Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pak comblang spionase

Wolfgang vogel, pengacara di jerman timur, menjadi perantara pertukaran mata-mata jerman timur dengan barat. berpartner dengan jurgen stange setelah membebaskan 15 ribu tahanan politik dari jerman timur.(sel)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTUKARAN mata-mata melalui Tembok Berlin rupanya, seperti yang dipublikasikan belum lama ini, sebenarnya sudah lama menjadi kegiatan diam-diam. Biasanya dilakukan di tengah malam buta ketika butir-butir salju turun menumpuk di dekat lingkaran cahaya kuning lampulampu penerangan, sedangkan orang-orang tak dikenal berdiri menahan dingin yang menggigit. Bagi Dr. Wolfgang Vogel yang menghabiskan hampir tiga tahun perundingan bagi barter mata-mata paling besar yang pernah dilakukan antara Timur dan Barat, peristiwa demi peristiwa lebih dari sekadar aksi cari nama. Tukar-menukar direncanakan pada siang yang cerah akhir Juni tahun lalu di Glienicker Brucke, titik perlintasan yang biasanya hanya digunakan pasukan Sekutu. Pada jam yang telah ditentukan, Dr. Vogel muncul dalam setelan cokelat kekuning-kuningan, keluar dengan langkah panjang-panjang menuju ke tengah jembatan, senyam-senyum, berjabatan tangan dengan Richard Burt, pejabat senior deparlu yang telah menjadi dubes AS untuk Jerman Barat. Memerlukan hanya 90 menit untuk mempersiapkan ini-itu: 23 orang, sebagian besar orang Jerman, menjadi mata-mata Amerika di belakang Tirai Besi, kini kembali ke alam bebas di Barat. Empat orang yang dituduh melakukan aktivitas spionase bagi komunis di AS, di antaranya Alice Michelsen yang telah mulai hukuman 10 tahun pada 12 bulan sebelumnya, disambut Vogel dengan hangat. Orang-orang pada percaya, Vogel mengundang sang dubes tertunjuk melintas batas untuk santap siang di restoran Markishen, Hotel Palast. Toh di tempat itu, yang kata orang, santapannya tidaklah berselera tinggi -- haute cuisine -- adalah tempat "konsentrasi para cabo dan kaum spion di klub malam". Selama masa tugas, Wolfgang Vogel, 61, doktor hukum honoris causa, pemegang Bintang Jasa Kelas I Jerman Barat, pialang mata-mata tak resmi bagi setiap pemerintah yang merasa pada suatu hari ingin memperoleh kembali mata-matanya yang tertangkap. Dari kantor bersahaja di sebuah vila beton hijau di Friedrichsfelde, Berlin Timur pinggiran, Vogel telah menjadi pusat hampir semua tukar-menukar penting mata-mata selama 25 tahun. Buku kasusnya dibaca bagaikan selembar daftar panggilan spionase modern, dimulai dengan meningginya suhu Perang Dingin yang memerangkap Francis Gary Powers, penerbang pesawat mata-mata U-2 AS yang ditembak jatuh di atas wilayah Uni Soviet. Nah, si Francis ini yang ditukar pada tempat yang sama, Glienicker Brucke, dengan empu spion KGB yang tercuriga, Kolonel Rudolph Abel. Sebagai bekas pengacara sipil, Vogel membayang-bayangi dunia spionase secara wajar-wajar saja. Dalam kasus Powers-Abel yang menegangkan urat saraf itu, seorang ahli hukum bernama James Donovan bekerja sama erat dengan Vogel. Pada suatu saat yang cukup mengkhawatirkan, Vogel mengedipkan matanya dan dengan jempolnya memberikan isyarat di punggung seorang pejabat hankam senior, lalu membisikkan nicht zuruckgehen "jangan mundur". Sangat terkesan oleh sikap dingin Vogel, Donovan menyimpulkan, "Ia tentunya mencoba membawa air di atas kedua pundaknya." Berhasil menggondol kembali Abel merupakan hasil tindakan cepat orang komunis. Karena itu Menteri Kehakiman AS saat itu, yang memasukkan mata-mata veteran Uni Soviet tersebut ke dalam penjara, mengeluh, "Kita menyerahkan orang yang sangat penting, dan mereka memberi kita seorang pengemudi pesawat." Kemudian, adalah seorang usahawan/agen Inggris Greville Wynne, yang ditukar dengan tikus tanah KGB Gordon Lonsdale, kepala jaringan mata-mata di Portland. Lalu Gerald Brooks, dosen dari London, yang menyebarkan selebaran protes di Moskow, dibarter juga dengan tikus-tikus Peter dan Helen Kroger. Masih ada sejumlah lainnya yang kurang penting. Bepergian dengan beberapa paspor khusus yang memungkinkannya leluasa berkelana di Barat, Vogel adalah sosok akrab bagi para petugas perbatasan di sejumlah Checkpoint Charlie dan para pejabat pemerintah asing dan kepala instansi keamanan setempat. Sejumlah kasus yang membuatnya bangga berada di Washington adalah ketika di sana ia menangani pembebasan serentak warga negara Israel yang ditahan di Mozambique, seorang mahasiswa Amerika yang ditangkap di Berlin Timur, dan bekas pegawai AU AS yang bekerja untuk Rusia. Memiliki sikap tubuh tegak, bersuara lembut dengan wajah kukuh tapi tampak bersahabat dan mata cerdik di balik kaca mata persegi, Vogel mirip wartawan asing penuh selisik yang berusaha memperoleh bahan liputan yang lebih banyak dan dalam. "Apa yang begitu menarik?" katanya seperti dikutip Philip Jacobson dalam The Sunday Times Magazine, 17 November tahun lalu. "Saya hanya seorang pengacara yang menangani beberapa kasus tidak biasa." Seperti semua orang yang seprofesi dengannya, ia membagikan informasi secuil demi secuil. Lahir dalam keluarga Katolik di Nierderschlesien, di sekolah di Glatz kedua kota ini kini masuk wilayah Polandia -- ia direkrut masuk serdadu menjelang berakhirnya perang dan dilatih sebagai penerbang Luftwaffe tapi kemudian dipindahkan ke pasukan infanteri. Ia belajar hukum di universitas di Jena dan Leipzig, kemudian bergabung dengan kementerian kehakiman Jerman Timur. Ia meninggalkannya karena membuka praktek swasta sekitar 20 tahun yang lalu. Hanya mereka yang mengenal baik Vogel dapat memperoleh sejumlah "daging" untuk dilekatkan pada "belulang"-nya yang kurus kering. "Kunci untuk memahami apa yang membuat Wolfgang demikian," kata seorang teman lamanya, "adalah bahwa walaupun ia dapat hengkang ke Barat besok pagi juga, ia memilih tinggal di Jerman Timur. Ia telah membuat komitmen dengan negeri itu." Yang lain memuji integritasnya, cintanya yang penuh nafsu kepada hukum, dan keyakinan dirinya yang kuat. Tetapi bagaimana mengukur semua ini dengan pelayanan yang penuh pengabdian kepada salah sebuah negara klien yang paling kaku dan doktriner terhadap Moskow? Ada orang yang diceritai bahwa Vogel merasa jijik kepada apparatchick dogmatis yang menguasai Jerman Timur. Toh ia menerima anugerah bintang kehormatan dan bentuk penghargaan tinggi lainnya, dan ia hidup jelas jemelas mewah meriah dibandingkan standar masyarakat "buruh dan tani" yang menjemukan. Vogel memiliki sebuah rumah mewah di tepi sebuah danau (di sini ia sering terlihat main ski air) di salah sebuah kawasan hunian pilihan khusus bagi orang-orang dianggap penting. Sebuah mobil Mercedes model mutakhir yang mulus ada di halaman. Vogel suka berlibur sambil berolah raga musim dingin di kawasan wisata nyaman di Swiss. Ia juga senang memakai kemeja setil buatan negeri Barat. Acap timbul pertanyaan, apakah ia komunis sejati. "Itu bergantung pada bagaimana Anda mendefinisikan komunisme," jawab Vogel dengan kalem. "Marxisme mengesampingkan kepercayaan beragama dan tata kebiasaan humanitarian. Saya mencoba menjadi Marxis dan humanis sekaligus, hal yang tidak gampang memang." Pada masa lalu, ia mengingkari ketergabungannya dengan Partai Komunis Jerman Timur, tapi ada orang-orang dalam yang mengatakan Vogel kini sudah anggota PK. Seluruh unsur kekuasaan berada di tangan partai maka mustahil Vogel bisa meraih fungsi sebagaimana yang diperankannya sekarang bila ia berada di luar. Dalam pandangan Wolfgang, prinsipnya itu tergambar dengan baiknya bukan oleh petualangannya dalam perdagangan mata-mata melainkan melalui bidang lainnya yang kurang terlihat, walaupun tidak kurang pentingnya, dibandingkan sosok yang kini melekat padanya. Sejak Tembok Berlin berdiri, dalam pengertian yang sungguh harfiah, ia telah menjual beribu-ribu tahanan politik yang tadinya disimpan di balik jeruji negerinya kepada pemerintah Jerman Barat. Menschenhandel (perdagangan manusia) sebenarnya bermula dari Almarhum Axel Springer yang semasa hidupnya adalah tokoh pers sangat berpengaruh di Berlin, yang membayar tebusan bagi seorang teman dokter yang mendekam di dalam bui. Pada tahun-tahun terdahulu, barang-barang konsumsi yang langka di sebelah timur Tembok pernah diterima sebagai imbalan pelepasan tapol. Tapi ketika kebutuhan Jerman Timur akan uang asing semakin meningkat, perdagangan kebebasan manusia itu harus dilakukan cash, atau dibayar melalui rekening bank tertentu di Bonn. Ketika Dr. Vogel memikul tanggung jawab untuk transaksi di pihaknya, mitra dagang di pihak lainnya adalah rekan pengacara dan teman lamanya sendiri, Dr. Jurgen Stange. Di kamarnya yang luas di Bundesalle, Dr. Stange, pria bertubuh besar yang pandai bergaul, bercerita kembali tentang kemitraan mereka yang tidak kaku. "Wolfgang dan saya sama-sama di sekolah hukum, dan karena ia termasuk di antara sedikit ahli hukum Berlin Timur yang memenuhi persyaratan menjadi penghubung di sisi lain kota ini, satu sama lain kami mencari." Ketika Dinding telah didirikan, terobosan Vogel ke Berlin Barat mendadak sontak terhenti. Menjelang akhir 1963 ia diizinkan melintas batas kembali, dan sejak itu banyak yang telah berubah. Tewas dalam perangkap kawat berduri dalam usaha melarikan diri, berbagai penjara di Timur berisi penuh dengan kaum pelarian, menjamurnya organisasi pelarian komersial yang meminta bayaran selangit tapi gagal "melever". "Dapat saya katakan bahwa kejadian seperti itu menimpa kedua belahan kota," kata Stange. "Ada keperluan mendesak agar dilakukan pengaturan rahasia demi kemanusiaan yang dapat menyatukan kembali keluarga-keluarga." Cara yang biasanya ditempuh begini Mulanya menggunakan informasi dari kerabat yang bersangkutan, sejumlah sumber gereja dan kaum kaburan yang sukses. Kemudian Stange menyusun daftar orang-orang yang diketahui berada dalam penjara Jerman Timur. Sebagian besar di antaranya adalah republikfluchtif, orang-orang yang pernah mencoba lari atau yang berbeda sikap politiknya. Vogel menyaring di antara nama-nama dalam daftarnya dan mencalonkan harga yang sepadan bagi mereka yang dinilainya mungkin bisa dibebaskan. Setelah skala harga rata-rata diperkirakan, persiapan penawaran segera dilangsir. Salah satu standar yang mencerminkan harga adalah jumlah uang yang dikeluarkan bagi pendidikan dan latihan calon yang bersangkutan, yang tentu bergantung pada berapa lama mereka telah mendekam sebagai tahanan. Kaum profesional atau yang memiliki keahlian dihargai lebih tinggi -- di atas 150 ribu mark Jerman Barat, yang waktu itu kira-kira senilai 15.000 (sekitar Rp 24,5 juta). Pada puncak transaksi, tidak kurang 100 tahanan dibebaskan setiap bulan, dan pada akhir 70-an Vogel dan Stange diduga bertanggung jawab mengeduk uang tebusan dari sekitar 15 ribu orang. Vogel acap kali didesas-desuskan berjaya melakukan apa saja yang mustahil. Pada 1965 ia mewakili Arthur Wilbrahamson, yang tertangkap ketika mencoba menyelundupkan pelarian melalui Tembok. Wilbrahamson kebagian empat tahun penjara, tapi syukurlah berkat upaya hati-hati si pemurah hati Vogel dan Stange, ia dibebaskan ketika masa tahanan baru 12 bulan dijalaninya. "Saya menangani kasus ini dengan harga yang sangat wajar," kata Vogel. "Tapi Arthur lagi perlu duit dan saya mengerti keluarganya belum mapan." Kasus istimewa Vogel lainnya berakhir di ranjang pengantin. Istri keduanya, si molek dari Jerman Barat, tadinya mengontak Vogel dalam usahanya membebaskan seorang kawannya seorang atlet sohor yang ditahan di Timur karena melintas batas. Vogel berhasil memulangkan kawan bininya ke negerinya, tapi akhirnya bininya yang cantik itu tetap tinggal di Barat dan tak mau pindah. Anak-anak Vogel kini menetap di Barat. Bagi orang-orang Jerman Timur, di samping mempersembahkan jumlah cukup besar mata uang asing keras, kegiatan Vogel memberikan berkah tambahan yang cukup bernilai bagi penyelesaian kebijaksanaan politik yang tak diinginkan sebelum infeksinya menyebar luas ("drainase" adalah kata yang lebih populer). Bagi pemerintahan Sosial Demokrat di Bonn, kegiatan kemanusiaan itu juga menghasilkan kontak-kontak informal berharga dengan rezim di seberang Tembok. Vogel telah akrab dengan pemimpin Jerman Timur Erich Honecker selama bertahun-tahun. Namanya terbilang kondang di kalangan para senior Sosial Demokrat, yang merancang dan menangani sejumlah pertemuan antara mereka dan mitra komunis. "Pak Comblang yang perfek," komentar seorang luar. Tapi tidak semua merasa terbujuk. Seorang pejabat senior Jerman Barat menggambarkan Vogel dengan kata-kata yang tajam: "setengah petualang, setengah bapa penerima pengakuan dosa." Kaum politisi sayap kiri dan koran-koran Jerman Barat menuduhnya berkolaborasi dengan pemerintahnya dalam suatu rencana tak berhati untuk mengisi bui dan tetap mempertahankan membludaknya isi penjara Jerman Barat agar perdagangan manusia yang keji itu bisa langgeng. Seorang bekas kliennya, yang dapat ditebus setengah dari masa pemenjaraan yang lama, kini menganggap Vogel telah menjadi manipulator berdarah dingin. Vogel hanya mengomentari begini, "Saya mau para politisi itu datang sendiri melihat orang-orang yang mendekam dalam bui." Selalu peka terhadap sugesti bahwa ia mengeduk untung dari penderitaan manusia, ia memberikan reaksi penuh amarah ketika, dua tahun silam, pemerintah Sosial Demokrat yang baru terpilih mengumumkan bahwa sekitar 1 juta (Rp 1.630.000.000) dana Menschenhandel tidak dapat diakun (accounted) dengan layak. "Penanganan saya selalu tepat dan humanitarian," katanya kepada sebuah surat kabar Frankfurt. Bagaimanapun iklim politik di sisi-sisi Tembok Berlin sukar membayangkan pemerintah dari dua Jerman melakukan sesuatu tanpa jasa khusus Vogel -- yang sudah lama dirintisnya. Vogel, apa pun motifnya, datang mencopot sumbu peledak yang siap meletup setiap saat, situasi peka yang menelikung kedua pemerintah yang selama empat dasawarsa saling siap mematuk. Awal 1984, ia dipercayai menangani kasus paling sensitif dari ponakan perdana menteri Jerman Timur yang mencari suaka di Kedubes Jerman Barat di Praha. Kompromi dicapai dengan: membiarkan sang puan meninggalkan gedung Kedubes menurut kehendak hatinya sendiri, sehingga ia dan keluarganya dapat segera dibiarkan memilih negara Barat yang dikehendaki. Jika apa yang dilakukan demi profesi nomor dua tertua di dunia (profesi tertua di dunia Anda sudah tahu: pelacuran), Vogel masih menjadi penghubung yang tak bisa ditinggalkan di antara dinas spionase Timur dan Barat. Segera setelah barter di Glienicker Brucke, bakatnya itu kembali dipakai oleh penguasa di Bonn, yang terperangkap dalam skandal matamata akibat suksesi penempatan pejabat pemerintah tingkat tinggi, yang memberi peluang bagi terobosan mata-mata komunis. Tibanya Hans Joachim Tiedge di Berlin Timur, Agustus tahun lewat, sampai dengan perburuan agen-agen Jerman Timur, adalah kobaran final dari letikan api sebelumnya. Sebuah panggilan telepon penting disambungkan ke Wolfgang Vogel. Dapatkah ia, dalam kesempatan yang sempit itu, merajut kans pertemuan informal antara Herr Tiedge dan beberapa tuan dari Barat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus