SUDAH hampir dua setengah tahun mereka berperang. Tanda-tanda
akan berakhirnya pertikaian bersenjata itu, atau siapa yang
bakal menang, masih belum kelihatan. Dan pekan lalu, Iran
melancarkan lagi serbuan besar-besaran terhadap Irak. Iran
menggambarkan serangan ini sebagai "offensive terakhir" untuk
merebut kembali wilayahnya yang diduduki Irak sejak September
1980.
Serangannya sekaligus untuk memperingati ulang tahun ke-4
pengambilan alih kekuasaan di Iran oleh Ayatullah Rohullah
Khomeini. Selama lima hari pertama serangan itu, yang terbesar
sejak hampir dua setengah tahun lalu, lebih dari 3.300 tentara
Irak tewas atau luka, menurut komunike Iran.
Teheran, ibukota Iran, juga mengatakan bahwa pasukannya
menghancurkan 60% dari suatu brigade infantri Irak. Sebaliknya,
Irak mengatakan 15.000 tentara Iran tewas dalam lima hari
pertempuran itu. Siapa yang benar, wallahu'alam. Tidak ada satu
pun laporan independen datang dari medan pertempuran itu. Kedua
pihak melarang wartawan asing mengunjungi ajang perkelahian itu.
Betapa pun juga, Irak tampaknya berada pada kedudukan yang lebih
menguntungkan daripada Iran, baik dalam soal pasukan maupun
peralatan. Irak mempunyai 16 divisi tentara dibanding dengan
Iran yang hanya memiliki 12. Irak juga mempunyai lebih banyak
tank, artileri dan pesawat terbang. Tetapi tentara Irak konon
mempunyai beberapa kekurangan, termasuk semangat, seperti
terlihat ketika tiga serangan Iran dalam pertengahan kedua tahun
lalu.
Sekalipun tentara Iran belum berhasil merebut kembali semua
wilayahnya Irak tidak mampu melumpuhkan serbuan Iran. Dan
sekarang di Baghdad, ibukota Irak, ramai dibicarakan orang soal
kemungkinan serbuan baru dari Iran dalam musim semi (Maret-Mei).
Tapi itu tidak berarti masyarakat hidup tercekam. Di Baghdad,
misalnya, kehidupan sehari-hari berjalan normal. Kehidupan malam
di ibukota yang dibangun 12 abad lalu itu tetap ramai.
Pesawat perusahaan penerbangan internasional tetap mendarat di
sana, sekalipun hanya pada waktu malam, atas pertimbangan
keamanan. Di siang hari, pesawat tempur Irak berdesing melintasi
ibukota.
PERANG antara dua negara bertetangga itu telah menutup pelabuhan
Irak di Teluk Parsi. Akibatnya, Irak harus mendatangkan
kebutuhan pangannya lewat jalan darat, sebagian besar dari
Turki, Arab Saudi dan Kuwait.
Sekalipun berbatasan dengan Suriah, sesama anggota Liga Arab,
Irak tidak mendatangkan kebutuhannya dari tetangganya itu.
Suriah bersama-sama dengan Libya, Aljazair dan Yaman Selatan,
mendukung Iran. Suriah malahan menutup saluran minyak Irak yang
melewati wilayahnya. Dan Iran, sambil memaki-maki Zionisme,
berdagang dengan Israel.
Tahun lalu Iran membeli berbagai kebutuhan militernya dari
Israel, yang seluruhnya diperkirakan bernilai US$27 juta.
Sebagian besar berupa ban dan suku-cadang untuk pesawat tempur
F-4 buatan Amerika. Iran juga membeli dua pesawat pengangkut
militer F-27 dari Negeri Belanda pada tahun 1981.
Dengan harga minyak di pasaran dunia jatuh dan pipa minyaknya di
Suriah ditutup, Presiden Saddam Hussain dari Irak jelas
menghadapi kesulitan besar. Perang ini dimulainya ketika
tentaranya menyerang dan menduduki kota pelabuhan Shatt-al-Arab
di Teluk Parsi, September 1980. Kini ia memerlukan biaya yang
tidak sedikit, dan terpaksa melakukan program penghematan.
Tetapi Irak juga tidak berdiri sendiri. Mesir membantunya dengan
senjata, sementara Arab Saudi dan kelima rekannya dalam Dewan
Pertahanan Teluk Parsi -- Kuwait, Persatuan Emirat Arab,
Bahrain, Qatar dan Oman -- menyediakan dana. Sejak meletusnya
perang Iran-lrak, para anggota Dewan Pertahanan itu menyediakan
US$ 6,5 milyar setiap enam bulan. Sebagian dana ini digunakan
oleh Irak untuk membeli senjata dan perlengkapan militer. Dari
Austria, misalnya, Baghdad membeli 100 tank ringan Cuirassier
pada 1981 yang tiba lewat Yordania. Dari Polandia, Irak membeli
300 tank T-55 pada tahun yang sama. Akhir-akhir ini, Irak juga
menerima senjata baru dari Uni Soviet.
Tetapi pundi-pundi Dewan Pertahanan Teluk Parsi tidak selamanya
penuh fulus. Pada bagian kedua tahun 1982, hanya separuh dari
dana yang biasanya berjumlah US$ 6,5 milyar itu yang diberikan.
Ini mungkin ada hubungannya dengan akibat berkurangnya
penerimaan mereka dari ekspor minyak.
Irak sendiri pun tampaknya mulai letih berperang. Saddam Hussain
yang semula melihat dlrinya sebagai perisai Arab terhadap
Revolusi Islam yang ingin diekspor oleh Iran itu, sekarang
merasa berperang seorang diri. Dia pernah menawarkan bahwa dia
bersedia datang ke Teheran untuk menyelesaikan perang ini.
Adalah Irak yang semula menyerang kota pelabuhan Shatt-al-Arab,
yang dipersengketakan dengan Iran.
Tetapi pemimpin Iran, Ayatullah Khomeini menghendaki kepala
Saddam Hussain. Dia tidak saja ingin merebut kembali wilayah
Iran yang jatuh ke tangan Irak, tapi juga ingin menggulingkan
Saddam Hussain. Usul perdamaian tiga pasal pernah diajukan Dewan
Pertahanan Teluk Parsi yang berisi: Gencatan senjata, penarikan
mundur tentara Irak dari wilayah Iran ke perbatasan yang
disetujui pada tahun 1975, dan perundingan untuk menyelesaikan
masalah yang belum teratasi. Semua itu tak digubris Khomeini.
Sekarang, dengan Iran telah melancarkan "serangan terakhirnya",
belum tentu serangan itu akan segera mengakhiri perang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini