Penampilan yang bersemangat menghibur dan meriah dengan pemain yang kompak. Malam itu Moliere terasa jadi seorang pelawak. ORANG KAYA BARU (OKB) Pemain: Prijo W. Winardi, Didi Petet, Sari Madjid, Ratna Riantiano Karya: Moliere Produksi: Teater Koma Sutradara: N. Riantiarno Tempat: Graha Bhakti Budaya, TIM, 20 sd. 30 Juli JORDANA (Prijo) dalam lakon OKB -- saduran dari karya Moliere: Le Bourgeois Gentilhomme (ditulis pada 1670) -- adalah tokoh yang amat kocak. Anak seorang pedagang yang hidupnya bergelimang kekayaan ini sayangnya bukan bangsawan. Dengan seluruh semangat kampungannya, ia berusaha mengangkat harkatnya dengan cara belajar membaca dan mengapresiasi seni. Dibimbing oleh guru musik (Subarkah Hadisardjana), guru tari (Alex Fatahilah), guru silat (Budi Sobar), dan guru filsafat (Didi Petet), ia ingin menyulap dirinya menjadi manusia elite. Tetapi karena kedunguan dan kesombongannya, ia justru semakin terkubur dalam jurang kebebalan. Di tangan guru filsafat yang mata duitan, ia semakin terperosok menjadi olok-olok. Sriworo Lusili (Sri Yatun Arifin), putri Jordana, pasang as- mara dengan Bagus Kleonte (Boedi Ros). Karena Bagus orang "sudra" Jordana serta-merta menolaknya kendati istrinya (Ratna Riantiarno) membela si Sri. Moliere tak mau mengecewakan penonton. Ia mencarikan jalan percintaan itu dengan memberikan akal pada Bagus untuk menyamar sebagai pangeran Turki. Ini mem- buat Jordana bertekuk lutut. Lelaki yang gila hormat itu pun menyambut kedatangan Bagus dengan penuh hormat. Lalu dengan bangga mempersembahkan putrinya sambil menerima gelar-gelar kehormatan. Dengan ganasnya Moliere mengolok-olok Jordana. Sejak awal sampai akhir cerita, OKB itu menjadi bulan-bulanan ejekan. Tragisnya, ia tak pernah tahu bahwa ia sudah tertipu. Ia tak pernah sadar, gelar-gelar yang didapatnya itu cipoa. Ia tidak akan mengerti bahwa orang "sudra" yang sudah ditolaknya justru telah dijadikannya menantu yang amat ia hormati. Dengan lucu, Moliere berhasil memotret kenyataan hidup yang sebenarnya pahit. Perilaku yang dengan mudah dan sering kita dapati ber- cokol pada beberapa tokoh di sekitar kita. Seloroh penulis Prancis yang hidup pada 1622-1673 itu terasa juga bicara tentang kehidupan kita. Ini kehebatan Moliere. Moliere -- aslinya bernama Jean Baptiste Poquelin, putra pengurus perabot istana -- dikenal baik di Indonesia, sebagaimana juga Nicolay Gogol dan Anton Chekov. Penerbit Balai Pustaka sudah lama menerbitkan Si Bachil, yang dengan jenaka mengupas kekikiran calon mertua. Karya Moliere tidak hanya dibaca masyarakat, tapi dimainkan di panggung. Teater Populer antara lain banyak membawakan karya penulis banyolan ini. Moliere selalu menembak "korbannya" dengan berani tetapi jujur. Sindiran-sindirannya, yang menoreh ke dasar kemanusiaan, berhasil selalu terasa aktual, komunikatif kapan saja dan di mana saja. Di balik lelucon, kita melihat kecerdasan dan perenungan hidup yang mendalam. Di dalam canda terasa observasi yang tajam dan pengupasan telak. Tak mungkin hal tersebut ter- jadi dari orang yang tak mengenal dengan total kehidupan. Istimewanya, di balik kritik-kritik pedas yang tidak menjadi maki-makian itu, terasa Moliere begitu menyayangi manusia- manusia tokohnya. Barangkali inilah yang menyebabkan sindiran- nya, meskipun terkadang bisa "brutal" dan "kurang ajar", selalu ramah dan jernih. Kita menikmati jiwa penulis yang besar dan matang. Cerita Le Bourgeois Gentilhomme sederhana, sehingga dapat dinikmati oleh orang awam, tetapi tajam. Dalam kesederhanaan itu, terkandung kesempatan-kesempatan dramatik yang pasti meng- gairahkan para aktor dan sutradara. Karakter-karakter yang ditampilkannya adalah karikatur dengan garis-garis yang tebal dan jelas. Tampak menantang untuk dimainkan tetapi mengandung bahaya besar karena deras kemungkinan bisa menjebloskan pada hal-hal yang berselera rendah. Di tangan Teater Koma, Moliere terasa sebagai seorang pelawak. Seluruh pertunjukan merupakan usaha yang rajin untuk menghibur. Dengan kostum-kostum yang "menyala-kampungan", para pemain utama yang memiliki penguasaan panggung yang baik (Prijo Winardi, Didi Petet, Sari Madjid, Ratna Riantiarno, Kofil Fahil, Rita Matu Mona) sudah mengusahakan adegan demi adegan menjadi estafet ketawa. Cerita mengalir, pemain kompak, panggung meriah, sebagaimana biasanya Teater Koma. Didi Petet, yang muncul sebentar, terasa mengesankan. Berbeda dengan pementasan-pementasan Koma sebelumnya, OKB tidak menjadi seperti "koran kuning". Koma tidak lagi menampilkan diri sebagai tembok jalan yang sesak oleh "grafiti". Sindiran, protes-protes, serta "lelucon syahwat" lenyap sehingga cerita menjadi lempeng. Banci-banci tidak diek- sploitasi lagi meskipun tidak sama sekali ditinggalkan. Ada lagu-lagu, musik yang ditata baik dan rajin oleh Idrus Madani. Tarian dari rombongan penari balet yang dipimpin oleh Linda Karim terasa agak amatiran. Namun, dibandingkan dengan pementasan Perkawinan Figaro yang dimainkan oleh Koma di Gedung Kesenian Jakarta beberapa waktu berselang, OKB kurang artistik. Adegan-adegannya ditampilkan gampangan dan sederhana. Toh penonton Koma, yang memadati ruang pertunjukan, tampak tak berkeberatan dan senang. Barangkali Koma memang tidak punya maksud lain kecuali bercanda. Koma, yang selalu berhasil menghibur penggemarnya, dalam perkembangan tontonan Indonesia adalah sebuah fenomena. Kelompok ini jago mengumpulkan penonton. Kehadirannya telah mengundang orang mempertanyakan: Apa sebenarnya teater itu? Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini