PERS adalah sebuah cermin. Mungkin karena itu seorang tokoh dalam sebuah sandiwara John Osborne, The Hotel in Amsterdam, memberi nasihat, "Jangan sekali-kali mempercayai cermin, ataupun koran." Katakanlah pagi ini - atau sore nanti saya membeli selembar koran. Lalu duduk di tepi jalan. Halaman pertama saya buka. Apa yang akan saya lihat di sana? Wajah saya? Barangkali. Apa yang saya simpulkan apa yang saya rasakan dari lembaran itu pada akhirnya mungkin tergantung benar pada bagaimana hati kita saat itu. Koran itu akan merengut bila wajah kita memang perengut. Jika saya seorang yang menyangka dengan agak yakin - bahwa tampang saya seperti Mel Gibson mungkin saya bisa selalu senyum tiap kali melongok ke sana. Di depan saya, yang terhidang hanya puja-puji. Sebaliknya, jika saya begitu kecewa pada karunia Tuhan dan menilai wajah sendiri sebagai celurut, mungkin, siapa tahu, di koran itu yang tampak hanya sang celurut: pantulan dari kecemasan saya sendiri Karena itu, "Jangan sekali-kali mempercayai cermin, ataupun koran," kata nasihat itu. Artinya, jangan berharap, bahwa di dalam koran, seperti dalam cermin, akan ditemukan persepsi yang benar. Tapi toh, tanpa memandang ke cermin, tanpa membaca koran, dengan menolak untuk percaya, tak otomatis kita sudah beroleh cara untuk memandang diri sendiri secara tepat. Sonder cermin, yang dusta, tak berarti kita bebas dari anganangan kosong tentang diri sendiri. Petuah dalam The Hotel in Amsterdam itu, dengan demikian, bisa hanya sebuah petuah untuk menunda kepalsuan lain. Tapi ada juga benarnya petuah seperti itu. Ia bisa diterjemahkan begini: tiap kali Anda membuka surat kabar, sebaiknya cek dulu adakah Anda sakit gigi. Sebab, bagaimana Anda membaca, akhirnya sama pentingnya dengan bagaimana sebenarnya pers itu bercerita. Seingat saya, banyak sudah nasihat, penataran, pesan, wejangan, imbauan, resep resep, tentang bagaimana menulis berita yang baik - yang bebas dan bertanggung Jawab - untuk para wartawan. Yang belum pernah saya dengar ialah sebuah loka karya tentang bagaimana membaca yang baik sebuah koran. Artinya, bagaimana membaca tanpa terpengaruh oleh ada atau tidaknya sakit gigi. Seorang teman yang ahli zoolokologie (saya tak tahu apa itu zoolokologie) mengatakan bahwa ada tiga golongan pembaca koran yang gampang salah. Yang pertama ialah ia yang membaca secara tetelan. Begini: dari sebuah berita, yang ia tangkap dan ia ingat hanyalah bagian kecilnya saja. Terutama, bagian yang "pedas". Ia lalu menyimpulkan, tanpa melihat konteks keseluruhan berita itu, bahwa itulah contoh berita yang "pedas". Pembaca jenis ini gemar mencungkil kutipan kecil, detail gambar atau foto, dan tak tahu bahwa menurut penelitian para ahli psikologi Gestalt, "Bukan bagian yang membentuk keseluruhan, melainkan keseluruhan itulah yang menentukan makna bagian bagiannya." Yang kedua ialah jenis pembaca yang welwelan. Ia biasanya orang yang penuh itikad baik untuk meiindungi kepentingan umum, tapi teramat cepat cemas akan pengaruh buruk pers bagi para pembaca lain. Ia cenderung dalam kata-kata Dr. Alwi Dahlan ketika berbicara pada seminar tentang pers Pancasila pekan lalu di Solo "Memandang enteng ketangguhan dan kepancasilaan para pembaca kita sendiri.Ia para pembaca gampang kena racun, mungkin pilek, seperti anak-anak balita. la tak pernah mengukur sebenarnya: benarkah jika sebuah berita koran merisaukan hati saya, berarti berita itu akan merisaukan khalayak ramai. Yang ketiga ialah jenis pembaca yang dreldrelan. Ia biasanya orang yang punya asumsi bahwa pers berarti usaha perlawanan. Ia mungkin seorang penganut apa yang disebut "pers liberal", yang mehgharapkan pers kita berani menantang pemerintah (meskipun ia sendiri takut), tapi juga mungkin ia seorang yang membenci "pers liberal". Keduanya selalu siap melihat koran sebagai tukang tempeleng, dan hanya kadang-kadang saja berlagak jinak. Jenis pembaca ini memang sukar untuk mengingat bahwa di "zaman liberal" dulu juga tak semua pers punya kegemaran membongkar-bongkar, menghantam-hantam, dan memihak ke satu sisi saja. Kalau tak percaya, datang saja ke museum. Baca majalah Siasat (apalagi Siasat Baru) di Jakarta, Minggu Pagi di Yogya, Gembira di Bandung, Panjebar Semangat di Surabaya, Waktu di Medan. Susahnya, kata teman saya ahli zoolokologie itu, kita kini banyak omong dan tanpa penelitian. Maka, jika pers adalah cermin maka berlakulah jalan yang gampangan seperti pepatah baru yang diciptakan dalam sajak satire Taufiq Ismail beberapa belas tahun yang lalu: "Buruk muka/Pers dibelah". Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini