Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu dikirimkan ke Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu, 12 Januari lalu. Pengirimnya adalah seorang Rusia bernama Alexander Khaminov, Kepala Perwakilan FSUE Rosoboronexport di Indonesia.
Dengan kalimat yang sopan dan tertata, pengirimnya memprotes tersendatnya pembayaran uang muka proyek pembelian empat helikopter Mi-17 oleh TNI-AD kepada Rosoboronexport, perusahaan penjual senjata asal Negeri Beruang Merah itu. "... (Kami) mengharapkan bantuan dari TNI-AD untuk dapat membuat suatu keputusan yang sesuai dengan kepentingan TNI-AD agar proyek pengadaan ini dapat berjalan sesuai dengan schedule," ujar Khaminov dalam surat dua halaman tersebut.
Meski disampaikan dengan santun, surat Khaminov itu—yang fotokopinya diperoleh TEMPO dua pekan lalu—punya konsekuensi gawat. Besar kemungkinan, TNI-AD akan batal mendapat heli angkut canggih yang sudah dipesan sejak 2002. Kebutuhan operasional AD akan terganggu karena tanpa helikopter itu, "Kami tidak punya heli dengan daya angkut yang besar," kata Asisten Operasi KSAD, Mayor Jenderal Cornel Simbolon. "Padahal pasukan kami memiliki mobilitas tinggi," tambahnya.
Bukan cuma mimpi AD memiliki helikopter canggih yang buyar, hubungan bilateral Indonesia-Rusia juga bisa terganggu. "Apalagi sudah ada surat protes dari Rosoboronexport yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia," kata Chotibul Umam Wiranu, Wakil Ketua Sub-Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR. Selasa pekan ini, dalam rapat Komisi I DPR dengan jajaran Departemen Pertahanan, kisruh pembelian helikopter ini akan dibicarakan.
Yang lebih gawat, negara juga bisa kebobolan US$ 3,2 juta (hampir Rp 25 miliar). Sialnya, uang yang telah dikeluarkan Departemen Keuangan itu dimaksudkan sebagai uang muka pembelian empat helikopter tersebut. Jadi, kocek sudah dirogoh tapi uang muka tak sampai ke tujuan. Lo, kok bisa?
Agar lebih jelas, mari kita urut persoalan ini dari awal. Kisah ini bermula pada 2002. Ketika itu TNI Angkatan Darat berencana membeli empat helikopter Mi-17 dari Rusia. Angkatan Darat lalu meminta PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM)—perusahaan rekanan TNI-AD—untuk mengurus proyek ini. Sudah lazim dalam bisnis senjata, pengadaan barang dilakukan oleh pihak ketiga (lihat Koneksi dan Rezeki Agen Senjata).
Putra Pobiagan kemudian menggandeng Andy Kosasih, pemain lain yang lama menekuni bisnis senjata. Andy mengaku dialah yang membuka jalan negosiasi dengan Rosoboron. Apalagi Andy mengaku bisa mencarikan perusahaan yang mau mengucurkan kredit bagi pembelian empat helikopter itu. Andy kemudian menggandeng Alternarig & Marine Supply—perusahaan keuangan asal Malaysia—sebagai penyedia kredit. Dalam menjalankan proyek ini, Andy mengibarkan bendera Swifth Air Ltd., sebuah perusahaan berbasis di Singapura.
Swifth inilah yang kemudian meneken kontrak pembelian empat helikopter berikut peralatan pendukungnya seharga US$ 21,6 juta (sekitar Rp 183 miliar) dengan Jenderal Ryamizard, mewakili Departemen Pertahanan. Di Markas Besar TNI-AD Jalan Merdeka Barat, 19 Desember 2002, kontrak ditandatangani.
Pembayarannya akan dilakukan dengan dua cara: uang muka 15 persen senilai US$ 3,2 juta akan ditanggung Departemen Keuangan, dan sisanya yang 85 persen akan ditalangi oleh Alternarig. Departemen Keuangan kemudian meneken kontrak dengan Alternarig tiga hari sebelum uang muka dicairkan. Dalam kontrak yang diteken oleh Direktur Jenderal Anggaran Anshari Ritonga dan Zakaria bin Mohamed Shariff dari Alternariq, disebutkan bahwa Departemen Keuangan akan melunasi pinjaman selama enam tahun dengan mencicil setiap semester.
Atas dasar kontrak itu, Departemen Keuangan pada 30 Desember 2002 mencairkan uang muka US$ 3,2 juta kepada Andy Kosasih dari Swifth. Pencairan dilakukan lewat Bank Indonesia dan ditransfer ke rekening Swifth di The Hong Kong and Shanghai Bank (HSBC) cabang Jurong, Singapura.
Masalah besar muncul ketika uang muka yang sudah berada di tangan Andy Kosasih tak kunjung ditransfer ke Rosoboronexport. Memang, sesuai dengan tata cara pembayaran, pihak Rosoboron harus membuka advance payment guarantee (jaminan pembayaran di muka) di bank internasional di Rusia terlebih dahulu. Bank yang ditunjuk adalah Mosnar Bank, Moskow. Syarat ini kemudian dipenuhi Rosoboron, dan garansi keluar pada 24 Juni 2003. Begitu garansi keluar, paling lambat dalam dua minggu Andy Kosasih sudah harus mengirim uang muka tersebut ke Rosoboron.
Ternyata duit tak juga sampai ke Rusia. Padahal pihak Rosoboron harus membayar uang muka tersebut kepada pabrik pembuat helikopter, Kazan, sebagai tanda jadi pembelian. Untuk menutupi kekurangan itu, Kazan terpaksa meminjam lebih dahulu kepada bank-bank lokal. Hal ini diakui oleh Alexander Lavrentyev, Direktur Pabrik Helikopter Kazan. "Karena pembayaran uang muka pembelian heli itu tidak sampai juga, kami terpaksa mengambil kredit di bank-bank Rusia," katanya kepada TEMPO.
Pihak Rusia sendiri, seperti ditulis dalam surat Rosoboron ke KSAD, mengakui adanya keterlambatan pada penerbitan performance bond (jaminan bahwa proyek ini bakal bisa terlaksana). Jaminan itu merupakan syarat untuk memproses sisa pembayaran 85 persen cicilan yang ternyata baru keluar pada September 2003. Menurut Khaminov, bond itu terlambat dikeluarkan lantaran harus ditandatangani Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Namun, sampai urusan tetek-bengek itu selesai, Andy tak kunjung membayar uang muka. Konsekuensinya jadi fatal. Dalam surat Khaminov kepada KSAD, sampai dengan surat itu dikirim, pihak pabrik menghentikan proses pembuatan pesawat. Tes penerbangan Mi-17 juga urung karena menunggu kejelasan pembayaran uang muka tersebut.
Tak cuma itu, selama beberapa bulan, 10 pilot dan 18 kru TNI-AD yang dikirim ke Torzhok, Rusia, untuk mempelajari helikopter Mi-17 sempat terkatung-katung. Mereka hampir dipulangkan di tengah jalan. Namun, berkat jasa baik petinggi militer Rusia, 28 orang itu bisa merampungkan tugas pelatihan sampai selesai dan dinyatakan lulus (lihat Salju Waswas di Torzhok).
Mengapa Andy Kosasih menahan uang yang bukan haknya itu? Andy, yang ditemui TEMPO di Apartemen Royal Park Jakarta, menyangkal sudah main tilep. Ia memang mengakui sudah menerima uang US$ 3,2 juta dari Departemen Keuangan. Tapi uang itu ditahannya karena ia melihat tidak ada jaminan Alternarig akan membayar yang 85 persen yang memang sudah jatuh tempo. "Alternarig tidak perform," kata Andy Kosasih (lihat Andy Kosasih: "Semua Fakta Diputar-balik").
Sebaliknya, dalam logika Alternarig, mereka tak bisa memproses pembayaran sisa 85 persen karena uang muka tadi belum dilunasi. "Seperti orang mau membeli mobil, uang muka dulu dibayar, baru cicilan menyusul," kata Ishak, partner Alternarig di Jakarta. Kedua pihak main tuding dan yang terjepit di tengah adalah TNI-AD.
Pertarungan Alternarig dan Andy Kosasih ternyata belum berakhir. Alternarig kemudian menuding Andy telah mengirim transfer palsu ke Rosoboron.
Ceritanya begini. Saat Andy Kosasih (Swifth) didesak melunasi uang muka oleh Rosoborn—lantaran paket progran pelatihan bagi penerbang dan teknisi Indonesia sudah berjalan—tiba-tiba Rosoboron menerima pemberitahuan pengiriman uang US$ 2,6 juta pada 12 Desember 2003. Uang itu dikirim ke Rusia via Bank BNI Cabang Sudirman. Dalam surat pemberitahuan itu disebutkan uang dikirim oleh Alternarig.
Pada awalnya Rosoboron yang dikirimi bukti transfer lewat faks bernapas lega: uang muka yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Namun kelegaan itu hanya sementara. Sebab, setelah dicek di Mosnar Bank Moskow, tak ada kiriman uang dari Jakarta. Belakangan Alexander Khaminov dibuat terkaget-kaget: bukti transfer oleh Bank BNI dikatakan palsu.
Lalu mengapa uang itu datang dari Alternarig dan bukan Andy Kosasih? Menurut Ishak, ini memang akal-akalan Andy Kosasih semata. "Mana mungkin Alternarig bisa mentransfer uang sebesar itu. Kami tidak memiliki rekening di BNI," katanya.
Sementara itu, ketika dikonfirmasi, Andy justru menuding Alternariglah yang mengirim transfer palsu tersebut. "Mereka bilang bahwa duit US$ 2,6 juta adalah bagian dari dari 85 persen," kata Andy. Ia malah menuduh orang-orang Alternarig sedang berupaya merebut proyek pengadaan pesawat Mi-17 itu dari dirinya. "Mereka itu sudah seperti sindikat," kata Andy.
Atas segala ketidakberesan ini Alternarig belakangan menyurati Direktur Pembiayaan Luar Negeri Departemen Keuangan, Edi Karsanto, pada 10 Januari lalu. Isinya, Alternarig menarik diri dari perjanjian pinjaman dengan Departemen Keuangan. Ini berarti ancaman bahwa proyek ini akan batal. Hal ini pula yang kemungkinan besar menjadi alasan Khaminov menyurati Jenderal Ryamizard, mengadukan ketidakberesan Swifth itu.
Untuk mencari jalan dari kekisruhan itu, Departemen Keuangan pada Jumat 16 Januari lalu, melalui Direktur Pembiayaan Luar Negeri Edi Karsanto, menggelar rapat. Dalam pertemuan yang berlangsung di lantai lima Departemen Keuangan itu hadir wakil dari Departemen Pertahanan, TNI Angkatan Darat, Andy Kosasih dari Swifth, Ishak dari Alternarig, dan Bram Manoppo dari PT PPM. Dalam rapat itu Andy diultimatum agar secepatnya melunasi pembayaran uang muka.
Mengingat tidak gampang mencari perusahaan baru pemberi pinjaman, Alternarig pun diminta kembali melanjutkan kontrak kredit. Edi Karsanto sendiri saat ini sedang berada di Mekah untuk ibadah haji, sehingga tak bisa dimintai konfirmasi. Tapi Kepala Sub-Direktorat Pembiayaan dan Hibah Luar Negeri, Anton Sianipar, mengatakan, "Sudah ada surat Alternarig untuk melanjutkan kontrak." Menurut Ishak, Alternarig mau melanjutkan kredit jika urusan uang muka sudah beres dan Swifth tidak lagi dilibatkan.
Bram Manoppo, pemenang awal tender, pun merasa perlu menyelamatkan proyek ini agar tidak sampai gagal hingga tenggat penyerahan pesawat 28 Februari 2004 nanti. "Kami sudah menyiapkan uang mukanya. Sedangkan soal Andy Kosasih biar negara yang mengurus," katanya.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard, yang baru pulang berobat dari Jepang, belum bersedia diwawancarai. Menurut Sunaryanto, ajudan KSAD yang ditemui TEMPO di kediaman Ryamizard di Kompleks Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, bosnya belum mau diganggu. "Pertanyaan Anda soal heli Rusia sudah saya sampaikan. Tapi pesan Bapak nanti saja (jawabannya)," kata Sunaryanto. Adapun Kepala Dinas Penerangan AD, Brigadir Jenderal Ratyono, hanya berkomentar pendek, "Sebagai pengguna, kalau pembelian itu terhambat, kami tentu dirugikan. Tapi detailnya akan saya pelajari lagi."
Alexander Khaminov sendiri tak mau banyak bicara tentang keruwetan itu. Saat dihubungi Nezar Patria dari TEMPO via telepon, pria yang fasih berbahasa Indonesia itu cuma berkata pendek, "Persoalan ini bukan ada di pihak Rusia tapi di pihak Indonesia."
AZ/Edy Budiyarso (Jakarta), Alexander Lavrentyev (Moskow)
Jalan Berliku Pembelian Heli
April 2002
Rencana pembelian empat helikopter angkut militer Mi-17 buatan Rusia oleh TNI-AD pertama kali muncul ke publik setelah ditulis majalah Angkasa. Pembelian dilakukan dengan fasilitas kredit ekspor TNI-AD tahun 2002.
19 Desember 2002
KSAD Jenderal Ryamizard mewakili Menteri Pertahanan meneken kontrak dengan perusahaan dari Singapura, Swifth Air & Industrial Supply Pte.Ltd. Swifth adalah mitra PT Putra Pobiagan Mandiri.
30 Desember 2002
Uang muka US$ 3,2 juta (15 persen)—dari total proyek senilai US$ 21,6 juta—dikirim Departemen Keuangan kepada Swifth, yang diwakili Andy Kosasih. Uang muka itu ditransfer dari Bank Indonesia ke rekening Swifth di kantor Bank HSBC cabang Jurong, Singapura.
27 Desember 2002
Departemen Keuangan meneken kontrak perjanjian pinjaman dengan perusahaan keuangan Alternarig Sdn. Bhd., Malaysia—mitra Swifth Air Ltd. Alternarig akan menalangi 85 persen biaya pembelian empat heli. Departemen Keuangan akan membayar cicilan dengan fasilitas kredit ekspor sebanyak 12 kali per semester selama enam tahun.
10 Oktober 2002
PT Putra Pobiagan Mandiri, rekanan Departemen Pertahanan, dipilih Angkatan Darat untuk mendatangkan empat heli Mi-17 tersebut.
24 Juni 2003
Rosoboronexport menge-luarkan advance payment guarantee kepada Swifth. Dua minggu setelah keluar garansi tersebut, Swifth diwajibkan membayar uang muka yang sudah di tangannya kepada Rosoboron.
4 September 2003
Rosoboron mengeluar-kan performance bond untuk sisa pembayaran 85%. Rosoboron meminta Swifth menge-luarkan letter of credit (L/C) paling lambat dua minggu setelah keluarnya bond tersebut.
November 2003
Departemen Keuangan mengirim surat kepada Departemen Pertahanan, mempertanyakan loan agreement yang tidak berjalan.
30 Desember 2003
Andy Kosasih menyatakan Alternarig sudah mentransfer US$ 2,6 juta, sebagai bagian dari uang muka, lewat Bank BNI Pusat Jalan Sudirman, Jakarta. Keterangan ini diberikan karena Rosoboron mendesak Andy agar membayar uang muka yang sudah diterimanya dari Departemen Keuangan.
9 Oktober 2003
Sebanyak 28 perwira dan bintara anggota Dinas Penerbangan Angkatan Darat, yang terdiri dari 10 penerbang heli dan crew pendukung, mulai mendapat pelatihan di Torzhok, Rusia.
Agustus 2003
Bermodalkan pinjaman bank-bank Rusia, pabrik helikopter Kazan mulai memproduksi empat heli pesanan TNI-AD di bawah pengawasan tim Indonesia.
19 Februari 2003
Swifth Ltd. mengikat kontrak dengan Rosoboronexport, agen penjualan peralatan militer Rusia, untuk pembelian empat helikopter. Juga termasuk peralatan pen-dukung dan biaya pelatihan senilai US$ 17,6 juta.
Awal Januari 2004
Perwakilan Rosoboron Indonesia mendapat laporan tidak ada dana yang masuk ke rekening Mosnar Bank, Rusia. Alexander Khaminov dari Rosoboron mengecek bukti transfer ke BNI dan menemukan bahwa bukti form permohonan pengiriman uang tersebut palsu.
12 Januari 2004
Perwakilan Rosoboron Jakarta mengirimkan surat keberatan kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu atas ketidakberesan Swifth dan belum dibayarkannya uang muka. Rosoboron juga memberi tahu bahwa proses akhir produksi empat helikopter dihentikan dan test flight ditunda.
16 Januari 2004
Di lantai lima kantor Direktur Pembiayaan Luar Negeri Departemen Keuangan, Edi Karsanto memimpin rapat membahas surat Alternarig dan Rosoboron. Rapat dihadiri perwakilan Departemen Pertahanan, TNI-AD, Swifth, dan Alternarig.
Alternarig berjanji akan melanjutkan pembiayaan 85 persen pembelian empat heli jika persoalan DP sebesar 15 persen yang berada di tangan Andy Kosasih selesai dibayarkan kepada Rosoboron. Trauma atas janji-janji Swifth, Alternarig hanya mau melanjutkan jika posisi Swifth digantikan PT Putra Pobiagan Mandiri.
10 Januari 2004
Pihak Alternarig mengirimkan surat pengunduran diri dari perjanjian kredit kepada Direktur Pembiayaan Luar Negeri Departemen Keuangan, Edi Karsanto. Surat yang sama ditujukan kepada Swifth Singapura.
16 Januari 2004
Di lantai lima kantor Direktur Pembiayaan Luar Negeri Departemen Keuangan, Edi Karsanto memimpin rapat membahas surat Alternarig dan Rosoboron. Rapat dihadiri perwakilan Departemen Pertahanan, TNI-AD, Swifth, dan Alternarig.
Alternarig berjanji akan melanjutkan pembiayaan 85 persen pembelian empat heli jika persoalan DP sebesar 15 persen yang berada di tangan Andy Kosasih selesai dibayarkan kepada Rosoboron. Trauma atas janji-janji Swifth, Alternarig hanya mau melanjutkan jika posisi Swifth digantikan PT Putra Pobiagan Mandiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo