Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah surat bersejarah melayang nun ke pengasingan sana. Surat itu dari bekas pimpinan Irak Saddam Hussein, yang dikirim empat hari setelah vonis hukuman mati dijatuhkan kepadanya. Surat itu ditujukan kepada para pemimpin Partai Baath yang berada di pengasingan. Isi surat itu meminta para bekas pemimpin Partai Baath memilih ketua baru setelah dia dihukum dan ikut serta dalam membangun proses politik di Irak. ”Untuk kebaikan rakyatmu,” demikian tulisnya.
Sebelumnya, Izzat Ibrahim al-Duri, bekas wakil presiden dan juga orang kedua di Partai Baath, yang kini sedang buron, memerintahkan pasukan Sunni yang loyal kepada Saddam Hussein untuk membuat kekacauan. Sehari setelah perintah Al-Duri, yang kepalanya dihargai US$ 10 juta, 14 orang warga Syiah tewas dalam serangan mortar. Pada saat yang sama tujuh penduduk Sunni ditemukan tak bernyawa.
Adu domba rakyat seperti ini dipahami betul oleh jajaran bekas pengurus partai yang pernah berkuasa pada masa rezim Saddam Hussein, Baath. Akibatnya, situasi semakin tidak stabil. Ujung-ujungnya, tawar-menawar kekuatan mengajak rekonsiliasi politik. Saddam, beberapa saat setelah sidang atas pembunuhan 180 ribu Kurdi, mengutip sabda Nabi Muhammad dan Yesus untuk saling memaafkan. ”Saya katakan pada semua orang Irak, Arab, Kurdi, untuk saling memaafkan, rekonsiliasi dan berjabat tangan membangun kembali Irak yang hancur lebur saat ini.”
Al-Duri diduga berada di Yordania bersama pentolan Partai Baath lainnya. Anggota Partai Baath yang menggerakkan delapan kelompok pemberontak yang mengacaukan Irak. Mereka antara lain Brigade Revolusi 1920, Tentara Islam Irak, Tentara Muhammad, Majelis Syura Mujahidin, termasuk kelompok Al-Qaidah Irak. Sasaran kelompok itu, serdadu AS, tentara Irak, warga sipil Syiah dan milisinya. Bassam, salah seorang bekas tentara Garda Revolusi Saddam Hussein, mengakui bekas anggota Partai Baath masuk dan berjuang bersama-sama kelompok Islam radikal Irak. ”Kami terpaksa merapat dengan kelompok Sunni radikal Irak agar bisa bertahan dan punya daya tawar politik,” ujarnya.
Saddam adalah seorang Arab Sunni, kelompok minoritas di Irak, yang selama berkuasa menindas mayoritas Syiah Irak. Namun ia tersingkir pada April 2003, setelah pasukan Amerika Serikat menyerbu Irak. Beberapa bulan setelah masuknya tentara AS dan sekutunya ke Irak, kekacauan di Irak tak pernah berhenti. Partai Baath dan Sunni radikal Irak terus mengobarkan peperangan melawan pemerintah yang mereka sebut bikinan AS. Memang, pucuk pimpinan pemerintah Irak kini dikuasai oleh Kurdi dan Syiah, yang dulu ditindas Saddam. Namun terbentuknya pemerintahan dilakukan dengan proses terbuka, mengajak seluruh rakyat Irak, tanpa membedakan agama, sekte, atau suku.
Bulan lalu, Duta Besar AS untuk Irak Zalmay Khalilzad meminta kekuatan Sunni Arab di Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan Uni Emirat Arab berdiskusi dalam satu meja membahas persoalan di Irak. Pasalnya, pemberontak Sunni radikal di Irak juga dibantu oleh kelompok radikal Arab dari negara-negara tersebut.
Direktur Eksekutif Komisi Sunni Anti-Baath, Ali Faisal al-Lami, membuat identifikasi bahwa ada 1.500 anggota Partai Baath yang aktif menggerakkan pemberontakan di seluruh Irak. Pimpinan ditentukan dari negara tetangga, Yordania, yang banyak menampung pelarian politik dari Irak. Menurut Ali Faisal, anggota Partai Baath masih yakin platform partai itu bisa menyatukan Irak kembali, namun masa berkuasa mereka sudah berakhir dengan jatuhnya Saddam.
Perdana Menteri Jawad al-Maliki juga sepakat dengan Ali Faisal. Menurut dia, masa kejayaan Saddam dan partainya, Baath, sudah lewat.
Ahmad Taufik (Boston Herald, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo