Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEORGIA hidup dalam persilangan masa. Pekan silam, warga negeri kecil di tanah Kaukasia itu menyaksikannya dalam kehidupan Eduard Shevardnadze dan Mikhail Saakashvili. Shevardnadze, 76 tahun, bekas presiden Georgia, gagal memakmurkan negerinya, renta dan dilupakan. Saakashvili, 36 tahun, muda, tampan, cemerlang dalam otak dan bakat, mendapat limpahan kepercayaan dari segenap anak negeri untuk memandu Georgia ke hari depan. Ahad dua pekan lalu, tokoh dari kedua generasi itu sama-sama merayakan sebuah hari penting dengan cara amat berbeda.
Dalam gedung parlemen Georgia di Tiblisi, Saakashvili ditabalkan menjadi presiden diringi tepuk tangan gemuruh. Sementara itu, Shevardnadze merayakan hari jadinya yang ke-76 di sebuah hotel, tak jauh dari tempat pelantikan Saakashvili. Nyaris sendirian dan tanpa pesta, bekas Menteri Luar Negeri Uni Soviet dan mantan Presiden Georgia itu ternyata disambangi sobat lama dari seberang, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Colin Powell.
Powell bertandang ke Georgia untuk menghadiri pelantikan Saakashvili. Menang dengan suara mutlak (94 persen), Saakashvili kini menjadi presiden termuda di Benua Eropa. "Kami harus memulai babak baru bagi Georgia," Saakhasvili berpidato di hadapan khalayak. Presiden baru ini mengawali kariernya sebagai pengacara di New Yorkjauh sebelum dia menggantikan Shevardnadze.
Di bawah kepemimpinan Shevardnadze, Georgia praktis terpuruk dalam kemelaratan selama 10 tahun terakhir. Setengah dari 5 juta penduduk Georgia hidup dalam kemiskinan. Guru, misalnya, hanya digaji US$ 8 (sekitar Rp 75 ribu) per bulan. Sedangkan korupsi merajalela. Selama ini Georgia hanya bertahan dengan bantuan dana US$ 2,5 juta dari Eropa dan AS. "Kini kami punya presiden baru yang energetik dan muda. Saya yakin semua hal akan berangsur pulih," ujar Tamriko Murguliya, seorang dokter di Kuatisi.
Adalah Saakashvili yang menggerakkan jutaan orang pada November lalu untuk berdemo melengserkan Shevardnadze. Melalui Revolusi Mawardisebut demikian karena tanpa pertumpahan darah sedikit punPak Tua dipaksa lengser. Lalu, apa target awal Saakashvili? Dia bertekad menyatukan Georgia yang tercabik-cabik seusai lepas dari Uni Soviet dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1991.
Namun, sampai kini, dua pangkalan militer Rusia masih tertanam di Georgia. "Demi perdamaian, pasukan Rusia harus hengkang dari pangkalan militer mereka," Saakashvili menegaskan. Bahwa Rusia begitu berselera pada Georgia rupanya bukan cuma masalah pangkalan. Begini ceriteranya. Posisi Georgia amat strategis untuk menyambung bentangan pipa minyak dan gas Rusia. Dari laut Kaspia, ke Azerbaijan, Georgia, hingga ke Laut Hitam. Rusia tentu saja menghalangi segala usaha yang dilakukan siapa pun untuk mengenyahkan pipa-pipa miliknya dari Georgia.
Di lain pihak, AS juga "mencium" posisi Georgia yang strategis itu. Amerika mendesak agar "Rusia harus menghormati kedaulatan negara kecil di perbatasan." Powell terbang ke Moskow setelah pelantikan Saakashvili untuk membahas nasib Georgia dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kok, repot benar AS mengurusi si kecil mungil ini? Dengarlah tuduhan Rusia: Amerika sudah gatal tangan untuk membangun pangkalan militernya di sana. Untuk itu, Washington mendesak Moskow agar menghela pasukannya dari Georgia.
Tuduhan Rusia bukan tanpa alasan. Ratusan pasukan antiteroris AS sudah lama mangkal di sana dengan alasan melatih militer Georgia. Namun Powell buru-buru membantah: "Amerika tak ada niat sedikit pun untuk membangun pangkalan baru." Sampai kini, belum ada titik temu soal penarikan pasukan. Amerika dan Rusia sepertinya berharap agar Saakashvili tampil sebagai penengah yang adil. Apalagi AS punya alasan untuk curiga bahwa Georgia bakal lebih doyan bermesraan dengan bekas induknya ketimbang Amerika.
Buktinya, Saakashvili terang-terangan telah berkata ingin rujuk dan memperbaiki hubungan bilateral dengan Rusia. Toh, presiden muda ini tampaknya cukup awas untuk tidak terjerembap ke dalam pertarungan geopolitik yang rumit di antara dua raksasa dunia.
Jauh-jauh hari, Mikhail Saakashvili telah berucap begini: "Saya tidak pro-Amerika ataupun Rusia. Saya pro-Georgia".
Endah W.S. (AFP, Reuters, Washington Post, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo