Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia menatap panggung pengadilan abad ini. Saddam Hussein diganjar vonis hukuman gantung. Dan ini adalah hukuman bagi kasus yang dianggap paling ringan: tuduhan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan 148 Syiah di Dujail, Irak Utara, pada 1982.
Setelah melalui 40 kali sidang yang berlangsung seperti sinetron kejar tayang yang dramatis, vonis ini tampak menjadi sebuah awal perpecahan dalam tubuh Irak.
”Jika Saddam Hussein divonis mati, Irak akan menjadi neraka.” Demikian isi surat Ziyad Najdawi, seorang pembela bekas Presiden Irak Saddam Hussein, kepada Presiden Amerika Serikat George W. Bush, yang dikirim pada akhir Oktober lalu. Ketika itu Najdawi sempat yakin, surat tersebut dapat mempengaruhi vonis atas Saddam. ”AS seharusnya menyadari keadaan di Irak. Vonis seperti itu bisa diibaratkan menyiramkan minyak ke dalam api,” kata Najdawi.
Setelah Pengadilan Tinggi Kriminal Irak (SITC) menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Saddam Hussein, Barzan al-Tikriti, saudara tiri Saddam; dan mantan hakim Awad Hamed al-Bandar juga dihukum mati. Sedangkan keputusan banding diperkirakan akan jatuh pada pertengahan Januari 2007, sehingga eksekusi Saddam akan dilakukan pada pertengahan Februari 2007. Maka dengan segera lahirlah reaksi dunia.
Pemerintah Indonesia menyatakan memahami hukuman yang dijatuhkan terhadap Saddam. Ada yang mendukung vonis mati, namun banyak juga pemerintah yang menentangnya, termasuk Vatikan. ”Bagi kami, menghukum kejahatan dengan kejahatan lain sama dengan melegalkan pembunuhan,” kata wakil Vatikan, Kardinal Renato Martino.
Vonis mati itu sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Dalam sidang terakhir, 29 Oktober lalu, jaksa sudah menyatakan tuntutan tersebut. Pembelaan yang diajukan tim pengacara Saddam yang terdiri dari 20 pengacara kaliber dunia dari Arab dan non-Arab, termasuk mantan Jaksa Agung AS Ramsey Clark, bekas Menteri Luar Negeri Prancis Roland Dumas, bekas Presiden Aljazair Ahmed bin Bella, dan mantan Menteri Kehakiman Qatar Najib al-Nuaimi, sia-sia saja. Saddam pun—yang dalam pembacaan vonis menolak duduk dan tenang—sepertinya harus menerima nasib. ”Allahu Akbar, panjang umur Irak, panjang umur rakyat Irak, hancurlah para pengkhianat,” demikian teriakan Saddam, 69 tahun, setelah mendengar putusan hakim Raouf Abdul Rahman, yang berasal dari Halabja, kota yang pernah diserang gas beracun pada 1988 hingga menewaskan sekitar 5.000 orang Kurdi dalam sehari.
Vonis mati atas Saddam juga disambut suka dan duka dari dalam negeri. Namun hal itu tidak menghentikan pembunuhan barang sehari pun. Selasa pekan lalu, polisi Bagdad menemukan 23 mayat di tujuh lokasi, yang mati selama 24 jam sebelumnya. Dua mayat dengan kepala dipenggal dan satu adalah mayat perempuan muda dengan luka tembak di kepala dan dada. Pada hari yang sama, terjadi serangan bom bunuh diri di kedai kopi di kawasan Syiah, Greyat, yang menewaskan sedikitnya 14 orang.
Proses persidangan kasus Dujail itu sendiri memang sarat persoalan. Amnesti Internasional, misalnya, termasuk yang meragukan pengadilan Saddam benar-benar berjalan adil dan independen. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat, vonis terhadap Saddam sengaja ditetapkan dua hari sebelum pemilihan umum Kongres dan Senat AS. Maksudnya, citra Partai Republik yang babak-belur akibat kebijakan Bush menginvasi Irak dapat sedikit terdongkrak dengan vonis mati Saddam (walaupun ternyata Partai Republik kalah).
Persidangan Saddam bersama tujuh anak buahnya dalam kasus Dujail, di pengadilan yang dibentuk pemerintah AS dan Dewan Pemerintahan Irak pada 2003, memang penuh warna dan drama. Menjelang sidang pertama, 19 Oktober 2005, lokasi gedung yang terletak di Zona Hijau—daerah di Bagdad dengan tingkat keamanan maksimum—padat dengan pengawal bersenjata.
Ketika hakim ketua Rizgar Mohammad Amin menanyakan identitas Saddam, dia menolak membuat konfirmasi tentang identitas dirinya. ”Siapa kamu? Apa-apaan semua ini?” kata Saddam, yang menyebut diri sebagai Presiden Irak yang sah. Semua terdakwa menyatakan tidak bersalah. Para saksi pun menolak hadir dengan alasan pengadilan dipimpin seorang hakim Kurdi. Sehingga, setelah tiga jam, hakim memutuskan menunda sidang hingga 28 November 2005, lebih dari sebulan kemudian.
Hanya ada 2 dari sekitar 10 saksi korban yang berani menyebut nama dan bersaksi secara terbuka. Saksi korban pertama, Ahmad Hassan Mohammad, diserang habis-habisan oleh Saddam dan Barzan. Sedangkan Ali Mohammad Hassan al-Haydari, yang semua keluarganya dibunuh dan 43 lainnya disiksa, bernasib sama dengan Ahmad. ”Ketika saya disiksa, Barzan duduk sembari makan anggur,” demikian kisah Hassan. Barzan langsung berteriak ke hakim bahwa dia bukan kriminal, tapi politisi. ”Tangan saya bersih,” katanya.
Selain dua orang itu, semua yang bersaksi di pengadilan anonim dan dari balik tirai. Seorang saksi perempuan yang pernah dipenjara di Abu Ghraib selama empat tahun hanya berani bersaksi dengan menyamarkan suaranya. Sedangkan sebagian besar lainnya urung atau tidak berani bersaksi karena merasa hidup mereka terancam.
Selain menghujani para saksi dengan pertanyaan keras, Saddam juga menjadikan pengadilan sebagai panggung pidato. Hakim Raouf Abdul Rahman mematikan mikrofon di depan Saddam. Pemimpin Partai Baath itu kadang berteriak-teriak saat memasuki ruang sidang. Tidak lupa, Saddam juga beberapa kali memboikot persidangan, termasuk melakukan mogok makan. Alasannya, dia mengaku dipukuli tentara AS dan tidak memperoleh perawatan kesehatan yang layak. Saking bandelnya Saddam, Abdul Rahman sampai mengeluarkan peraturan: ada atau tidak ada Saddam bersama terdakwa lain serta para pengacaranya, sidang terus berjalan.
Kini Saddam masih ditunggu 11 kasus yang lebih berat lagi. Salah satunya adalah tuduhan pembunuhan atas sekitar 100 ribu orang Kurdi di Anfal pada 1988, yang sidangnya dimulai sejak Agustus lalu. Kasus lainnya, yang masih dalam bentuk tuntutan awal, antara lain invasi ke Kuwait pada 1990, kampanye pembantaian etnis Kurdi dari 1987-1988, pembunuhan ribuan etnis Kurdi Barzani pada 1983, pembunuhan tokoh-tokoh agama pada 1974, pembunuhan para aktivis politik selama 30 tahun. Bahkan, menurut pemerintah Irak, masih ada lebih dari 500 kasus yang menanti Saddam.
Akankah Saddam diadili untuk kasus-kasus yang lain? Hal itu tidak akan terjadi jika dia benar-benar dieksekusi pada pertengahan Januari 2007. Toh, Saddam tak bisa 100 kali dihukum gantung, seperti harapan yang disampaikan salah seorang korbannya. Yang bisa dipastikan, persoalan di Irak tidak akan selesai dengan kematian Saddam.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo