SEBELUM pesawatnya mengudara dari Kairo menuju Israel, pekan
silam, Menlu AS George Shultz mengacungkan dua jari membentuk
tanda V -- simbol kemenangan. "Persetujuan hampir tercapai,"
katanya. Dalam satu tarikan napas ia menambahkan, "hampir
artinya belum tercapai, lho."
Pernyataan Shultz itu mencerminkan sikap hati-hati yang sudah
dibawanya dari Washington. Diplomasi bolak-balik yang kini
diprakarsainya oleh sebagian pengamat di AS disebut "terlambat".
Sebab Shultz baru terjun sesudah Philip Habib, utusan khusus AS,
menengahi perundingan Israel-Libanon selama empat bulan tanpa
kemajuan berarti.
Kehadiran Shultz didahului dua peristiwa mengejutkan: penolakan
Raja Yordania Hussein untuk ikut dalam perundingan penyelesaian
konflik Timur Tengah dan ledakan besar yang menghancurkan bagian
tengah gedung Kedubes AS di Beirut. Organisasi Jihad Islam, satu
kelompok pro-Iran, dan dua organisasi teroris yang tidak jelas
identitasnya, mengaku bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.
Dalam pergolakan begitu apa yang dapat dilakukan Shultz? Meski
dituduh terlambat, di bandar udara Beirut yang dikawal ketat ia
berjanji akan melipatgandakan upaya AS agar tercapai satu
penyelesaian damai di Timur Tengah. Menjelang akhir masa
kunjungannya selarna dua minggu, Shultz sudah berbicara dengan
Perdana Menteri Israel Menachem Begin, Presiden Libanon Amin
Gemayel, Presiden Mesir Husni Mubarak, dan, direncanakan juga,
menemui Raja Fahd dari Arab Saudi. Bahkan ledakan roket
Katyusha, Ahad silam, tak jauh dari kediaman dubes AS di Beirut,
tempat Shultz menginap, tidaklah menciutkan semangatnya.
Diplomasi bolak-balik Shultz pada dasarnya untuk menyelamatkan
rencana perdamaian Timur Tengah dari Presiden Ronald Reagan yang
semakin terombang-ambing. Dan untuk mencapai itu terlebih dahulu
Libanon harus diutuhkan kedaulatannya dengan menarik mundur
semua pasukan asing dari sana. Celakanya, formula untuk
penarikan tersebut belum disepakati. Kepentingan Israel dan
kepentingan Libanon dalam hal ini sulit dijembatani.
Ketika bertolak ke Yerusalem dari Beirut, Minggu siang, Shultz
membawa tiga usul mencakup penarikan serentak 30.000 tentara
Israel, 40.000 pasukan Suriah, dan 10.000 PLO, pengaturan
penjagaan keamanan sepanjang perbatasan Israel-Libanon, serta
konsep perdagangan dan hubungan lain antara kedua negara
tersebut. Seorang pejabat Libanon menyatakan informasi tentang
perundingan terus disampaikan ke pihak Suriah dan PLO. "Begitu
tercapai kesepakatan, semua pasukan asing harus mengundurkan
diri dalam tempo delapan sampai sepuluh pekan," katanya.
Perundingan Israel-Libanon tampak sudah mencapai tahap lebih
maju. Kecuali dalam soal pasukan Mayor Saad Hadad tentara
Libanon yang melakukan desersi dan sekarang bekerja untuk
Israel. Libanon tetap menolak Hadad diberi peran berarti dalam
menjaga keamanan di selatan, wilayah kekuasan sang mayor, dan
Israel agaknya akan terpaksa setuju dengan tuntutan tersebut.
Sementara itu diperoleh kabar dari Damaskus, bahwa Suriah tidak
akan menarik 40.000 tentaranya meski perdamaian antara
Libanon-Israel tercapai. Perubahan sikap Suriah ini erat
kaitannya dengan bantuan militer Uni Soviet yang belakangan
mengalir lagi ke sana. Informasi tentang ini dibocorkan oleh
Ehud Barak dari dinas rahasia Israel. Laporan Barak lengkap
dengan data dibukanya pelabuhan Tartus untuk armada Soviet,
adanya instalasi komunikasi yang menghubungkan Damaskus-Moskow,
dan dipasangnya dua instalasi rudal antipesawat udara SAM-5.
Juga, katanya, ada dua kapal selam Uni Soviet mondar mandir di
kawasan yang rawan di sana.
Kebenaran informasi Barak belum dapat dipastikan. Namun sikap
agresif tentara Suriah tampak mendukung data tersebut.
Tembak-menembak antara pasukan Suriah dan Israel di sepanjang
garis gencatan senjata yang membatasi Lembah Bekaa, terjadi lagi
sejak awal pekan silam.
Menanggapi peningkatan kekuatan militer Soviet itu, beberapa
pengamat kembali menyesalkan sikap pasif Washington di Timur
Tengah. Mereka, dalam nada marah, menuduh Reagan yang sejak
melontarkan usul perdamaiannya tidak berhasil mencetuskan satu
sukses berarti.
Kecaman itu ternyata tidak sampai membuat Reagan kehilangan
pegangan. Presiden AS tersebut tetap menjamin akan melanjutkan
upaya perdamaian, meski gedung Kedutaan Besar AS di Beirut
hancur akibat ledakan bom. Sampai saat terakhir diperkirakan
200 orang cedera, dan 57 tewas (di antaranya 17 warganegara
Amerika). Termasuk Robert C. Ames, tokoh CIA, berikut belasan
agen dinas rahasia AS lainnya, yang sedang berembuk di gedung
kedutaan ketika ledakan terjadi. Untuk menghormati mereka telah
dipahat satu bintang di tembok utara serambi utama markas CIA di
Langley, Virginia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini