Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Si Mulut Pedas dari Negeri Samba

Politikus sayap kanan Jair Bolsonaro terpilih menjadi Presiden Brasil. Dianggap sebagai duplikat Donald Trump.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum satu bulan terpilih menjadi Presiden Brasil, Jair Bolsonaro mengambil keputusan kontroversial. Pria 63 tahun ini menyatakan bakal mewujudkan salah satu janji kampanyenya untuk memindahkan Kedutaan Besar Brasil di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. ”Israel adalah negara yang berdaulat dan kami akan menghormatinya,” kata Bolsonaro lewat akun Twitternya, Kamis dua pekan lalu.

Bolsonaro mengikuti langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang lebih dulu menggeser kedutaan besar negaranya ke kota suci tiga agama langit itu. Bolsonaro, yang memenangi pemilihan presiden pada akhir Oktober lalu dan akan dilantik 1 Januari tahun depan, membawa Brasil menjadi negara ketiga yang mendukung mimpi Israel. Sebelumnya, Guatemala mengikuti langkah Amerika.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut antusias rencana Bolsonaro, yang dinilainya tepat dan bersejarah. Namun bekas Duta Besar Brasil untuk Amerika, Rubens Barbosa, memperkirakan Bolsonaro dapat berubah pikiran karena pertimbangan ekonomi. ”Dia akan membuang US$ 6 miliar (sekitar Rp 87 triliun) per tahun dari penjualan unggas ke negara-negara Arab,” katanya kepada NBC News, merujuk pada fakta bahwa Brasil adalah salah satu pengekspor unggas dan daging sapi terbesar di dunia.

Prediksi Barbosa bisa jadi benar. Baru dua pekan setelah dinyatakan menang atas rivalnya, Fernando Haddad, Bolsonaro sudah meralat sejumlah janji kampanyenya. Dia sebelumnya berkoar akan menggabungkan Kementerian Lingkungan dengan Kementerian Pertanian. Namun dalam dua hari pendiriannya goyah dan ia membatalkan rencana itu setelah menuai kritik dari aktivis lingkungan.

Bolsonaro, yang kerap berkomentar melecehkan perempuan, kaum homoseksual, dan orang kulit berwarna, pernah berjanji mengisi kabinetnya dengan kaum lelaki berlatar belakang militer. Dia belakangan menelan ludahnya dan menunjuk anggota kongres, Tereza Cristina da Costa Dias, sebagai Menteri Pertanian. Dias adalah menteri perempuan pertama dalam kabinet Bolsonaro.

Kemenangan Bolsonaro cukup spektakuler, meski tak mengejutkan. Politikus sayap kanan dari Partai Sosial Liberal ini muncul mengisi kekosongan stok pemimpin nasional di Negeri Samba. Reputasi pemerintah sayap kiri Partai Pekerja, yang berkuasa 13 tahun, hancur sejak eks presiden Dilma Rousseff dimakzulkan dan Luiz Inacio Lula da Silva divonis 12 tahun bui karena korupsi. Michel Temer, pengganti Rousseff dari partai konservatif, sangat tidak populer dan namanya terseret skandal korupsi.

Krisis politik dan ekonomi yang mendera Brasil sejak 2014 telah menggerus kepercayaan rakyat. Mereka jengah terhadap pemerintah dan lembaga politik. ”Resesi terburuk dalam seabad terakhir, skandal korupsi terbesar dalam sejarah, dan tingkat kejahatan yang tinggi telah menyebabkan munculnya Bolsonaro,” ujar Brian Winter, analis politik dari Americas Society and Council of the Americas.

Tampil dengan retorika kampanye yang populis dan penuh amarah, Bolsonaro cepat menarik perhatian pemilih. Ia terus menuai dukungan kendati kelompok pegiat hak asasi, pers, hingga tokoh masyarakat menilai pencalonannya mengancam demokrasi. Bahkan Fernando Haddad, kandidat dari Partai Pekerja yang menggantikan Lula, tidak kuasa membendung laju Bolsonaro, yang meraup lebih dari 55 persen suara. Padahal sebelumnya Lula selalu memuncaki survei popularitas.

Dilahirkan pada 21 Maret 1955, Jair Messias Bolsonaro kerap mengklaim dirinya kuda hitam politik. Padahal pria asal Campinas, São Paulo, ini jauh dari kesan politikus bau kencur. Pergerakannya yang gesit telah membuatnya bertahan di kongres hingga tiga dekade. Selama enam periode menjadi wakil rakyat itu, ia bergonta-ganti kendaraan politik. Sebelum bergabung dengan Partai Sosial Liberal, yang mengantarnya memenangi kursi presiden, Bolsonaro tercatat sebagai kader di delapan partai.

Kedekatannya dengan militer tidak lepas dari sepak terjangnya sebagai tentara. Sebelum berkarier di dunia politik, pria yang telah menikah tiga kali ini adalah personel Angkatan Darat yang bertugas di unit terjun payung. Ia mengabdi selama 17 tahun dan pensiun dengan pangkat kapten. ”Bekas atasannya menggambarkan Bolsonaro sebagai tentara yang ’ambisius dan agresif’,” tulis The Sun.

Kesan militeristis melekat kuat karena Bolsonaro menggandeng Hamilton Mourao, eks panglima militer Brasil, sebagai wakilnya. Ditambah Bolsonaro tak sungkan mengumbar kekagumannya terhadap era kediktatoran militer Brasil pada 1964-1985, yang lekat dengan penyiksaan para aktivis sayap kiri. ”Saya mendukung penyiksaan, Anda tahu itu. Dan saya yakin rakyat Brasil juga mendukung,” katanya.

Mendapat julukan ”Trump dari Daerah Tropis”, Bolsonaro banyak mereplikasi gaya kampanye Trump. Namanya melejit berkat jargon-jargon anti-kemapanan. Sementara Trump mengusung slogan ”America First”, Bolsonaro membikin versi Brasilnya: ”Brasil di depan semuanya dan Tuhan di atas segalanya”. Ia berkoar akan menyelamatkan Brasil dari keterpurukan, yang diawalinya dengan menyetip sisa kemapanan dari rezim sayap kiri sebelumnya. ”Entah mereka pergi ke luar negeri entah mereka masuk penjara,” ucapnya.

Bolsonaro dan Trump punya sederet kesamaan. Salah satunya soal basis pendukung. Di Amerika, pemilih Kristen konservatif menjadi basis suara sayap kanan yang energetik dan membantu Trump memenangi kursi presiden pada 2016. Di Brasil, banyak pemilih Katolik, yang mengisi nyaris 70 persen dari 209 juta penduduk, mengalihkan suara ke Bolsonaro karena ia menentang aborsi dan hak kaum homoseksual.

Seperti Trump, Bolsonaro dikenal bermulut pedas dan mengobral pernyataan nyelekit. Ia, misalnya, menilai kaum pribumi dan komunitas Quilombolas, keturunan budak Afro-Brasil, malas. ”Saya pikir mereka bahkan tidak mampu lagi beranak-pinak,” ujarnya. Dalam kesempatan lain, bapak lima anak ini tak setuju jika salah satu dari empat putranya tertarik pada sesama jenis. ”Lebih baik anak saya meninggal dalam kecelakaan mobil ketimbang dia berkencan dengan pria.”

Salah satu alasan utama begitu banyak pemilih menyukai Bolsonaro adalah dia telah berjanji memperbaiki masalah pelik di negeri berpenduduk 209 juta jiwa itu, yaitu tingginya tingkat kejahatan, rapuhnya ekonomi, dan korupsi yang menggurita. Rezim-rezim sebelumnya tak hanya gagal mengatasi persoalan itu, tapi turut menjadi pemicunya.

Selama kampanye, Bolsonaro menyatakan akan mengatasi krisis keamanan dengan ”memiliterkan” polisi dan memberi mereka persenjataan lengkap serta melonggarkan aturan kepemilikan senjata api bagi warga sipil. Seperti halnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang merestui polisi untuk menembak mati pengedar narkotik, Bolsonaro berjanji memberi kebebasan bagi polisi untuk membunuh penjahat.

Bagi warga Brasil, Bolsonaro menawarkan solusi segar. Forum Keamanan Publik Brasil mencatat angka pembunuhan tahun lalu mencapai rekor tertinggi sebanyak 63.880, naik 2,9 persen dari tahun 2016. ”Kejahatan adalah masalah utama yang mempengaruhi semua kelas sosial, terutama kaum miskin,” kata Matias Spektor, peneliti dari Yayasan Getulio Vargas yang berbasis di Brasil, kepada Al Jazeera.

Retorika politik Bolsonaro telah membelah jutaan pemilih Brasil. Ia menuai protes dan perlawanan keras dari kelompok pemilih perempuan. Para penentangnya memakai slogan #EleNao atau ”Bukan Dia”. Pada September lalu, Adelio Bispo de Oliveira, pria yang mengaku mengemban ”misi dari Tuhan”, menikam perut Bolsonaro saat kampanye. Insiden itu menjadikannya ”martir” di mata pendukungnya.

Di bawah komando Bolsonaro, Brasil memasuki era baru. Dia telah berjanji mencabut perlindungan atas kawasan Hutan Amazon serta menghapus badan urusan pribumi (FUNAI) dan badan pengawas lingkungan di Kementerian Lingkungan (IBAMA). Bolsonaro, yang didukung para pengusaha di bidang pertanian dan pertambangan, diperkirakan mendorong produksi dua sektor itu untuk mendorong perekonomian Brasil.

Brasil mengandalkan daging sebagai salah satu komoditas ekspor utamanya. Tahun lalu, Indonesia menghentikan ekspor daging dan ayam dari Brasil karena skandal penyakit kuku dan mulut serta vaksinasi hewan. Menurut Global Meat News, April lalu, Menteri Pertanian Brasil Blairo Maggi mengatakan wakil Indonesia akan berkunjung ke Negeri Samba untuk meninjau industri dagingnya. Ini langkah terakhir untuk memperbaiki perjanjian ekspor daging ke Jakarta. Kementerian juga telah berunding dengan berbagai negara ekspor pentingnya, seperti Korea Selatan dan Rusia.

Bila Bolsonaro memenuhi janjinya, Brasil benar-benar akan menggenjot ekspor daging ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Maret lalu, negeri itu mencetak rekor ekspor bulanan sebesar US$ 591,7 juta. Bila ia melonggarkan aturan untuk industri pertanian, daging sapi dan ayam akan membanjiri dunia, juga Indonesia.

MAHARDIKA SATRIA HADI (VOX, CNBC, THE INTERCEPT, GLOBAL MEAT NEWS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus