Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Pabottingi
Dalam sekian banyak produk rasionalitas manusia berupa kontrak-kontrak politik modern—apakah itu bernama konstitusi, ikrar, atau konsensus—ada tingkat-tingkat ketercerahan. Selalu ada kontrak politik yang akal budinya lebih cemerlang dari yang lain. Toh, semua produk itu tunduk pada niscayanya ketaksempurnaan.
Semua yang namanya rasionalitas di bidang politik bukan hanya niscaya terbatas, melainkan juga kerap diabadikan pada suatu titik dari deretan kegentingan—dari expediency atau contingency—pada kondisi runding yang sarat kegamangan. Toh, tak jarang di tengah-tengah kegentingan dan kegamangan itu tampillah tokoh yang dengan gemilang merumuskan ideal-ideal sebagai sintesa dari pergulatan dialektis yang selama itu berlangsung. Dia tanggap membaca pesan-pesan kebajikan dari derita panjang bangsanya—sintesa dialektis yang bersambut dengan kerinduan-kerinduan kompatriotnya, sehingga semua sepakat menerimanya sebagai rangkaian jati cita. Yang terpatri dan dijunjung tentu bukanlah kegentingan dan kegamangan itu, melainkan buah kreativitas akal budi darinya. Begitu pulalah halnya dengan kontrak atau konsensus politik makro bangsa kita, Pancasila.
Tetapi betapa luhur pun suatu rangkaian jati cita sebagaimana ia disusun oleh para pendiri nasion, pelecehan atau bahkan pengkhianatan terhadapnya selalu terjadi dari waktu ke waktu, kadang oleh para penyusunnya sendiri, dan sesudah itu oleh para ahli warisnya dari masa ke masa. Tocqueville menulis bahwa sedikit sekali pemimpin Amerika yang memiliki kualitas ”which...distinguished the Americans in former times”. Dan selalu saja ada yang memandang produk demikian tak hanya dengan ketakpuasan, melainkan juga dengan kebencian diam-diam, disertai langkah-langkah gerilya untuk membatalkan atau menggantinya.
Begitulah, cukup banyak yang tak menyukai Pancasila, dari kalangan mayoritas maupun minoritas. Dan sudah aksiomatis bahwa kontestasi politik takkan pernah reda di mana pun, terlepas dari adanya kontrak-kontrak politik. Jika tak nyata, kontestasi ini laten, baik karena kerinduan pada kesempurnaan, karena kedengkian, atau karena kebodohan semata-mata. Dengan kontestasi itu kita bisa melangkah semakin maju, namun bisa juga mundur ke titik nol.
Syukurlah bahwa dari sang Guru bernama Aristoteles, putra-putri terkemuka bangsa-bangsa yang hendak menegakkan bangunan nasion telah menyadari bahwa tolok ukur utama suatu rasionalitas politik tak lain adalah lingkup kebajikan publik yang dikandungnya. Kian besar kadar kian luas lingkup kebajikan publik yang inheren pada suatu kontrak politik, kian meyakinkan pula ia sebagai jaminan bagi stabilitas politik jangka panjang—dan kian patutlah ia dijadikan tiang pancang negara-nasion. Pancasila memenuhi kadar dan lingkup itu secara prima.
Jika kita bisa memaafkan ketaksempurnaan Pancasila, akan lebih mudah bagi kita melihat betapa besar dan luas rangkaian kebajikan publik yang dikandungnya dan potensial bisa kita wujudkan secara bertahap. Mengapa demikian?
Pancasila dicanangkan sebagai puncak, titik simpul, dari rangkaian musyawarah yang sah secara prosedural maupun secara substansial. Dari kedua sisi keabsahan itu, Pancasila merupakan hasil sublimasi dan kristalisasi perjuangan ratusan tahun bangsa kita. Menyimpulkan kedua kandungan kebajikan publik ini, Pancasila adalah patokan sekaligus bagi nasion dan demokrasi kita—dengan visi progresif yang menjangkau sejauh-jauhnya ke masa depan.
Keabsahan prosedural dalam sidang-sidang maraton Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan guna merumuskan dasar negara kita sejak Maret hingga Juni 1945 sulit dibantah. Tak ada ”pesan sponsor”. Tak ada tekanan dan ancaman. Tak seorang pun preman atau koruptor yang duduk di situ. Juga, tak ada tipu-menipu agenda sidang seperti yang begitu marak di masa yang disebut Era Reformasi kini. Di atas semuanya, praktis tak ada kelompok dan/atau perserikatan politik yang aktif dan hidup sah kala itu, termasuk dari kalangan minoritas, yang tak terwakili atau sengaja dipinggirkan. Dari kaum perempuan ada Mr. Nj. Maria Ulfa Santoso, memang satu-satunya. Dari minoritas Cina, terbaca nama-nama Oeij Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, Liem Koen Hian, dan Mr. Tan Eng Hoa. Memang, kaum komunis tak terwakili, tetapi itu semata-mata lantaran partainya masih dalam status terlarang sejak pemberontakan abortifnya di Sumatera Barat pada awal 1930-an.
Pancasila adalah sublimasi dan kristalisasi dari rantai panjang perjuangan protonasion silih berganti di Nusantara dengan kesadaran politik yang mini, burai, dan sentrifugal, katakanlah, dari abad ke-17 hingga dekade-dekade pertama abad ke-20. Ini berlanjut ke zaman pergerakan kemerdekaan dengan kesadaran politik yang maksi, kohesif, dan sentripetal. Sublimasi/kristalisasi itu lebih nyata lagi jika kita simak inkorporasi ke Pancasila gagasan-gagasan Perhimpoenan Indonesia (Indonesische Vereeniging), seperti ”kesatuan nasional” dan ”solidaritas”. Begitu pula isi Soempah Pemoeda serta pesan-pesan aksi dan moral politik yang terkandung dalam pidato pembelaan Bung Hatta (Indonesia Vrij) dan Bung Karno (Indonesia Menggoegat).
Kedua sisi keabsahan yang menandai Pancasila serta sifatnya sebagai sublimasi dan kristalisasi dari rangkaian panjang perjuangan serta aspirasi kemerdekaan bangsa kita itulah yang membuatnya ”sakti”—tidak dalam pengertian mitis, melainkan dalam pengertian bahwa sebagai kontrak politik ia bersambung hangat dengan rasa dan rasio kita, dengan diri politik dan diri historis kita. Dan manakala kita sekali-sekali merujuk ke Pancasila sebagai jati diri, itu seyogianya dipahami sebagai personifikasi atau penubuhan dari jati cita di atas, sama sekali bukan pembekuan identitas.
Tiap sila dalam Pancasila mustahil dibekukan, apalagi perpaduan dan koherensi dari kelima-limanya. Sebagai kesatuan yang utuh, ia menantang manusia-manusia Indonesia kini dan nanti untuk terus menyusun dan melaksanakan rangkaian demi rangkaian agenda politik yang subtil, cerdas, dan progresif. Tak satu pun kontrak politik lainnya sejak proklamasi kemerdekaan kita hingga kini yang bisa disejajarkan dengan Pancasila. Apa yang disebut ”Konsensus Nasional Orde Baru”, misalnya, yang senantiasa diagung-agungkan oleh pemerintahan Soeharto sama sekali tak memenuhi semua kriteria di atas. Ia sudah mati dan kedaluwarsa jauh sebelum mesin negara Orde Baru runtuh.
Akhirnya, Pancasila merupakan representasi nasion dan demokrasi sekaligus—dua entitas simbiotik yang tak terpisahkan satu sama lain. Karena bagian-bagiannya sudah hadir atau terbenihkan dalam Perhimpoenan Indonesia, Soempah Pemoeda, pidato pembelaan Bung Hatta dan Bung Karno, Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan ideologi nasion. Nasion kita sudah ada pada 1928 dan karena itu mendahului negara kita. Berbeda dengan kasus Uni Soviet kala mesin negaranya lumpuh dan komponen-komponen nasionnya langsung mencerai-beraikan diri pada 1989, kala mesin negara Orde Baru lumpuh pada 1998, bangsa kita tetap bertahan pada satu nasion. Tak satu pun nasion lain yang mengisi benak manusia-manusia di negeri kita sedemikian menyeluruh selain nasion Indonesia. Dan andil Pancasila, walau tak digembar-gemborkan, tak terbantahkan di situ.
Demokrasi dalam modernitas par excellence adalah ketika imperatif ”persatuan” atau ”ketuhanan yang maha esa” tak boleh menginjak-injak ”kemanusiaan yang adil dan beradab” atau ”keadilan sosial” atau ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Tak satu sila pun yang boleh dijadikan ”panglima” sendiri seperti dalam praktek pengkhianatan Orde Baru. Tiap sila dari kelima sila itu mesti dijadikan berinteraksi progresif, dalam ketentuan saling imbang saling kontrol kreatif satu sama lain, sepanjang tiap rangkaian agenda politik yang adil dan maju, yang harus kita jadikan kian meluhurkan dan mensejahterakan dari masa ke masa. Begitulah modal das Sollen kita menghadapi das Sein.
Pada sisi nasion dari Pancasila bersemi kuat yang afektif-historis dan pada sisi demokrasinya terbuka kesempatan seluas-luasnya bagi kita untuk mengusung yang obyektif-rasional. Yang obyektif-rasional takkan jalan tanpa yang afektif-historis, seperti tak jalannya rasio tanpa rasa, akal tanpa kalbu. Kesalahan terbesar dari upaya reformasi politik kita selama delapan tahun terakhir tak lain adalah karena kita hendak membina demokrasi dengan terus melanjutkan praktek rezim Orde Baru menginjak-injak nasion.
Mengikuti gong penginjak-injakan nasion dalam pembantaian ratusan ribu saudara-saudara kita pada 1965–1966, nasion juga diinjak-injak dalam tragedi DOM di Aceh, dalam pembantaian Marsinah dan Munir, dalam perampasan tanah rakyat yang tak terhitung, dalam kasus Dana JPS di bawah Akbar Tanjung, bahkan, yang paling mutakhir, dalam ketaksediaan Bagir Manan untuk tampil sebagai saksi—suatu sikap yang sungguh amat sangat memalukan bagi seorang Ketua Mahkamah Agung. Itu sulit dibantah sebagai pembutaan mata hati pada kenyataan bahwa pemberantasan korupsi adalah agenda terpenting untuk menyelamatkan negara-nasion kita, lantaran angkara korupsi merupakan akar tunjang segenap kehancuran yang masih terus melanda bangsa kita.
Tak ada pilihan cerdas-arif lain: kita harus tetap berpegang pada dan menjunjung Pancasila.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo