SETELAH sekitar 18 bulan "istirahat" pertempuran pecah lagi di Chad. Di republik yang terletak di kawasan Afrika tengah ini, pertengahan bulan silam, pasukan pemberontak pimpinan bekas presiden Goukouni Ouddei yang didukung Libya dikabarkan menyerang tiga posisi pemerintah. Pihak pemberontak segera mengumumkan, mereka berhasil mercbut sebuah kota. Tapi pihak pemerintah membantah dan menyatakan bahwa pasukan Goukouni dapat dipukul mundur. Toh pihak pemerintah Chad di bawah Presiden Hissenc Habre buru-buru meminta pemerintah Prancis untuk mengirim pasukannya. Pemerintah Prancis memang berjanji akan segera mengirim pasukan begitu pihak Libya, yang mendukung pemberontak, bergerak lagi. Pada Agustus 1983, Prancis pernah mengirimkan 3 ribu tentaranya ke negara bekas jajahannya ini, tatkala serangan laskar pemberontak menggebu-gebu. Pasukan ini ditarik kembali November 1984, tapi pemerintah Prancis berjanji untuk mencegah pasukan pemberontak agar tidak melintasi "garis merah" yang membatasi wilayah utara (yang dikuasai pembcrontak) dan selatan negeri dengan 4,5 juta penduduk ini. Janji pemerintah Prancis tcrnyata ditepati. Dua ratus pasukan komandonya segera dikirim ke Chad, sedang 1.500 tentaranya yang ditempatkan di Republik Afrika Tengah (RAT) disiagakan. Beberapa hari kemudian 15 pesawat terbang Jaguar yang mangkal di RAT, dengan perlindungan sejumlah pesawat Mirage, mengebom sebuah lapangan terbang buatan Libya di Wadi Doum yang terletak di wilayah yang dikuasai pemberontak. Serangan ini diperintahkan Presiden Prancis Francois Mitterrand sebagai pembalasan serbuan pemberontak pekan sebelumnya. Pihak pemberontak membalas. Dua hari setelah itu, sebuah pesawat Tupolev-22 yang menurut pihak Prancis milik Libya, mengebom lapangan terbang N'Djamena, ibu kota Chad. Prancis segera memperkuat pasukannya di Chad. Pertempuran pun bertambah seru. Awal Maret ini pemerintah Chad mengumumkan hasil gemilang pasukannya: 864 tentara pemberontak ditewaskan, 456 terluka dan puluhan kendaraan, termasuk sejumlah tank, direbut. Tentara pemerintah juga dilaporkan telah mengejar pasukan pemberontak yang mundur sejauh 60 km. Namun, pihak pemberontak membantah. Menurut pernyataan yang disiarkan kantor berita Libya JANA, mereka berhasil menguasai kembali dua kota yang semula telah mereka rebut. Tentara mereka, kata pernyataan itu, terus bergerak ke selatan untuk menghancurkan pemerintahan Presiden Hissene Habre, yang dicap sebagai "boneka Prancis dan Amerika". Yang dituding sebagai dalang menghebatnya kembali krisis di Chad ini, siapa lagi, kalau bukan pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Tuduhan bahwa Qadhafi ingin mencaplok Chad, negara tetangganya ini, bukan hal baru. Qadhafi memang pernah mengirimkan tentaranya membantu bekas Presiden Goukouni hingga bentrokan nyaris terjadi dengan pasukan Prancis yang dikirimkan membantu Presiden Habre. Namun, perdamaian sementara tercapai setelah Presiden Mitterrand dan Qadhafi, dalam suatu pertemuan di Pulau Kreta eada September 1984, sepakat menarik pasukan masing-masing dari Chad. Ternyata, Qadhafi ingkar janji: tentaranya di Chad tak ditariknya mundur. Ini membuat Mitterrand merasa dipermalukan. Baru tiga bulan kemudian, setelah Amerika Serikat, yang memonitor dari foto satelit, memberitahu Prancis, Libya bersedia menarik pasukannya. Itu pun setelah berdalih, keterlambatannya karena "kesulitan teknis". Buat Qadhafi keinginan mencaplok Chad bukan impian baru. Sejak muda, pemimpin yang kini berusia 44 tahun ini telah bercita-cita mempersatukan negara-negara Arab. Berkali-kali usahanya gagal. Namun, angan-angan Qadhafi tidak pernah terpupus. Ia kemudian diketahui campur tangan dalam berbagai urusan negara-negara tetangganya, sehingga ia dituduh ingin mengekspor revolusi ke negara lain. Di Sudan, misalnya, Qadhafi dituduh membiayai beberapa komplotan menentang Presiden Jaafar Nimeiry. Di Uganda, 1979, ia pernah mengirim pasukan untuk menolong Idi Amin. Jangkauan Libya konon sampai di Nikaragua, Filipina Selatan, dan juga Irlandia Utara. Caci maki dan sumpah serapah pun dilontarkan pada Qadhafi. Presiden Mesir Anwar Sadat pernah mengatakan Qadhafi "seratus persen sakit dan dirasuki setan". Sedang Jaafar Nimeiry menyebutnya "memiliki kepribadian kembar -- keduanya setan". Yang paling memberatkan adalah tuduhan bahwa Qadhafi-lah yang mendalangi, melatih, dan membiayai berbagai kelompok teroris. Awal Januari silam, menyusul penyerangan teroris di bandar udara Roma dan Wina 27 Desember 1985, hubungan Tripoli-Washington pecah. Presiden Reagan menuduh Qadhafi dalang teror itu, dan menyerukan sanksi ekonomi terhadap Libya. SANKSI ini akhirnya gagal, terutama karena negara-negara Eropa Barat menolak ikut melaksanakannya. Rupanya, tidak seorang pun percaya, Washington akan menggunakan kekerasan terhadap Tripoli selama di sana masih ada sekitar 2 ribu orang Amerika yang tinggal dan bekerja di Libya dengan kondisi yang baik dan memuaskan. Lebih baik dari seribu warga Prancis dan 8 ribu pekerja Italia. Di samping itu, saat ini ada 12 ribu penasihat Rusia di Libya. Presiden Reagan jelas tidak ingin menyerang Libya dan menimbulkan korban di antara orang Rusia ini yang bisa menimbulkan krisis dengan Uni Soviet. "Qadhafi mirip serigala gurun. Ia cerdik, dan lihai. Jelas, ia tidak gila," kata Robert Lacontre, wartawan majalah Prancis Fiqaro yang bulan lalu mewawancarainya. Wawancara itu dilakukan di barak tentara di Aziziya, Tripoli. Sebuah tenda gurun didirikan di suatu lapangan di barak ini. Di situlah wawancara dilangsungkan. "Qadhafi menguasai segala masalah yang dihadapi Libya. Ia juga punya jawaban atas semua pertanyaan," tulis Lacontre. Dalam wawancara yang dilakukan sebelum pertempuran di Chad menghebat itu, Qadhafi membantah ia telah mengingkari kesepakatannya dengan Presiden Mitterrand mengenai masalah Chad. "Jika Prancis tidak masuk kcmbali ke Chad, kami pun akan tidak. Perang di Chad adalah perang saudara, antara Goukouni dan Hissene Habre. Prancis dan Libya tidak seharusnya campur tangan. Tapi kita dapat bekerja sama untuk mencari dasar kuat kerujukan nasional," katanya. Menurut dia, kepentingan Prancis dan Libya tidak bergantung pada apa yang terjadi di Chad. "Krisis Chad itu kompleks, dan bisa jadi berlangsung sampai seratus tahun. Tapi hendaknya ini tak mengganggu hubungan Libya-Prancis." Qadhafi membela tindakan teror orang-orang Palestina. "Perang antara kaum Zionis dan Palestina telah berlangsung sejak 1936, dan Amerika Scrikat terus-menerus mendorong tindak kekerasan Israel. Untuk melawan ini, orang-orang Palestina berhak membalasnya dengan cara yang sama." Menurut Qadhafi, Israel-lah yang pertama-tama membawa perang keluar Palestina. Namun, diakuinya, "Pada pendapat saya, kedua pihak bertanggung jawab pada yang terjadi, "kata Qadhafi. Qadhafi tetap berpendapat, Amerika Serikat adalah imperialis, sedang Uni Soviet bisa dianggap teman. "Tapi jangan menganggap Libya milik blok Soviet. Libya adalah negara nonblok. Kami tetap waspada dan hati-hati terhadap Moskow," ujarnya. Pengeboman Prancis terhadap lapangan terbang di Wadi Doum terjadi tatkala La contre ada di Tripoli. Hari itu Qadhafi meninggalkan Tripoli untuk menyendiri dan menyepi di gurun, sekitar 400 km sebelah selatan ibu kota Libya itu. Esoknya, sebuah pesawat terbang Libya mengebom N'Djamena ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini