Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gempa Yogyakarta, Aids Industry, dan Aids Politics

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andy Siswanto

  • Arsitek/Urban Designer/Planner. Praktisi di bidang pembangunan permukiman dan perkotaan.

    GEMPA di Yogyakarta dan Jawa Tengah harus diklasifikasikan ke dalam skala bencana besar. Di sana, ribuan orang meninggal dan beratus-ratus ribu rumah ambruk atau rusak, dengan nilai kerusakan yang lebih dari 30 triliun. Untuk mengatasi hal ini, kawasan itu butuh manajemen bencana yang baik, yakni manajemen yang memiliki struktur organisasi yang kuat. Mereka harus bekerja cepat sesuai dengan garis komando yang jelas, dari pusat sampai ke desa-desa.

    Para pengelola manajemen bencana itu juga haruslah a-politis dan lebih mengedepankan para profesional yang cerdas, bersih, tulus, dan mampu berpikir strategis (bukan bertele-tele). Mereka juga haruslah orang-orang yang memiliki keahlian, bisa merumuskan kebijakan, serta memiliki kapasitas sebagai do-er (bukan hanya planner) untuk menggerakkan staf di lapangan.

    Di kawasan bencana, agenda politik partai atau pilihan-pilihan ideologi tidak boleh menjadi panglima, karena sangat potensial mengacaukan arah, proses, dan kecepatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Proses itu haruslah terhindar dari lingkaran aids politics sehingga para korban tidak menjadi korban politik dan heroisme semu.

    Untuk menghindari hal tersebut, para pejabat, donor, LSM, ahli, ”relawan” dan relawan sejati harus menempatkan diri sebagai mitra pemberdaya yang semata-mata bekerja untuk menyediakan bantuan yang berkualitas pada korban. Dalam konteks politik rehabilitasi dan rekonstruksi, semua pihak harus berkomitmen untuk memberdayakan mitra inti, yakni para korban. Para korban tidak boleh menjadi obyek para mitra pemberdaya, yang justru sering kali malah ”terberdayakan” oleh adanya bencana.

    Dalam prakteknya, aids politics (politik bantuan) ini sering lebur dan sulit dipisahkan dengan aids industry (industri bantuan). Industri bantuan adalah sebuah nafsu filantropis, relawanisme, dan altruisme yang dilakukan tidak secara tulus. Segala aktivitas mereka umumnya terjadi karena oportunisme bisnis semata.

    Di negara yang sering dilanda bencana seperti Indonesia, praktek seperti itu kini sedang menjamur. Ada indikasi banyak lembaga donor internasional yang bertindak seperti itu. Mereka menggandeng LSM, kontraktor, konsultan, dan relawan lokal. Mereka datang dengan mobil-mobil mewah, membuat foto-foto di lapangan untuk menyusun proposal, serta melakukan berbagai pelatihan dan berseminar di hotel-hotel berbintang.

    Dan sekarang ini, wilayah bencana di Yogyakarta dan Jawa Tengah sangat potensial menjadi incaran industri bantuan (marketplace), terutama bank-bank internasional, lembaga donor, LSM, proyek pemerintah. Bantuan seperti ini akan tidak terlalu bermanfaat buat rakyat bila kita tidak mampu memerintah (governing) secara kuat dan benar. Bantuan itu juga percuma kalau kita tidak mampu menyusun strategi dan program rehabilitasi dan rekonstruksi yang kreatif, cerdas, dan kontekstual bagi rakyat kita sendiri.

    Proposal dan program yang tidak jelas urgensinya akan berhamburan, ”relawan” asing dan lokal yang gaji dan overhead pengelolaannya selangit akan menyerbu. Kita akan menyaksikan program bantuan adalah copy & paste program lain. Mereka datang dengan rencana dipaksakan dan jadwal penyelesaian yang serampangan. Akibatnya, efektivitas bantuan yang diterima korban sangat rendah.

    Dalam soal ini, pendapat Graham Hancock, penulis buku Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business; menjadi relevan untuk disimak. Graham menyimpulkan bahwa sering kali organisasi bantuan internasional memaksakan resep program yang dijiplak dari tempat lain. Lembaga-lembaga itu menghabiskan dana untuk proyek-proyek besar tapi kurang berguna. Organisasi seperti itu biasanya mengkampanyekan good governance, tapi juga memberi peluang kepada para koruptor. Para staf mereka bukan pekerja keras yang cakap, tapi bergaji jauh lebih besar dari gaji orang-orang kantoran di negara asalnya.

    Graham menuduh, mereka adalah tuan-tuan besar kemiskinan (the lords of poverty) pada zaman modern. Mereka berperan sebagai dukun bagi korban bencana, memiliki kekuasaan besar tapi tidak perlu harus mempertanggungjawabkan karyanya kepada siapa pun (accountable to no one).

    Semoga manajemen rehabilitasi dan rekonstruksi di DIY dan Jawa Tengah tidak terjebak dalam aids politics dan mampu mengelola secara efektif aids industry yang akan segera berkembang di sana. Dan semoga pula para korban bisa ditangani oleh para profesional dan relawan yang tulus dan memiliki cinta kasih yang sesungguhnya kepada mereka yang sedang menderita.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus