Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANIDA Yospanya berangkat ke Pusat Perawatan Warga Miskin di Khon Kaen, Thailand, tanpa angan muluk. Dari kampusnya, Mahasarakham University, yang berjarak sekitar 50 kilometer, Panida semula hanya ingin menjalani program magang untuk syarat kelulusan kuliahnya.
Sebagai mahasiswi jurusan pengembangan masyarakat di Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial, Panida berharap dapat berjumpa dengan penduduk yang terlibat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan warga lokal. Dia memilih Pusat Perawatan Warga Miskin, lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Manusia.
Alih-alih berinteraksi dengan penduduk, Panida hanya mendapat tugas di kantor. Ia dan tiga rekannya berkutat mengurusi pekerjaan administrasi. Selama menjalani program magang pada Agustus-November 2017, Panida bertugas mengisi dokumen penerimaan dana bantuan bagi warga miskin. Ia juga diminta memalsukan tanda tangan penduduk.
"Ini pemalsuan tanda tangan. Ini ilegal. Jika dokumen ini dipakai untuk kegiatan ilegal, nanti kami akan berakhir di penjara karena kami yang mengesahkan dokumen itu," kata Panida, beberapa bulan kemudian.
Sejak awal Panida ragu terhadap tugas yang diberikan Direktur Pusat Perawatan Warga Miskin di Khon Kaen, Phuangphayom Chitkhom, dan beberapa petinggi lembaga tersebut. Perempuan 22 tahun ini curiga bahwa pekerjaan itu tidak lain adalah penipuan untuk menilap duit negara.
Panida mengatakan ia dan tiga rekannya diperintahkan untuk mengisi formulir dan meneken tanda terima dana bantuan kesejahteraan buat 2.000 penduduk desa yang nilainya mencapai 7 juta baht (sekitar Rp 3 miliar). Mereka kompak menolak penugasan yang dianggap janggal tersebut.
Panida lantas melaporkan perkara ini ke kampusnya. Namun upayanya kandas seketika. "Mereka di universitas tidak mempercayai saya," ujarnya. Selain dicap mengada-ada, Panida terancam tidak lulus program magang jika tak mengantongi persetujuan dari para petinggi di Pusat Perawatan Warga Miskin itu.
Seorang dosen pembimbingnya bahkan memaksa Panida meminta maaf kepada Phuangphayom dan pejabat lain. "Dia dipaksa berlutut di depan para petinggi lembaga tempatnya magang, sebuah bentuk permintaan maaf yang memalukan tapi cukup lazim di Thailand," tulis situs The Nation. Dengan begitu, Panida bisa lulus program magang.
Tapi Panida tidak bisa tinggal diam. Belum usai menjalani program magang, ia mengadu kepada ibunya. Sang ibu menyarankan Panida melaporkan ke penegak hukum. Sebab, menurut ibunya, keterlibatan Panida dalam pemalsuan dokumen dapat menyebabkan ia disalahkan jika kelak kasus itu terungkap.
Panida pun berangkat ke Bangkok, sekitar 450 kilometer dari Khon Kaen, Oktober tahun lalu. "Saya melapor ke Komisi Antikorupsi Nasional," ujarnya. Dia juga mengadukan perkara itu ke Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO), nama resmi junta militer Thailand, yang dipimpin Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. "Tapi tak ada tindakan yang diambil, jadi saya ke media."
Junta militer tersentak saat Panida dan teman-temannya membongkar praktik janggal di Khon Kaen lewat media massa. Panida juga mengajukan petisi kepada sekretaris jenderal junta, Jenderal Chalermchai Sittisart, yang lantas mengatur agar mereka melapor ke Komisi Antikorupsi Sektor Publik (PACC), lembaga di bawah Kementerian Kehakiman.
Komisi itu langsung menggeber penyelidikan atas skandal ini. Hasil sementara pengusutan mereka cukup mengejutkan: kasus di Khon Kaen rupanya baru puncak gunung es. Dalam kurun 13 Februari-26 Maret lalu, PACC telah menemukan kejanggalan pendistribusian bantuan sosial di 76 Pusat Perawatan Warga Miskin di 53 dari 77 provinsi.
Dari sebaran itu, sebanyak 20 provinsi ada di wilayah timur laut, termasuk bekas tempat magang Panida. "Kerugian negara mencapai 107 juta baht (sekitar Rp 47,1 miliar)," kata Sekretaris Jenderal PACC Letnan Kolonel Korntip Daroj, seperti dikutip Bangkok Post, Senin dua pekan lalu. Angka itu mencakup 87 persen dari sekitar Rp 54 miliar anggaran bagi kaum miskin tahun 2017.
Menurut Korntip, ada sejumlah modus untuk menggelapkan dana. Di beberapa provinsi, semua dokumen dipalsukan dan penerima dana tidak mendapat apa-apa. Di lokasi lain, beberapa dokumen dipalsukan, tapi ada sebagian warga miskin yang menerima uang. Ada pula penduduk miskin yang tak mendapat sepeser pun lantaran dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dalam beberapa kasus, uang bantuan hanya diberikan ketika penyelidikan PACC telah dimulai. Untuk menghindari kecurigaan PACC, petugas Pusat Perawatan Warga Miskin memerintahkan penerima bantuan untuk memberi tahu penyelidik bahwa mereka telah menerima uang secara penuh.
Di Desa Ban Tha Sa-ard, Distrik Seka, Provinsi Bung Kan, misalnya, penyelidik PACC menemukan bahwa sebagian besar orang yang dicatat sebagai penerima bantuan bahkan tidak tahu nama mereka ada dalam daftar. "Ada daftar berisi 36 penerima, tapi hanya 4 orang yang menerima masing-masing Rp 1,3 juta," ujar Korntip. "Ada pula tanda tangan terampil dari nama orang-orang tua, padahal mereka benar-benar tidak bisa menulis."
Penyelidikan kasus ini terbilang masif dan berimbas hingga pejabat tingkat nasional. Menteri Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Manusia, Anantaporn Kanjanarat, mencopot dua anak buahnya, Sekretaris Jenderal Puttipat Lertchaowasit dan wakilnya, Narong Kongkam. Atas perintah Perdana Menteri Prayuth, keduanya kini berstatus pejabat nonaktif dan dipindahtugaskan ke kantor Perdana Menteri hingga penyelidikan PACC rampung.
Di pusat perawatan sosial di Khon Kaen dan Chiang Mai, PACC menemukan bukti tindak pidana korupsi. Lima pejabat di daerah itu sedang diselidiki atas dugaan penggelapan dana yang diberikan kepada lebih dari seribu orang miskin atau yang terinfeksi virus HIV. Biasanya mereka menerima bantuan maksimal Rp 1,3 juta hingga dua kali setahun. "Dalam waktu maksimal enam bulan, kami akan menyerahkan laporan ke kantor kejaksaan," ucap Korntip.
Salah satu pejabat yang masuk daftar incaran PACC adalah Phuangphayom Chitkhom, bekas bos magang Panida. Tim penyelidik telah mewawancarai 90 warga desa di Distrik Wiang Kao yang namanya dicatut pada tanda terima dana bantuan sosial. "Mereka mengatakan belum menerima uang," kata Thongsuk Naphon, penyelidik senior PACC.
Panida kini bisa bernapas lega. Ia telah menguak skandal korupsi berjemaah yang menggarong hak kaum miskin. Panida tidak hanya panen pujian atas keberaniannya menyuarakan praktik penggelapan duit bantuan sosial oleh pejabat negara. Ia juga mengantongi penghargaan dari Pemerintah Provinsi Khon Kaen, PACC, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Thailand.
Panida tidak berjuang sendiri. Skandal korupsi di Khon Kaen juga terbongkar berkat Natthakan Muenpol. Perempuan 26 tahun itu pernah bekerja di Pusat Perawatan Warga Miskin di Khon Kaen. Pada 2016, ia dipecat karena menolak memalsukan tanda tangan penduduk. Seperti Panida, Natthakan lantas memutuskan untuk memberanikan diri melapor ke Bangkok.
Perjuangan Panida bukan tanpa risiko. Di Thailand, menjadi seorang "peniup peluit" kasus korupsi bukan hal mudah, meski masyarakat makin peduli terhadap pemberantasan rasuah. Mengutip survei University of the Thai Chamber of Commerce, pegiat antikorupsi Thailand, Mana Nimitmongkol, mengatakan bahwa 87 persen responden ingin ambil bagian dalam pencegahan korupsi. "Tapi masih ada 13 persen yang tidak berani karena takut konsekuensinya," ucapnya.
Tindakan jujur Panida sempat membuatnya terbelit masalah. Terlebih setelah skandal ini ramai diperbincangkan publik. "Pihak kampus memanggil saya untuk penyelidikan dan dosen menuduh saya 'merusak reputasi universitas'," ujarnya. Belum lagi intimidasi dari orang tak dikenal serta petugas dari Pusat Perawatan yang terus mencarinya. "Saya dan keluarga merasa tidak aman."
Panida baru bisa merasa tenang setelah militer, atas perintah Perdana Menteri Prayuth, memberi perlindungan terhadapnya. "Masalah ini harus ditanggapi serius," kata Prayuth, yang mendorong setiap orang yang memiliki informasi seputar skandal ini untuk bersuara. "Jika Anda punya bukti, Anda harus angkat bicara, secara terbuka atau secara rahasia."
Mahardika Satria Hadi | Bangkok Post, The Nation, Thai Pbs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo