Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah medan berubah

Setelah jatuhnya kubu Phnom Malai, pasukan gerilyawan berserakan menjadi satuan-satuan kecil. Hubungan vietnam-Muangthai semakin suram. Vietnam menggunakan gas beracun. Sihanouk ke Australia.(ln)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENTUMAN meriam tidak lagi menggemuruh di perbatasan barat Kamboja, menjelang awal pekan ini. Di kantung-kantung yang ditinggalkan gerilyawan Khmer Merah itu, pasukan Vietnam mengerahkan penduduk membersihkan bekas ajang pertempuran. Mereka sekaligus memasang pagar kawat berduri sepanjang 40 km, menghadap ke utara dan selatan Aranyaprathet, sebagai upaya mencegah larinya gerilyawan anti-Vietnam ke wilayah Muangthai. Namun, pertempuran belumlah sepenuhnya usai. Menurut panglima tertinggi angkatan bersenjata Muangthai Jenderal Arthit Kamlang-ek, "Pasukan perlawanan kini memecah diri dalam satuan-satuan kecil, dan mengusik jalur suplai Vietnam jauh di pedalaman Kamboja." Mereka kembali ke taktik klasik sergapan gerilya. Dengan cara ini pula, mereka dikabarkan berhasil membunuh beberapa penasihat Soviet dan Eropa Timur lainnya di sebuah hotel di Kota Siem Reap, dan melumpuhkan fasilitas radar di pelabuhan udara Battambang. Sementara itu, hubungan Vietnam dengan Muangthai bertambah suram. Di desa-desa perbatasan Surin, Buri Ram, dan Ubon Ratchathani, Jenderal Arthit sudah memerintahkan pasukannya membangun kubu. "Setiap ancaman Vietnam di dekat perbatasan Muangthai harus kami anggap sebagai konfrontasi langsung," katanya. Sikap itu dikemukakan Arthit setelah juru bicara angkatan udara Muangthai melaporkan bahwa dua lapangan terbang Kamboja sudah diperluas dan di modernkan untuk pendaratan pesawat tempur MiG-23 buatan Soviet. Kepada para wartawan, pekan lalu, perwira tadi mengatakan, "Radar kami membaca pendaratan sebuah MiG-23 di pelabuhan udara Pochentong, Phnom Penh." Dia menambahkan, "Lapangan terbang Battambang, di Kamboja Barat, juga sudah dipugar." Sampai saat ini, menurut para perwira Muangthai, pesawat-pesawat MiG-23 belum menjadi bagian dari angkatan udara Vietnam, dan masih diterbangkan pilot-pilot Soviet. Kendati begitu, bukan mustahil dalam masa mendatang Vietnam memiliki dan mengelola sendiri pesawat itu. Untuk mengimbangi kenyataan ini, Bangkok sudah mendekati Washington dan berbicara tentang sebuah skuadron F-16A. Kecaman lain yang dilemparkan Muangthai kepada Vietnam ialah penggunaan gas beracun phosgene dan hydrogen cyanide terhadap gerilyawan Kamboja. Pekan lalu setelah mengadukan hal ini kepada sekjen PBB Javier Perez de Cuellar, Muangthai memamerkan sebuah roket yang belum meledak, yang konon berisi kedua gas maut tadi. Roket itu dari jenis yang digunakan AS di Indocina, pada 1960-an sampai 1970-an. Ketika Vietnam Selatan jatuh ke pihak Utara, 1975 banyak stok senjata AS yang ikut berpindah tangan. Lebih gawat lagi, menurut Muangthai, empat roket maut itu jatuh ke wilayah mereka, sekitar 2 km di utara Desa Sanro Changan, Provinsi Prachinburi. Menurut juru bicara komando tertinggi angkatan bersenjata Muangthai, Mayor Jenderal Naruedol Dejpradiyuth, "Rumah sakit Aranyaprathet sedang merawat 12 orang Khmer yang mengalami gangguan pernapasan, setelah roket jenis itu meledak." Kantor berita Vietnam, VNA, menyangkal tuduhan ini, dan menyebutnya sebagai "fitnah". Apa pun perkembangannya, kejatuhan Phnom Malai membawa perubahan besar dalam peta sengketa Indocina. Norodom Sihanouk sendiri mengakui,"Kejatuhan ini bisa merugikan kami dalam sidang Majelis Umum PBB yang akan datang." Sebab, ia menambahkan, "Mereka tentu akan mempertimbangkan juga keadaan medan pertempuran." Dan medan itu, apa boleh buat, memang praktis sudah dikuasai Vietnam. Sejak kejatuhan Phnom Malai, wilayah "Kamboja Bebas" tinggallah markas Sihanouk di Tatum, di kawasan utara Kamboja. Vietnam tidak pernah mengusik markas ini, seperti juga mereka belum pernah mencaci maki Sihanouk secara terbuka. Di New York, duta besar Vietnam untuk PBB Hoang Bich Son bahkan mengatakan, "Pangeran Norodom Sihanouk bisa memainkan peranan politik di Kamboja." Ia menyebut Sihanouk, "Sangat cerdas, tetapi kadang-kadang )uga sangat tidak cerdas." Tetapi, ia menandaskan, "Keputusan yang diambil sang pangeran pasti akan diperhatikan pemerintahan Heng Samrin." Kian jelas, Vietnam mengharapkan pendekatan terpisah dengan kepala pemerintahan koalisi Kamboja itu. Sihanouk sendiri tidak memustahilkan sebuah perundingan, tetapi hanya dalam kedudukannya sebagai presiden koalisi. "Saya tidak ingin meninggalkan rekan-rekan sekoalisi," katanya kepada menteri luar negeri Muangthai Siddhi Savetsila di Bangkok, Sabtu lalu. DENGAN sikap ini pula, malamnya, Sihanouk tiba di Sydney untuk kunjungan 11 hari di Australia dan Selandia Baru. Australia, yang tidak mengakui pemerintahan Kamboja mana pun juga, hanya mengirimkan pejabat yunior untuk menyambut sang pangeran. Tetapi, ia akan berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Bill Hayden, dan dengan pers di Canberra. Sihanouk, 63, mengatakan antara lain akan meminta kesediaan Australia menampung lebih banyak pengungsi Kamboja. Seakan mendukung musibah ini, Radio Khmer Merah melaporkan serangan mereka ke Kota Lomphat, ibu kota Provinsi Rattanakiri, dekat perbatasan Kamboja-Vietnam. Mereka juga menggempur Kota Dambal di Provinsi Kompong Cham sebelah timur Phnom Penh. Menurut siaran itu, balai besar Provinsi Rattanakiri "hancur total", tiga gedung lainnya porak-peranda, termasuk pos komando pasukan Vietnam. Dalam kedua serbuan itu, Khmer Merah mengklaim telah menewaskan 81 tentara Vietnam, dan melukai 89 lainnya. Dilema Indocina memang terletak pada Khmer Merah yang, di mata Vietnam, ibarat duri di dalam daging. Hanoi, misalnya, tidak keberatan atas "penentuan nasib sendiri oleh Rakyat Kamboja", dengan mengecualikan Khmer Merah, yang secara lebih khusus mereka sebut "klik Pol Pot". Tetapi, Sihanouk - yang keluarganya sendiri banyak dibunuh oleh rezim Pol Pot - tidak bisa mengabaikan kekuatan ini, dengan sekitar 35.000 gerilyawan berpengalaman dan bersenjata paling lengkap, bila dibandingkan dengan dua kelompok koalisi lainnya. LALU, buntukah sudah semua jalan? Kepada TEMPO, awal pekan ini, Jusuf Wanandi, direktur eksekutif Pusat Studi Masalah Strategis dan Internasional (CSIS) tetap melantunkan nada optimistis. Seminar kedua Indonesia-Vietnam, yang baru diselenggarakan di Jakarta, menurut Jusuf, "Mencerminkan pemahaman yang lebih baik antara masing-masing pihak." Anggota MPR RI itu percaya, penyelesaian politis tetaplah lebih mustahak ketimbang penyelesaian militer. Tetapi, katanya, "Konsep dasar dan mekanisme penyelesaian itu haruslah lebih dulu ditata dengan jelas." Jusuf juga melihat, Indonesia bisa berperan lebih besar dalam merintis jalan ke perundingan. Peranan ini, agaknya, tersirat dalam rencana kunjungan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja ke Hanoi, sebelum 8 Maret mendatang. Di Kuala Lumpur, dalam perjalanan pulang dari Tokyo, minggu lalu, Mochtar mengatakan ingin mengetahui apakah Vietnam sudah siap untuk sebuah negosiasi tentang masalah Kamboja. Reuter malah mengutip Mochtar, "Saya telah meminta kepada menteri luar negeri Vietnam agar menjamin penghentian serangan terhadap gerilyawan Khmer Merah selama kunjungan saya di Vietnam." Tetapi, sebuah "koalisi nasional" Kamboja yang sama sekali bebas dari pengaruh Vietnam, tampaknya, juga tidak layak diharapkan. Faktor keamanan dalam negeri membuat Vietnam tidak bisa berhenti menyalangkan mata terhadap ancaman RRC, yang selalu bersiaga di perbatasan utara. Tekanan Vietnam terhadap Khmer Merah belakangan ini, misalnya, terasa di imbangi oleh peningkatan kegiatan militer RRC di perbatasan dengan Vietnam. Ahad lalu, Radio Hanoi menyiarkan, pasukan Cina menembakkan ribuan peluru mortir dan artileri ke Provinsi Ha Tuyen, Hoang Lien Son, Lang Son, dan Quang Ninh. RRC, sebaliknya, menuduh pasukan Vietnam mencari gara-gara. Siaran televisi Beijing melaporkan, "Pasukan Vietnam menembakkan ratusan peluru meriam ke wilayah RRC selama liburan Tahun Baru Cina."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus