TATKALA meningalkan Filipina menuju ke tempat pengasingannya di Honolulu, tiga setengah tahun lalu, di dalam tas kepresidenannya hanya ada selembar bendera Filipina. Bendera biru, merah, dan putih itulah yang kini menyelimuti peti jenazah bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos, yang ditempatkan pada timbunan bunga anggrek. Kamis siang pekan lalu, ajal sudah menunggu di ruang ICU RS St. Francis, Honolulu. Orang yang pernah memerintah Filipina selama 20 tahun itu membuka matanya sejenak. "Seakan ingin melihat wajah putranya untuk terakhir kalinya," tutur Roger Peyuan, juru bicara keluarga Marcos. Lalu, beberapa saat kemudian, orang tua berusia 72 tahun itu mengembuskan napasnya yang terakhir, disaksikan istrinya Imelda, dan putri bungsunya Irene Araneta, serta Ferdinand Jr. putra tunggalnya. Sementara itu, putri sulungnya Imee Manotoc, yang bermukim di Maroko, tak tampak. Keadaan Marcos mulai kritis tiga hari sebelumnya. Sejak dirawat di RS St. Francis Januari lalu, ketahanan tubuhnya senantiasa ditunjang berbagai macam alat untuk membantu ginjal, paru-paru, dan jantungnya yang sudah tak berfungsi lagi. Dua hari sebelum ajal, kondisinya menurun drastis dan jantungnya berhenti berdetak, sehingga para dokter ahli memutuskan memasang alat pacu di dalam tubuhnya. Seutas kawat beraliran listrik pun disetrumkan ke jantung Marcos agar berfungsi. Sebenarnya, para dokter sudah tahu, bekas presiden yang terkucilkan itu tak lagi punya harapan. Istrinya, Imelda Marcos, yang bersikeras agar tetap memasang alat itu. Tapi akhirnya wanita itu pun maklum. Ia menyetujui nasihat para ahli untuk mencabut alat tersebut, agar suaminya terlepas dari penderitaan dan beristirahat untuk selamanya. Berita kematiannya langsung diumumkan oleh putra tunggalnya di depan wartawan yang berkerumun di lantai bawah. Imelda Marcos meminta agar para pendukungnya mendoakan suaminya dengan Doa Novena selama 9 hari dan mengadakan acara tuguran di vila mewah yang terletak di kawasan elite Makiki Heights itu. Secara bergiliran mereka menengok jenazah Marcos yang telah dibalsem, yang didandani dengan baju barong putih. Sebuah simbol kepresidenan Filipina tampak tergantung di peti jenazah kayu berwarna cokelat kemerahan dengan pegangan warna keemasan. Sementara itu, di dekat pintu utama yang berhiaskan kain satin hitam tersedia buku tamu. Para pelayat itu bukan orangorang kaya seperti Doris Duke, milyarder wanita yang pernah meminjamkan kapal terbang bagi Imelda agar dapat hadir di Pengadilan Federal Manhattan, New York, 1988. Atau penyanyi Imelda Papin, yang pernah rekaman lagu dan selalu menemani Imelda Marcos kelayaban ke diskotek. Tapi mereka ini para loyalis Marcos yang setiap minggu mengadakan doa bagi kesembuhan Marcos. Umumnya mereka bukan golongan mampu, melainkan dari kelas pekerja. Dengan pakaian seragam atau pakaian hari Minggu, mereka duduk di acara bergadangan itu sambil membawa rantang dan menggendong anak-anak kecil yang menangis, membuat suasana gerah dan berisik. Berbeda dengan Imelda, yang mengenakan pakaian serba hitam dan menyebarkan wangi parfum. Sebuah jam tangan bertatahkan berlian melingkar di pergelangan tangan janda berusia 60 tahun itu, sementara jari-jarinya memilin rosario warna perak. Malamnya, para pelayat itu diantar Imelda ke tenda darurat yang dibangun di teras belakang. Di sana, tersedia makan malam khas Filipina seperti bakmi pangsit dan bakpau, di lusinan meja teratur rapi. Di luar pekarangan enam pengawal berwajah angker berjaga-jaga, sambil sekali-kali mengawasi deretan mobil yang diparkir tak keruan. Kepergian Ferdinand Marcos menyita halaman depan koran-koran setempat. Para imigran Filipina dari Ilocos Norte, kampung halaman Marcos, bekas buruh kebun tebu yang hijrah ke AS setelah Perang Dunia II dan kini bekerja sebagai buruh kasar di hotel-hotel, umumnya merasa kehilangan. Mereka tentunya tak pernah merasakan enak atau tak enaknya berada di bawah pemerintahan seorang diktator. Seorang tua yang diwawancarai koran Honolulu Adertser mengungkapkan kesedihannya sambil menangis. "Marcos orang baik. Saya merasa kehilangan," ujar orang tua itu, sesenggukan. "Tolong, berikan ini ke Imelda. Hanya ini yang dapat saya sumbangkan," katanya sambil menyodorkan uang US$ 20 kepada reporter yang mewawancarainya. Ada pula yang memaklumi sikap keras Presiden Corazon Aquino yang tak mengizinkan Marcos dimakamkan di Filipina demi keamanan dan kesatuan bangsa. "Tak usah heran. Sebab, pembalasan ada dalam darah setiap orang Filipina ," kata orang itu. Sementara itu, bendera setengah tiang berkibar selama tiga hari sejak Jumat pekan lalu di seluruh Filipina. Sejumlah protes dilancarkan oleh para pendukung Marcos, juga oleh Wakil Presiden Salvador Laurel dan Senator Juan Ponce Enrile. Imelda Marcos mengomentari keputusan Cory itu "tak berperikemanusiaan dan tak bermoral. " Sementara itu, seluruh kekuatan militer Filipina dalam keadaan siaga. Para petugas Komisi Imigrasi dan Deportasi di bandara Manila, Cebu dan Laoag, ibu kota provinsi Ilocos Norte, disiagakan. Instalasi penting seperti stasiun televisi, radio, pembangkit listrik dan telepon pun dijaga ketat. "Tindakan itu terpaksa kami lakukan, mengingat setidaknya ada tiga kelompok oposisi militer yang ingin memancing di air keruh," ujar Senator Ernesto Maceda, Ketua Senat Komisi Pertahanan Filipina, yang mendukung sikap Cory bersama 11 senator lainnya. Dari Manila dikabarkan pula, Cory telah membentuk Komite Penanggulangan Krisis, yang terdiri atas beberapa menterinya, diketuai oleh Rafael Ileto, Direktur Keamanan Nasional Tapi Senin pekan ini Cory mulai menunjukkan sikap lunaknya. Ia, katanya, akan menghormati keputusan akhir yang akan diambil oleh Mahkamah Agung dalam waktu dekat. Namun, ia yakin bahwa MA akan mendukung keputusannya. Usul kompromi diutarakan oleh pendukung Marcos. Arturo Tolentino, tokoh pendukung Marcos yang pernah menjadi wapres, mengusulkan agar jenazah pemimpinnya itu diizinkan diterbangkan langsung ke bandara Laoag, 400 km utara Manila. Salvador Escudero, seorang tokoh lainnya, berjanji tak akan mengarak jenazah Marcos di Manila, agar tak terjadi kerusuhan. Di basis utama pendukung Marcos ini, ratusan pemuda pelajar berarak keliling kota menuntut agar Marcos diijinkan kembali. Sebuah radio lokal menyelenggarakan lomba esei dengan tema: "Mengapa Marcos Tak Boleh Kembali." Sementara itu, jenazah ibunda Marcos, Dona Josefa Edralin Marcos, yang wafat tahun lalu, hingga kini pun masih disemayamkan di rumahnya di Batac, dekat Laoag. Menurut rencana, tubuhnya akan dikuburkan di pemakaman keluarga, bersamaan waktunya dengan hari penguburan Ferdinand Marcos, nanti. Semuanya itu tergantung kompromi yang disepakati Cory dan keluarga Marcos di Hawaii. Sementara itu, lingkungan tetangga keluarga Marcos di Makiki Heights sudah mulai menggerutu. Mereka mulai merasa terusik dengan kebisingan yang mungkin timbul bila tubuh Marcos tetap dipajang di rumahnya. "Kalau cuma dua minggu, bolehlah. Tapi kalau dua tahun seperti jasad ibunya, kami tak bisa menerimanya," ujar John Steelquist, ketua kelompok keluarga di kawasan elite di Honolulu itu. Didi Prambadi (Jakarta), Edhi Martono (Honolulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini