HAKIM Mohammad Rey Shari mengadilinya selama dua hari saja.
Sadeq Ghotbzadeh, 46 tahun, terdakwa yang tidak didampingi
pembela, diberondong dengan berbagai pertanyaan dan tuduhan.
Ghotbzadeh akan melakukan makar, menggulingkan pemerintahan yang
sah.
Komplotannya sudah siap dengan senjata artileri jarak jauh
untuk menghancurkan rumah Ayatullah Khomeini di Qom. Dia juga
dituduh telah menerima sejumlah uang (US$ (0.000) sebagai "uang
balas jasa" atas sikapnya di bulan Juni 1980.
Waktu itu, Ghotbzadeh masih Menteri luar Negeri Iran, yang
menghalangi tuntutan kaum militan supaya 52 sandera Amerika yang
terkurung di gedung kedutaan besar mereka diadili sebagai
mata-mata, agen CIA. Banyak tuduhan lainnya yang tampaknya sulit
ditelusuri kebenarannya. Tapi, menurut kantor berita Iran,
Ghotbzadeh mengakui tuduhan berniat menggulingkan pemerintahan
Republik Islam yang sekarang. "Tetapi bukan untuk membunuh Imam
Khomeini," kata Ghotbzadeh sambil menunjuk ke potret sang
ayatullah yang terpampang di ruang pengadilan di penjara vin,
sebelah utara Teheran.
Berjenggot dan kini tampak lebih gemuk, Ghotbzadeh menambahkan
"Saya tetap percaya kepada beliau, tetapi tidak kepada yang lain
yang akan menghancurkan negara dan Islam." Dua hari kemudian, 16
September, Sadeq Ghotbzadeh, menjalani hukuman tembak. Dan
hilanglah tokoh yang menyuarakan pikiran dan prinsipnya yang
selalu kokoh.
Bagi dunia luar, Ghotbzadeh salah satu tokoh yang mencoba
meluruskan kembali jalannya revolusi Islam di Iran. Kalau memang
dia meyakini langkahnya untuk merombak rezim yang tak menentu di
Iran, imbalan bahaya yang akan dihadapinya, sudah pasti
disadarinya. Meski dia tidak berusaha melarikan diri, seperti
bekas Presiden Bani Sadr tahun lalu (atau memang ia tidak
mempunyai kesempatan), kematiannya tetap mengejutan. Pemerintah
Suriah --yang dalam perang Irak-Iran mendukung Iran
--mengeluarkan pernyataan marah, serelah Ghotbzadeh dieksekusi.
Aktivis mahasiswa di tahun 1953 ini pernah dipenjara dua kali di
bawah rezim Syah Reza Pahlevi. Ghotbzadeh kemudian minggat ke
Amerika Serikat dan sempat kuliah di Universitas Georgetown.
Ketika dia semakin gencar menghimpun kelompok anti-Syah
pemerintah AS merasa risi akan kehadirannya. Tahun 1962,
Ghotbzadeh diminta meninggalkan AS.
Ghotbzadeh pernah bergabung dengan Khomeini, baik di Irak maupun
di Prancis. Sejak tahun 1978 kesetiannya kepada pimpinan mullah
itu tidak pernah berkurang. Sampai di akhir hayatnya.
Bersama Khomeini dalam satu pesawat, Ghotbzadeh--yang kemudian
jadi anggota Dewan Revolusi--kembali ke Teheran. Jabatan yang
dipegangnya ialah Direktur Radio dan Televisi sampai November
1979. Ia menjabat Menlu ketika Bani Sadr berhasil menjadi
Presiden.
Ketika Bani Sadr berselisih paham dengan Partai Republik Islam
(PRI) yang dipimpin almarhum Ayatullah Behesti yang menguasai
suara Majlis (parlemen). Ghotbzadeh cenderung sependapat dengan
Presidennya. Karena gayan) a yang dianggap terlalu
kebarat-baratau, dia akhirnya dianggap sangat berbahaya. Dia
memang suka berdasi. Juni 1980, dia ditahan tapi kemudian
dilepas lagi.
Lebih-lebih setelah Bani Sadr berhasil melarikan diri (Juni
1981) Ghotbzadeh bagi golongan Islam fundamentalis dianggap duri
dalam daging. Dan dia tetap saja melancarkan kritiknya, seolah
beroposisi terhadap pemerintah. Presiden Iran Ali Khamenei, 41
tahun, pernah menandaskan bahwa tindakan pemerintah masih lemah
terhadap kaum oposisi. "Musuh mullah harus dibasmi habis,"
demikian Khamenei.
AKIBATNYA Februari lalu, Musa Khaibani, tokoh Mujahidin dari
kelompok sayap kiri bawah tanah dilerondong di rumahnya.
Pertengahan April lalu, Ghotbzadeh dan Ayatullah Kazem
Shariatmadari, 82 tahun, juga ditangkap. Shariatmadari dianggap
saingan bagi Khomeini. Pemerintah telah mencopot semua gelar
keagamaan, mengobrak-abrik rumah Shariatmadari di Qom dan
menutup perpustakaan berikut pesantrennya.
Tetapi nasib yang aneh meliput Ghotbzadeh, mungkin karena
tekanan Suriah. (Dia memakai paspor Suriah selama perlawatan
dulu). Yaitu setelah beberapa hari ditangkap, Ghotbzadeh dilepas
kembali. Sementara sekitar 40 orang pengikutnya masih disekap.
Shariatmadari juga kemudian cuma dikenakan tahanan rumah, tapi
mantunya, Ahmad Abbasi dan sekitar 70 orang pengikutnya, tetap
masuk penjara.
Mungkin karena pantang mundur (dan juga malu), Ghotbzadeh
kemudian menantang: "Tangkap dan adili, atau bebaskan saya."
Permintaannya ini dikabulkan. Dia ditangkap, diadili dengan
cepat dan dieksekusi. "Iran sudah menjadi kuburan massal,"
demikian pendapat Bani Sadr di Paris, "dan merekasemakin haus
darah."
Dalam keadaan inflasi di atas 50% dan tabungan tinggal sekitar
US$ 1 milyar -- dibanding dua tahun lalu masih US$ 14,5
milyar--ekonomi Iran tetap tidak menentu. Yang berjalan cuma
balas dendam dan hukuman mati.
Diduga Shariatmadari tak akan dibawa ke pengadilan, karena
selain telah uzur, juga sakit-sakitan. Kemungkinan besar Ahmad
Abbasi mendapat giliran setelah Ghotbzadeh. Selama Ayatullah
Khomeini menguasai Iran 3 tahun, kabarnya sekitar 8.000 orang
menjalani hukuman mati. Di samping itu, sekitar 40.000 orang
meringkuk dalam penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini