Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGKU beton itu melingkari tiang penyangga jembatan layang Slipi Jaya, Jakarta Pusat. Ramai orang duduk di situ. Suara knalpot kendaraan seperti berlomba dengan teriakan pengojek menyapa calon penumpang. Di tengah hiruk-pikuk itulah, sebulan lalu, sembilan bromocorah merancang perampokan.
Sasarannya PT Ammorindo Artha, perusahaan jasa transportasi uang dalam jumlah besar. Ammorindo berkantor di Wisma BCA, di sudut Jalan Letjen S. Parman dan Jalan Brigjen Katamso?hanya 20 meter di sebelah barat jembatan layang. ?Di sinilah penjahat mempelajari situasi sekitar gedung dan menggambar lokasi,? kata Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kamis pekan lalu.
Memang, dari kolong jembatan itu terlihat jelas gerbang keluar-masuk mobil. Penjahat mencatat, pengantaran uang kerap dilakukan tanpa pengawalan aparat keamanan. Jadwal aksi diputuskan dini hari. Sasarannya adalah mobil pengangkut uang yang pertama keluar dari Ammorindo.
Pada 04.00, 8 Oktober, satu sedan Suzuki Baleno dan motor Yamaha RX muncul di bawah jembatan layang. Sejam menunggu, dari gerbang Wisma BCA meluncur mobil Toyota Kijang LGX merah marun, pengangkut uang. Hari itu, mobil yang disetir Yongki Gustav Maulete, 33 tahun, itu hendak mengisi tujuh ATM di Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Yongki ditemani tiga staf Ammorindo, yaitu Abdul Wahab, 30 tahun, dan dua satpam, Welo Agustian, 25 tahun, serta Apriliana, 19 tahun. Para penjahat itu membuntuti mereka. Di Jalan D.I. Panjaitan, Cawang, Jakarta Timur, mobil berhenti pada 06.30. Yongki turun mengisi angin ban. ?Ban depan sebelah kiri kurang angin,? kata Yongki kemudian. Di sinilah perampok menyergap mobil.
Aksi penjahat tak mendapat perlawanan. Mereka keburu ciut melihat penjahat menggenggam senjata dan granat. Kemudi kendaraan pengangkut uang pun beralih tangan. Mobil diarahkan ke kampus Universitas Indonesia di Depok, melalui Jalan Raya Kramat Jati. Di pinggir areal hutan lindung kampus itulah petugas Ammorindo ditinggalkan dalam kondisi terikat tali rafia.
Pegawai Ammorindo sempat melihat kotak uang tunai dipindahkan ke mobil Baleno. Sejam setelah itu, Weno dapat melepaskan tali rafia yang menambatnya. ?Lalu dia melapor ke Polsek Jagakarsa,? kata Ajun Komisaris Besar M. Fadil Imran, Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan di Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Dalam laporan polisi, Weno menceritakan mereka dirampok penjahat bersenjata api. Uang dari dalam mobil, Rp 2,875 miliar, raib sudah. Rencananya uang itu hendak ditaruh di anjungan tunai mandiri BCA di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara
Pada hari itu juga penyidik Polda Metro Jaya turun tangan. Dari aksi perampok yang mengetahui rute perjalanan uang, penyidik mencurigai keterlibatan orang Ammorindo. Kecurigaan ini masuk akal, mengingat kejadian yang hampir sama pada 18 Januari lalu.
Waktu itu terjadi perampokan uang Rp 2,5 miliar yang diangkut PT Trans Nasional di Taman Cornel Simanjuntak, Jalan Jatinegara, Jakarta Timur. Ternyata pelakunya seorang anggota Brimob yang mengawal mobil pengangkut uang.
Sejak itu ditelusurilah orang-orang yang terlibat, termasuk aparat, dalam pengantaran uang. Ternyata, pada hari kejadian itu, ada sopir Ammorindo tak masuk kantor. Namanya Endang Syaifudin, 41 tahun. Ada pula petugas pengaman Ammorindo yang absen, yaitu Sersan Satu Armando, anggota TNI-AL.
Langkah polisi sempat terkendala, karena saksi tak melihat mereka ikut dalam aksi perampokan itu. Petugas penyidik yang tergabung dalam tim khusus pemburu perampok bersenjata api Polda Metro Jaya menelusuri jejak perampok ke seluruh Jakarta-Tangerang-Depok.
Belakangan diketahui, Armando bersahabat dengan Prajurit Satu Toni Sastra, juga anggota TNI-AL. Toni ternyata menghilang dari rumahnya di Gang Rambutan, Ciputat, Tangerang, Banten. Endang juga tak muncul lagi di kediamannya di Kampung Tajur, Kelurahan Tajur, Ciledug. Sedangkan Armando masih berdinas di TNI-AL.
Dari pelacakan polisi ditemukan cerita bahwa Toni sudah berada di Lampung. Di sana dia memiliki kawan bernama Yulida Arifin alias Ipin, 21 tahun, warga Lampung. Dalam catatan kriminal Polda Lampung, Ipin memang perampok.
Di Lampung, Ipin beraksi bersama kerabatnya, Wagino, gembong perampok yang memiliki jaringan di Lampung dan Tangerang. Wagino sudah dibekuk di Kecamatan Labuhan Meringgai, Mei lalu. Setelah Wagino tertangkap, Ipin minggat ke Jakarta.
Penyidik menangkap Ipin di Studio Alam, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 28 Oktober. Dia tak berkutik karena padanya ditemukan sejumlah barang bukti berupa dua pistol FN dan dua Colt 38, juga 27 boks ATM kosong. Ipin bilang, hasil rampokannya digunakan membeli mobil Isuzu Panther dan Honda Jazz. Ketika ditangkap, uang yang tersisa padanya Rp 250 juta.
Dari Ipin diketahui keterlibatan delapan tersangka lainnya. Satu di antaranya adalah Prajurit Satu Sulistyo Erwadi, anggota TNI-AD, yang tak lain kakak kandungnya sendiri. Dari dia jua terungkap keterlibatan dua anggota TNI-AL, yaitu Armando dan Toni.
Karena ada keterlibatan tentara, Polda Metro Jaya bekerja sama dengan POM TNI. Petugas gabungan ini menangkap Toni di Lampung pada 29 Oktober. Pada saat bersamaan, penyidik POM TNI menangkap Armando di Jakarta Barat. Sulistyo melarikan diri. Pada hari yang sama polisi menangkap Endang di Bogor. ?Dia kebagian Rp 30 juta,? kata penyidik.
Setelah empat orang ini tertangkap, terkuaklah identitas para perampok. Ternyata, tak cuma anggota TNI-AD dan TNI-AL yang terlibat dalam kasus ini. Juga ada seorang polisi, Brigadir Satu Tabrani Baharudin, anggota Polres Bangka-Belitung.
Tabrani dibekuk di Bangka-Belitung, Selasa pekan lalu. Di sana pula ditangkap tersangka lainnya, Anwar Sarifudin, yang menurut penyidik juga residivis. Sampai Jumat pekan lalu, polisi masih mengejar tiga tersangka lainnya, termasuk Sulistyo.
Dari pemeriksaan tersangka diperoleh keterangan, ide perampokan itu muncul dari Armando. Dia tergiur setelah beberapa kali mengantar uang bersama Endang. ?Tugasmu mencatat perjalanan saja, yang lain urusan saya,? katanya membujuk Endang, sebagaimana diulangi seorang penyidik.
Armando meminta Toni mengontak rekan-rekannya, yang tak lain geng perampok Lampung, yaitu Anwar, Nuryanto, Seno, dan Ipin. Agar lebih mantap, Ipin mengajak Sulis, abangnya. Sulis diminta menyediakan lima pucuk senjata api dan granat.
Dua kali mereka merancang perampokan di rumah Toni dan Endang. Tiga kali di bawah jembatan layang Slipi Jaya. Ketika merampok, Armando dan Endang tak ikut. Mereka khawatir pegawai Ammorindo mengenalinya.
Setelah merampok, mereka membagi hasilnya di Depok. Ipin dan Sulis mendapat lima kotak berisi pecahan Rp 50 ribu. Tiap kotak berjumlah Rp 100 juta. Jumlah yang sama diperoleh Seno dan Nuryanto, begitu pula Anwar dan Baharuddin. Sisa sembilan kotak pecahan Rp 50 ribu dan tiga kotak berisi pecahan Rp 100 ribu dibawa Anwar. Dia bertugas menjumpai Armando dan Endang, untuk membagi hasil jarahan itu.
Beberapa tersangka hari itu juga kabur ke Sumatera. Sedangkan Sulis dan Ipin lebih memilih membelanjakan uangnya lebih dulu. Misalnya, di Depok mereka membeli Honda Jazz dan Honda Fit. Di Tangerang mereka mengambil Isuzu Panther.
Sebetulnya, para bromocorah itu tak tak tahu jumlah total hasil rampokan. Angka Rp 2,8 miliar itu diperoleh penyidik dari Ammorindo.
Nurlis E. Meuko, Ibnu Rusydi, dan Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo