Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan tak putus-putus terdengar dari ruang rapat pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di lantai delapan Gedung Nusantara III, kompleks parlemen di Senayan, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Setiap nama baru pendukung amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dibacakan, belasan ”senator” yang hadir di sana bersorak girang.
Seusai rapat itu, tim lobi DPD menggelar konferensi pers. Kelegaan terpancar jelas dari wajah mereka. ”Jumlah tanda tangan pendukung amendemen sudah cukup,” kata Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita sambil menarik napas panjang. Walhasil, jika pekan ini pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memutuskan bahwa usul itu memenuhi syarat, paling lambat Agustus depan Sidang Paripurna MPR untuk membahas perubahan kelima konstitusi akan digelar.
Usul amendemen DPD sebenarnya hanya menyangkut satu pasal, yakni pasal 22D. Pasal itu khusus mengatur tugas dan wewenang lembaga negara itu. Pada saat ini DPD hanya bisa memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. Nah, jika amendemen ini disetujui, DPD akan beralih rupa menjadi sebuah lembaga legislatif yang punya wewenang membahas dan mengesahkan undang-undang. Sebuah parlemen dua kamar akan tercipta. ”Tapi parlemen bikameral tidak berarti mengubah negara kesatuan ini menjadi federal,” kata Ginandjar cepat.
Keberhasilan DPD mengumpulkan tanda tangan sepertiga anggota MPR untuk memenuhi persyaratan melakukan amendemen, di luar sangkaan banyak orang. Dari 678 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPD berhasil menghimpun 229 tanda tangan, tiga dukungan lebih banyak dari yang disyaratkan. ”Perjuangan berikutnya, meyakinkan mereka yang belum setuju, akan jauh lebih berat,” kata Ginandjar.
Gerak cepat DPD menggalang dukungan bukannya tanpa hambatan. Drama kecil sempat terjadi pada Selasa pekan lalu. Fraksi Partai Demokrat tiba-tiba menarik dukungan 23 anggota fraksinya. Padahal dukungan itulah yang menggenapkan persyaratan minimal yang dibutuhkan DPD untuk mengubah undang-undang dasar. Ketika itu ketegangan menjalar di antara anggota DPD. Rapat pimpinan pun digelar sampai tengah malam. Namun, dua hari kemudian, 15 anggota DPR dapat dirangkul. Usul amendemen yang sempat ”dibunuh” Fraksi Demokrat pun ”hidup” kembali.
Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarief Hassan mengakui perubahan sikap mendadak fraksinya. ”Tidak baik kalau dalam satu fraksi ada dua pendapat,” katanya. Dari 60 anggota fraksinya, memang baru 23 yang menyatakan mendukung amendemen. Syarief juga mengaku diingatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono —yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat—agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. ”Kami butuh waktu lebih banyak untuk mengkaji usul amendemen ini,” katanya. Setelah bertemu Yudhoyono di Istana Merdeka pada Kamis pekan lalu, fraksi itu membentuk tim kajian amendemen. Keputusan final Fraksi Demokrat akan diumumkan dua pekan lagi.
Cepatnya tim lobi DPD menggalang tambahan dukungan membuktikan luasnya jaringan mereka. Adalah Bambang Suroso, anggota DPD dari Bengkulu, dan Ichsan Loulembah, ”senator” dari Sulawesi Tengah, yang menjadi motor gerilya politik lembaga itu. Keduanya masing-masing menjabat Ketua dan Sekretaris Kelompok DPD di MPR. Tim inti kampanye penggalangan dukungan itu dibentuk pada Juni tahun lalu. ”Semua anggota DPD dikerahkan untuk mendekati tokoh masyarakat dan universitas di provinsinya,” kata Bambang kepada Tempo, pekan lalu.
Selain itu, untuk tugas yang lebih khusus, Kelompok DPD membentuk beberapa tim kecil. Misalnya saja tim intelijen, tim komunikasi massa, dan tim opini publik. Setiap tim mendapat kode khusus. Tim intelijen, misalnya, diberi kode tim Elang. ”Setiap hari, mereka bekerja sampai pukul dua belas malam,” kata Muhamad Nasir, anggota DPD dari Jambi, sambil tertawa lebar. Adapun Gusti Kanjeng Ratu Hemas, anggota DPD dari Yogyakarta, diminta mendekati partai-partai. Dana untuk penggalangan diambil dari anggaran DPD. ”Ada juga urunan beberapa anggota,” kata Bambang, tanpa memerinci jumlahnya.
Markas komando tim ini adalah sebuah ruang berdinding kaca di lantai dasar Gedung DPD. Hampir semua dinding ruangan itu tertutup oleh papan besar berisi rencana penggalangan dukungan mereka. Ada papan berisi grafik perkembangan penggalangan tanda tangan anggota DPR. Papan lain berisi perkembangan dukungan dari gubernur dan bupati se-Indonesia. ”Sekarang sudah ada 17 gubernur yang mendukung amendemen kelima,” kata Bambang.
Strategi mengegolkan amendemen dirancang matang. Ibarat memakan bubur panas, mereka mulai dari pinggir. ”Kami pertama-tama mendekati partai kecil,” ujar Bambang. Dalam waktu kurang dari enam bulan, berturut-turut Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Keadilan Sejahtera masuk lingkaran pendukung amendemen.
Dukungan partai-partai ini didapat setelah DPD melobi para ketua umum dan tokoh berpengaruh di partai itu. ”Kami menemui Gus Dur, Amien Rais, sampai Jusuf Kalla,” kata Bambang. Menemui mereka bukan perkara mudah. Di sinilah Ginandjar Kartasasmita bermain. ”Kalau yang lain pada mentok, saya yang turun,” kata Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Soeharto ini.
Media pun tak ketinggalan digarap. Anggota DPD yang bertugas untuk ini adalah Ichsan Loulembah. Ichsan pernah bekerja sebagai produser eksekutif sebuah radio swasta di Jakarta. ”Tugas saya, ya, bergaul dengan wartawan,” katanya sambil tertawa. Selain itu, dia merancang penerbitan buku, majalah, dan mengadakan talk show di radio setiap pekan. Tema sentralnya mudah ditebak: perlunya amendemen.
Meski sudah lolos di tahap pertama, bukan berarti DPD bisa melenggang. Soalnya, dukungan 102 anggota DPR kebanyakan tidak solid. ”Saya ikut tanda tangan karena ketua fraksi tanda tangan,” kata politisi Fraksi Demokrat, Sunarto Muntako, polos. Apalagi PDI Perjuangan, fraksi terbesar kedua di parlemen, pagi-pagi sudah menolak amendemen.
Fraksi besar lain terkesan ekstrahati-hati. Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saefuddin menunjuk implikasi perubahan pasal 22D pada pasal-pasal lain yang mengatur kewenangan legislasi. ”Ini implikasinya luas, jadi sebaiknya dilakukan setelah 2009,” katanya. Jadi, perjalanan masih panjang.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo