Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Shultz Mengetuk Pintu Damai

Hasil diplomasi bolak-balik menlu AS, George Shultz hampir mencapai persetujuan. bantuan militer soviet untuk suriah meningkat. (ln)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM pesawatnya mengudara dari Kairo menuju Israel, pekan silam, Menlu AS George Shultz mengacungkan dua jari membentuk tanda V -- simbol kemenangan. "Persetujuan hampir tercapai," katanya. Dalam satu tarikan napas ia menambahkan, "hampir artinya belum tercapai, lho." Pernyataan Shultz itu mencerminkan sikap hati-hati yang sudah dibawanya dari Washington. Diplomasi bolak-balik yang kini diprakarsainya oleh sebagian pengamat di AS disebut "terlambat". Sebab Shultz baru terjun sesudah Philip Habib, utusan khusus AS, menengahi perundingan Israel-Libanon selama empat bulan tanpa kemajuan berarti. Kehadiran Shultz didahului dua peristiwa mengejutkan: penolakan Raja Yordania Hussein untuk ikut dalam perundingan penyelesaian konflik Timur Tengah dan ledakan besar yang menghancurkan bagian tengah gedung Kedubes AS di Beirut. Organisasi Jihad Islam, satu kelompok pro-Iran, dan dua organisasi teroris yang tidak jelas identitasnya, mengaku bertanggung jawab terhadap peristiwa itu. Dalam pergolakan begitu apa yang dapat dilakukan Shultz? Meski dituduh terlambat, di bandar udara Beirut yang dikawal ketat ia berjanji akan melipatgandakan upaya AS agar tercapai satu penyelesaian damai di Timur Tengah. Menjelang akhir masa kunjungannya selarna dua minggu, Shultz sudah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, Presiden Libanon Amin Gemayel, Presiden Mesir Husni Mubarak, dan, direncanakan juga, menemui Raja Fahd dari Arab Saudi. Bahkan ledakan roket Katyusha, Ahad silam, tak jauh dari kediaman dubes AS di Beirut, tempat Shultz menginap, tidaklah menciutkan semangatnya. Diplomasi bolak-balik Shultz pada dasarnya untuk menyelamatkan rencana perdamaian Timur Tengah dari Presiden Ronald Reagan yang semakin terombang-ambing. Dan untuk mencapai itu terlebih dahulu Libanon harus diutuhkan kedaulatannya dengan menarik mundur semua pasukan asing dari sana. Celakanya, formula untuk penarikan tersebut belum disepakati. Kepentingan Israel dan kepentingan Libanon dalam hal ini sulit dijembatani. Ketika bertolak ke Yerusalem dari Beirut, Minggu siang, Shultz membawa tiga usul mencakup penarikan serentak 30.000 tentara Israel, 40.000 pasukan Suriah, dan 10.000 PLO, pengaturan penjagaan keamanan sepanjang perbatasan Israel-Libanon, serta konsep perdagangan dan hubungan lain antara kedua negara tersebut. Seorang pejabat Libanon menyatakan informasi tentang perundingan terus disampaikan ke pihak Suriah dan PLO. "Begitu tercapai kesepakatan, semua pasukan asing harus mengundurkan diri dalam tempo delapan sampai sepuluh pekan," katanya. Perundingan Israel-Libanon tampak sudah mencapai tahap lebih maju. Kecuali dalam soal pasukan Mayor Saad Hadad tentara Libanon yang melakukan desersi dan sekarang bekerja untuk Israel. Libanon tetap menolak Hadad diberi peran berarti dalam menjaga keamanan di selatan, wilayah kekuasan sang mayor, dan Israel agaknya akan terpaksa setuju dengan tuntutan tersebut. Sementara itu diperoleh kabar dari Damaskus, bahwa Suriah tidak akan menarik 40.000 tentaranya meski perdamaian antara Libanon-Israel tercapai. Perubahan sikap Suriah ini erat kaitannya dengan bantuan militer Uni Soviet yang belakangan mengalir lagi ke sana. Informasi tentang ini dibocorkan oleh Ehud Barak dari dinas rahasia Israel. Laporan Barak lengkap dengan data dibukanya pelabuhan Tartus untuk armada Soviet, adanya instalasi komunikasi yang menghubungkan Damaskus-Moskow, dan dipasangnya dua instalasi rudal antipesawat udara SAM-5. Juga, katanya, ada dua kapal selam Uni Soviet mondar mandir di kawasan yang rawan di sana. Kebenaran informasi Barak belum dapat dipastikan. Namun sikap agresif tentara Suriah tampak mendukung data tersebut. Tembak-menembak antara pasukan Suriah dan Israel di sepanjang garis gencatan senjata yang membatasi Lembah Bekaa, terjadi lagi sejak awal pekan silam. Menanggapi peningkatan kekuatan militer Soviet itu, beberapa pengamat kembali menyesalkan sikap pasif Washington di Timur Tengah. Mereka, dalam nada marah, menuduh Reagan yang sejak melontarkan usul perdamaiannya tidak berhasil mencetuskan satu sukses berarti. Kecaman itu ternyata tidak sampai membuat Reagan kehilangan pegangan. Presiden AS tersebut tetap menjamin akan melanjutkan upaya perdamaian, meski gedung Kedutaan Besar AS di Beirut hancur akibat ledakan bom. Sampai saat terakhir diperkirakan 200 orang cedera, dan 57 tewas (di antaranya 17 warganegara Amerika). Termasuk Robert C. Ames, tokoh CIA, berikut belasan agen dinas rahasia AS lainnya, yang sedang berembuk di gedung kedutaan ketika ledakan terjadi. Untuk menghormati mereka telah dipahat satu bintang di tembok utara serambi utama markas CIA di Langley, Virginia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus