Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Freddie Mercury adalah suara bening. Suara yang bergelora.
DAN yang membuat kita terus-menerus intim dengannya adalah suara dan musiknya yang melekat di dalam hati, pikiran, dan tubuh kita. Selama-lamanya.
Karena Mercury adalah seorang legenda, justru kita—generasi yang tumbuh mendengarkan suaranya—mungkin harus bisa menahan emosi dan tidak kelojotan sendiri jika sineas film ini terlalu banyak menggunakan lisensi kreatifnya.
Siapa pun yang “ditugasi” membuat film biopik tokoh terkemuka—dengan ganjaran honor semanis apa pun—harus siap dihujat. Dalam hal film ini, terutama oleh fan fanatik yang sudah menumpahkan kemarahan yang berember-ember karena penulis skenario, Anthony McCarten (Theory of Everything, The Darkest Hour), tidak hanya mengacak-acak kronologi beberapa peristiwa penting dalam hidup Freddie Mercury dan Queen, tapi juga bahkan menambah-nambahkan fragmen serta tokoh fiktif untuk lebih mendramatisasi plot.
-IMDB
Film ini dimulai dengan secercah adegan detik-detik Freddie Mercury (Rami Malek) berjalan di belakang panggung. Kamera menyorot dari belakang dan mengikuti gerak-gerik tubuhnya yang bergerak di dalam celana panjang putih dan kaus tanpa lengan berwarna putih serta gelang yang memeluk lengannya. Para penggemar fanatik Queen akan segera tahu: inilah saat Queen bersatu lagi—setelah beberapa tahun vakum dan personelnya berkarier solo—untuk pertunjukan Live Aid.
Lantas kita diperkenalkan pada masa lalu Mercury dan keluarganya, saat dia masih bernama Farrokh Bulsara, putra sulung keluarga Parsi yang ayahnya menghela napas melihat si sulung gondrong berjaket kulit itu menghabiskan malam-malam di klub entah untuk apa.
Hanya Mercury yang tahu bahwa band Smile adalah takdirnya. Pertemuannya yang pertama dengan yang kelak kita kenal sebagai lead guitarist Queen, Brian May (Gwilym Lee); dan penabuh drum, Roger Taylor (Ben Hardy), menurut versi film ini terjadi di belakang panggung persis ketika lead singer mereka menyatakan diri keluar. Mercury mengajukan diri sebagai pengganti. Semula dia ditolak karena “tak mungkin kau tampil dengan gigi seperti itu”. Mercury tak mundur. Dengan gaya audisi American Idol, dia menyanyikan salah satu bait lagu band Smile dengan oktaf tinggi. Tentu saja mereka terpana, dan terpesona. Selanjutnya adalah sejarah. Mercury bergabung dengan mereka. Dia mengganti nama band dengan Queen karena “perwujudan kami yang agung, darling” (demikian dia selalu menyebut lawan bicaranya). Dia tahu kata “Queen” akan memberikan aroma “gay”, dan Mercury menjawab bahwa “itu hanya salah satu faktor”.
-IMDB
Selebihnya adalah pilihan Bryan Singer untuk mengajukan “milestone” Queen: bagaimana Freddie Mercury dengan gila memasukkan unsur opera sepanjang enam menit yang menyertakan berbagai unsur genre rock, yang kemudian disambut dengan wajah bingung oleh eksekutif studio, Ray Foster (Mike Myers), yang menekankan “tak ada yang boleh melewati tiga menit”; atau ketika Mercury melamar Mary Austin (Lucy Boynton), satu-satunya perempuan yang dicintainya yang kemudian akhirnya berpisah dan tetap berkawan baik ketika Mercury mengaku sebagai seorang biseksual. “Kamu gay, Freddie,” demikian jawaban Austin.
Persoalan besar dalam film ini adalah sikap film terhadap homoseksualitas Mercury yang diperlakukan seperti sesuatu yang tertutup, “ogah dikuak”, dan disentuh sesekali hanya kalau terpaksa. Mereka tak mau mengakui bahwa kebesaran Queen dan Freddie Mercury bukan hanya karena musiknya yang cross genre dan suara Mercury yang mencapai empat oktaf, tapi juga lantaran diksi dalam liriknya dan stage act yang—suka atau tak suka—tak bisa dipisahkan dari gaya dan jiwa Mercury. Dari nama “Queen”, logo band yang merupakan gabungan zodiak anggota, hingga kostum berwarna gebyar-gebyar penuh renda, semua adalah bagian dari Mercury yang penuh gelora, yang androgini, yang tak mau meletakkan diri dalam kotak apa pun dan membebaskan dirinya dari struktur serta aturan apa pun—termasuk melepas musik sepanjang enam menit berjudul Bohemian Rhapsody ke telinga kita.
Terlepas dari penampilan Rami Malek yang luar biasa—tak apa tubuhnya tak setinggi dan tak sekekar Freddie Mercury, dia tetap mampu menampilkan Mercury—keseluruhan tubuh cerita film ini sebetulnya lemah. Tentu saja penonton akan paham bahwa tak mungkin mereka menggambarkan masterpiece seperti Bohemian Rhapsody, yang diciptakan selama bertahun-tahun dan liriknya yang dianggap misterius itu masih menjadi sumber analisis berkepanjangan oleh para ahli musik hingga kini. Tapi menampilkannya sebagai kolase saja—apalagi judul lagu ini yang kemudian menjadi judul film—sungguh tak sepadan karena makin jelas film ini hanya berniat membuat sekumpulan cuplikan kisah Queen secara superfisial.
Karena itu, mungkin sikap kita sejak awal hanya harus memperlakukan film ini sebagai serangkaian rekonstruksi klip video kesuksesan Queen. Bukankah adegan Live Aid pada akhir cerita itulah yang menjadi porsi andalan dan yang paling banyak dibicarakan penonton? Tak perlu kita mendiskusikan arti lirik Bohemian Rhapsody atau pergolakan batin Freddie Mercury saat penciptaan lagu itu. Kelihatannya sineas film ini pun tak tertarik membahasnya.
LEILA S. CHUDORI
-IMDB
Sutradara: Bryan Singer
Skenario: Anthony McCarten
Pemain: Rami Malek, Mike Myers, Gwilym Lee, Ben Hardy, Joseph Mazzello
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo