah mau atau tidak mereka hidup berdampingan dengan Israel. Dengan kata lain, bukan pemerintah Hamas yang berkuasa.

Tentu saja Hamas menolak. Sejak dibentuk pada 1987, mereka memang menentang keberadaan Israel dan mengumumkan bahwa Kesepakatan Oslo pada 1993—salah satu pijakan perdamaian Palestina Israel—”mengkhianati keinginan Tuhan”.

Berbagai keraguan merebak seputar rencana Abbas itu. The Economist menganalisis beberapa masalah di seputar referendum yang berdasar pada dokumen yang dikonsep oleh aktivis Hamas dan Fatah yang kini mendekam di penjara Israel. Dokumen yang terdiri dari 18 poin ini mencakup orang-orang Palestina untuk menerima Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai negara bagian independen.

Pertama, tak ada jaminan referendum benar-benar akan terlaksana. Hamas telah menyiapkan segala rintangan hukum dan politik yang mungkin untuk menghentikan referendum. Situasi kian tak menentu dengan menajamnya pertentangan Hamas dan Fatah. Sebelum Hamas, Fatah-lah yang menguasai pucuk pimpinan Palestina.

Kedua, katakanlah pemilihan ini akan sukses. Qaddoura Fares, pimpinan Fatah, telah mengumumkan pihaknya akan mengundurkan diri dari pemerintahan dan menuntut diadakan pemilihan baru. Fatah memang jauh dari menang pemilihan umum. Kalaupun bisa menang, mereka sulit bisa berhasil mengayuh biduk pemerintahan. Tak cuma karena terjangan Hamas, namun karena problem-problem dalam diri mereka sendiri seperti korupsi dan pertikaian internal semenjak mereka kehilangan kekuasaan.

Palestina adalah Hamas yang terisolasi, konflik Hamas-Fatah yang mengancam persatuan negeri, dan Israel yang tak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya melancarkan provokasi berdarah. Meskipun Washington mengecam serangan terhadap warga sipil di pantai Gaza itu, sikapnya tak berubah. Mereka ramai-ramai mengancam akan memboikot pemerintahan Palestina yang dikuasai Hamas sampai mereka mengakui Israel. Bahkan, pekan lalu Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berhasil mendapat dukungan dari sekutunya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Palestina cepat berubah. Pekan lalu, Presiden Abbas, sosok yang dinilai dekat dengan Israel, mulai mengecam Israel, negeri yang ditudingnya telah menyelenggarakan terorisme negara. Itulah langkah berani yang mungkin bakal mendekatkannya dengan Hamas, sekaligus menaikkan daya tawarnya terhadap Israel dan sekutunya.

Andari Karina Anom (BBC, The Economist, AP)


Isolasi, juga Provokasi

Hamas, si pemenang pemilu, terisolasi. Sumber dananya dibekukan, bank-bank asing tak berani mengirim uang. Sudah tiga bulan lebih gaji ratusan ribu pegawai negeri tak dibayar. Sementara itu, di medan dalam negeri, bentrokan berdarah dengan milisi Fatah masih berlangsung. Terakhir, provokasi serangan-serangan Israel yang menewaskan orang sipil dan sifatnya memancing Hamas agar bereaksi dengan kekerasan.

29 Maret Presiden Mahmud Abbas melantik pemerintahan Hamas pimpinan Perdana Menteri Ismail Haniyeh, setelah partai Abbas, Fatah, kalah dalam pemilu dua bulan sebelumnya.

7 April Amerika dan Uni Eropa menyetop aliran dana demi menekan Hamas mengakui hak berdirinya Israel, menghentikan kekerasan, dan menerima perjanjian damai.

9 April Israel memutuskan semua kontak dengan pemerintahan Palestina dan membekukan pembayaran pajak yang diambil sebelum Hamas berkuasa.

17 April Bom bunuh diri menewaskan 11 orang di Tel Aviv, ibu kota Israel.

9 Mei Amerika, Rusia, Uni Eropa, dan PBB setuju mengalirkan dana tanpa melalui Hamas. Israel membekukan lebih banyak lagi sumber dana.

17 Mei Pemerintah Hamas menempatkan milisinya di jalan-jalan Gaza. Mereka berhadapan langsung dengan polisi Fatah suruhan Abbas. Hanya dalam beberapa hari, konflik pecah.

20 Mei Kepala Intelijen Palestina—sekutu Abbas—terluka dalam upaya pembunuhan.

23 Mei PM Israel Ehud Olmert berkunjung tiga hari ke Amerika demi menuai dukungan dari pemerintahan Presiden Bush dan parlemen Amerika untuk menetapkan sendiri batas-batas wilayah Israel.

25 Mei Abbas mengultimatum Hamas untuk mendukung Israel atau menghadapi referendum. Tenggat 10 hari yang ia berikan sempat diperpanjang.

4 Juni Bank-bank Palestina mulai membayar sebagian gaji pegawai negeri, tapi kebanyakan dari 165 ribu pegawai masih belum dibayar.

7 Juni Hamas setuju menarik milisinya dari Gaza demi menghindari perang saudara.

9 Juni Serangan Israel menewaskan 11 orang di Gaza, termasuk delapan penduduk sipil di pantai. Hamas menghentikan 16 bulan gencatan senjata. Milisi pro-Hamas menembakkan roket seminggu penuh ke permukiman Yahudi di Tepi Barat sebelum mengucapkan niat gencatan senjata.

10 Juni Presiden Mahmud Abbas mengumumkan akan mengadakan referendum pengakuan Israel pada 26 Juli. Hamas langsung menolak.

12 Juni Milisi pro-Abbas merusak kantor pemerintahan dan parlemen—yang dikuasai Hamas. Mereka juga menghancurkan segala perlengkapan kantor dan membakarnya. Di Gaza, milisi pro-Abbas menyerang kantor polisi lokal.

11 Juni PM Israel Ehud Olmert mengadakan kunjungan ke Inggris dan Prancis demi menggalang dukungan melakukan tindakan unilateral.

13 Juni Serangan Israel ke Gaza menewaskan sebelas warga Palestina. Presiden Abbas menyebut Israel sebagai pelaku terorisme atas nama negara.

14 Juni PM Israel Ehud Olmert mengirim 950 senapan M-16 ke Ramallah dan Gaza sebagai bentuk dukungannya bagi Abbas-Fatah.

15 Juni Menteri Informasi Yusuf Rizqah kembali ke Gaza membawa koper berisi $ 2 juta. Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Mahmud al-Zahar membawa 12 koper berisi sepuluh kali lipat dari sebelumnya.

Kurie Suditomo (Reuters/AP/Chicago Tribune)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus