Ia dikagumi kaum Badui. Ia tolak tawaran Inggris, ia embargo Amerika. BAGAIMANA mungkin seorang syeikh dari Teluk yang berbudi luhur terlibat sebuah bank internasional yang melakukan skandal? Adalah persahabatan Zayed Al Nahyan, syeikh itu, dengan Agha Hassan Abedi, seorang bankir Pakistan. Pada awal 1970-an itu Abedi memang sengaja mendekat lewat hobi Syeikh Zayed berburu dengan elang. Setelah saatnya tepat, disebut-sebutlah Bank of Credit & Commerce International (BCCI) yang tengah berkembang. Bank internasional ini, kata Hassan Abedi, milik yayasan orang muslim, dan berperanan di negara-negara Dunia Ketiga. Penguasa Abu Dhabi yang punya perhatian pada Dunia Ketiga dan perhatian pada yang disebutnya "sosialisme Islam" ini ak- hirnya setuju membeli 35% saham BCCI. Tahun lalu, ketika keuangan bank yang punya cabang di 70 negara ini gawat, Syeikh Zayed memasok dana US$ 1 milyar, yang menyebabkan sahamnya mejadi 77%. Tak jadi soal baginya apakah investasinya rugi atau sebaliknya, kata Nasser Al Nowais, pemimpin yayasan dana bantuan luar negeri Abu Dhabi, pada surat kabar Asian Wall Street Journal. Ia marah, bukan karena ia harus kehilangan US$ 2 milyar. Kegiatan gelap BCCI itulah yang memprihatinkannya. "Tak seorang pun membenci narkotik, manipulasi, atau penipuan seperti Syeikh Zayed," kata Nasser pula. Putra keempat Sultan Al Nahyan, lahir 1916, ini memang lain. Pada usia 30 tahun ia menjadi gubernur wilayah Al Ain, satu oase miskin di padang pasir, 135 km di barat kota Abu Dhabi. Di sini hidup sejumlah Badui pengembara. Gubernur baru yang bercambang kecokelatan ini, dengan tubuh- nya yang kekar, wajahnya yang kukuh, matanya yang bak menyelidik, otaknya yang tajam, dan sikapnya yang tenang tapi penuh wibawa ikut naik kuda dan unta dan berburu bersama Badui. Ia segera dikenal sebagai jago berkelahi di kalangan suku pengembara yang hidupnya keras. Bisa jadi di Al Ain inilah watak luhurnya berkembang. Pada 1955, ketika minyak belum muncrat, Gubernur Zayed menolak tawaran Inggris beberapa juta dolar sebagai ganti sewilayah daerahnya. Seorang milyuner yang terkucil dari tanah- nya, demikian kira-kira ia menjawab, tak ada harganya di matanya. Zayed tahu, wilayah itu bagi Badui pengembara bak air bagi ikan. Sikap itu jugalah yang membawanya ke singgasana Abu Dhabi. Syeikh Shakbut menolak memanfaatkan pendapatan dari minyak un- tuk kepentingan bersama. Maka, dengan cara halus digesernya sang kakak. Lalu, ia membangun perumahan sehat, jalan raya, dan sekolah-sekolah. Lalu, ia hijaukan Abu Dhabi. Sebagaimana para raja, Syeikh Zayed pun punya banyak anak dari sejumlah istri. Menurut majalah Time, semuanya ada 19 putra dan 22 putrinya. Dengan kekayaannya, pada 1981 ia menikahkan putra sulungnya dengan biaya US$ 40 juta, pesta tujuh hari tujuh malam di teater terapung yang baru dibangun dengan kapasitas 20.000 orang. Sebagai penguasa salah satu negara Teluk, sikapnya jelas. Pada 1973 ia mengembargo minyak untuk AS karena Paman Sam mem- bantu Israel. Pada 1979 Uni Emirat Arab ikut mengucilkan Mesir. Dalam Perang Teluk melawan Saddam, ia ikut memerangi sang tiran. Sikap modern Syeikh Zayed tercermin antara lain oleh berperannya kaum wanita di Abu Dhabi. Ibu negara, Syeikha Fatima, dengan tetap mengenakan burka, menerima istri-istri diplomat asing. Dan belum lama ini pergi ke Maroko, meresmikan sebuah pusat kebudayaan. Kini, tergantung kemurahan Zayedlah, kerugian para deposan BCCI bisa diganti atau tidak. BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini