KETIKA menginjak usia 48 tahun lebih 3 bulan, Ferdinand Edralin Marcos secara resmi dilantik menjadi presiden Filipina keenam. Ia mengalahkan Diosdado Macapagal yang sebelumnya menjabat sebagai presiden. Ternyata, masa pemerintahan senator muda yang brilyan, ahli hukum yang cerdas, dan orator ulung ini berlangsung selama 242 bulan. Masa jabatan terlama dari semua rekor yang pernah dimiliki oleh para pendahulunya. Revolusi rakyat, yang mencapai puncaknya pada akhir bulan Februari 1986, ternyata mampu mendepaknya ke luar dari tanah kelahiran tercinta. Pahlawan demokrasi itu kini telah tiada. Terbaring menunggu keputusan dari tanah yang melahirkannya. Mantan penguasa ini termakan oleh ulahnya sendiri: ia menegakkan monarki di tengah alam demokrasi yang dibinanya. Fantastis! Pada saat seluruh rakyat berharap banyak atas tindakantindakan yang mengejutkan, misalnya pelaksanaan UU Darurat pada tahun 1972 (setelah insiden di Plaza Miranda yang mengakhiri segala bentuk liberalisme), mendadak Marcos membangun kerajaan dengan segala keluarganya sebagai anggota penguasa. Ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan rakyat jelata. Apa yang sebenarnya yang tersimpan di hati pemimpin yang diharapkan rakyat Filipina dapat membawa negara ini sejajar dengan negara-negara industri baru di Asia? Sebenarnya, Marcos telah berbuat banyak untuk membawa Filipina ke jenjang percaturan dunia. Dalam masa awal berdirinya ASEAN, Marcos hampir menjadi juru bicara kelompok ini. Terlebih-lebih, karena ASEAN masih menampilkan sosok politik ketimbang kerja sama ekonomi, tokoh Marcos yang flamboyant selalu tampil di depan. Di dalam negeri, dia berhasil membangkitkan semangat percaya diri rakyat Filipina. Dengan semboyan Walk Proud: You Are Filipino, Marcos telah menggerakkan sentimen rakyatnya pada pertengahan tahun 1970-an. Ditambah dengan tradisinya memakai barong Tagalog dalam acara-acara resmi kenegaraan, dan meninggalkan setelan jas dan dasi yang berciri Barat, Marcos telah mencanangkan kebanggaan menggunakan model dalam negeri. Pendirian Nayong Filipino, miniatur Filipina, yang mengundang kontroversi, pada dasarnya bertujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa sendiri. Sayang, akhirnya semua itu menyebabkan Ferdinand Marcos lupa diri. Awal kekurangsenangan sebagian besar rakyat Filipina dimulai ketika ibu negara dan sanak saudaranya ikut campur dalam urusan pemerintahan. Sebagai anak kalangan biasa yang sempat menjadi ratu kecantikan, Imelda Romualdez Marcos ternyata tidak mampu membendung perasaan ingin menonjol. Bukan saja keinginan untuk sekadar menonjol di bidang kenegaraan, tetapi juga mengumpulkan harta agar tercantum namanya di deretan manusia terkaya di dunia terbitan sebuah majalah terkemuka. Ulah Imelda ternyata kurang berkenan di hati rakyat jelata. Justru ketika berlangsung upacara pemberian gelar akademis tertinggi sebagai kehormatan pada suaminya di Universitas Filipina pada 1977, banyak graduates yang memboikot jalannya wisuda. Bahkan, di luar kompleks rektorat tempat upacara, ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan penguasa dilontarkan kumpulan mahasiswa yang sedang "kirab" mengelilingi tempat upacara. Ikut campur tangannya para anggota keluarga dalam pemerintahan seorang ambisius yang bijaksana, ternyata, mengguncang takhta. Penghapusan jam malam pada 1981 ternyata tidak bisa mendinginkan dendam rakyat. Pembuatan Marcos Highway di kawasan Mindanao Utara tidak juga memadamkan perlawanan kaum selatan. Kesadaran Marcos bahwa daerah yang sering ditelantarkan bisa memercikkan api perpecahan tidak bisa lagi diganti dengan perbaikan ekonomi. Daerah pinggiran atau di luar pulau pusat kekuasaan, yang sering kurang tersentuh program pembangunan yang bersifat sentralistis, memang berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya kecemburuan sosial. Upaya perbaikan setengah-setengah sering dianggap sebagai gula-gula bagi orang yang sudah kenyang. Kekecewaan sudah tidak mungkin lagi terelakkan. Kekuasaan yang mengumpul di satu tangan selalu melahirkan seorang tiran. Pada saat itu dia melambung bagaikan balon yang lepas ikatan, terbang mengawangmelampaui daerah hampa udara. Daya tarik bumi tidak mampu lagi menariknya kembali menjejak tanah. Semakin tinggi balon melambung, semakin besar kemungkinannya pecah akibat tekanan kiri-kanan. Lantaran terlalu tinggi, pecahannya tidak lagi sempat diterima bumi. Tragis memang. Seorang presiden yang sebenarnya telah berusaha berbuat banyak bagi negaranya, ternyata, tidak diterima untuk berbaring selama-lamanya dengan damai di tanah kelahirannya. Ini bukan hanya terjadi pada Marcos, tetapi hampir terhadap semua mantan presiden. Hampir tidak pernah ada keinginan dari mantan presiden yang seratus persen dikabulkan penggantinya. Meskipun itu sekadar tempat peristirahatan terakhir. Mungkin ada anggapan, paling tidak di hati yang sedang berkuasa, kalau semua keinginan mantan presiden dikabulkan, itu hanya menunjukkan kelemahan. Justru bagi kelompok yang baru berkuasa, kelemahan, atau apa pun yang bisa terkesan kelemahan, perlu dihindarkan. Apalagi kalau pemimpin sebelumnya lebih vokal atau bersifat tiran. Itu sebabnya mengapa alasan yang dikemukakan Cory Aquino perlu dilihat bukan hanya dari kaca mata kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini