SEBUAH mobil antipeluru, dikawal ketat oleh polisi yang
bersenjata otomatis, memasuki pintu samping istana Vatikan.
Yasser Arafat, pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina)
langsung dijemput Monsignor Juliusz Paetz, sekretaris Paus. Ia
dibawa ke ruang pertemuan di sebelah Aula Paulus VI. Mengenakan
setelan hijau lumut dan keffieh (penutup kepala yang khas itu)
tapi kali ini tidak menyelipkan pistol di pinggang seperti
biasanya -- Arafat menemui Paus Johanes Paulus 11.
Kedatangannya, yang 7 menit lebih awal dari acara, didampingi
Ahmed Soudki Dajani dan Hana Nasser, anggota komite eksekutif
PLO. Paus, yang mengenakan jubah dan tutup kepala (sol deo)
putih, menyalami ketiga tamunya. Kemudian pemimpin Gereja
Katolik itu mengajak Arafat berbicara empat mata. Pertemuan
kedua pemimpin itu--dalam bahasa Inggris--berlangsung tidak
lebih dari 25 menit. Tepat 35 menit setelah memasuki istana,
Arafat meninggalkan Vatikan, diikuti 10 mobil pengawal.
Kelihatannya agak di luar kebiasaan, bahwa Paus tidak menerima
tamunya di perpustakaan istananya. "Toh ini tidak mengurangi
arti penting pertemuan itu," kata Pierfranco Pastore, jurubicara
Tahta Suci. Kebetulan, acara Paus setiap Rabu ialah mengadakan
audiensi umum di Aula Paulus VI. Dan pertemuan pekan lalu dengan
Arafat berlangsung seusai acara rutin itu.
KEJADIAN itu merupakan salah satu puncak keberhasilan diplomasi ù
PLO. "Setiap proses penyelesaian krisis Timur Tengah harus
mengarah kepada pengakuan terhadap hak setiap pihak." Begitu
pernyataan Paus Johanes Paulus 11 kemudian untuk pers. Pemimpin
tertinggi Gereja Katolik--yang tidak memberi pengakuan resmi
baik bagi PLO maupun Israel--menyerukan agar dilakukan dialog
antara Israel dan Palestina. "Penyelesaian damai tidak mungkin
terwujud lewat senjata dan tindakan kekerasan, termasuk
terorisme dan balas dendam," kata Paus yang pernah luput dari
usaha pembunuhan 2 tahun silam.
Paus juga menyerukan bagi internasionalisasi kota Yerusalem yang
kini digenggam Israel. "Hak penganut agama Kristen, Yahudi dan
Islam harus diakui di Yerusalem," kata Paus, kelahiran Polandia,
dalam bahasa Italia. "Seharusnya ada jaminan yang diakui, bahwa
kota itu merupakan warisan suci bagi semua orang untuk menyembah
Tuhan, meditasi dan mempererat persaudaraan,' tambahnya.
Arafat pergi ke Vatikan dalam rangka kunjungannya 3 hari di
Italia. "Pertemuan dengan Paus merupakan titik balik bagi PLO
untuk memperoleh simpati dunia," kata Ibrahim Ayad, seorang
pasti bangsa Palestina, pemimpin terkemuka Gereja Katolik di
Libanon beberapa hari sebelumnya.
Baik Paus maupun Arafat--sebelum bersua--saling mengecam keras
pembunuhan Presiden terpilih Libanon, Bashir Gemayel.
"Pembunuhan itu merupakan kelanjutan rencana Israel memerangi
bangsa Palestina dan Libanon," kata Arafat setibanya di lapangan
militer Italia, Ciampino. Kecaman Paus tercermin dalam "kawat
duka" yang dikirimnya kepada Presiden Libanon Elias Sarkis.
PM Menachem Begin, dalam sidang kabinet Israel dua hari sebelum
pertemuanPaus -Arafat, mengecam keras Vatikan. Ia menuduh Paus
tidak netral lagi dalam krisis Timur Tengah. Kecaman Israel pun
menjadi berkepanjangan. Menurut Begin, Gereja Katolik tidak
bertindak terhadap kekejaman Nazi dalam Perang Dunia 11 atas
orang Yahudi. Vatikan, katanya, juga bungkam terhadap "tindakan
kejam" orang Palestina.
"Pertemuan Paus-Arafat pada dasarnya cuma mengangkat nama dan
derajat Arafat. Ini merugikan proses perdamaian yang dianjurkan
Paus," demikian komunike Kementerian Luar Negeri Israel pula.
Bahkan Eliahu ben Elissar, Ketua Komite Luar Negeri Parlemennya
ikut mengancam bahwa Israel tidak akan melindungi benda suci dan
tempat ziarah orang Kristen di sana.
Tahta Suci membalasnya dengan komunike yang tidak kalah
pedasnya: "Vatikan tidak dapat berdiam diri melihat pelanggaran
keji atas kebenaran." Pusat Gereja Katolik itu juga mengingatkan
Israel, bagaimana gereja telah mengulurkan tangan bagi ribuan
orang Yahudi baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia 11.
Sebagai contoh, komunike itu mengingatkan kunjungan Paus Johanes
Paulus 11 ke Auschwitz dan bahwa ia pernah mengecam tindakan
keji Nazi yang memusnahkan orang Yahudi.
Arafat di Roma juga menemui Presiden Italia Sandro Pertini,
walau hanya dalam jamuan makan siang di Istana Quirinal.
Pembicaraannya dengan Menlu Emilio Colombo menelurkan janji
Italia yang akan mengucapkan pengakuan timbal-balik bagi
Palestina dan Israel.
Di Konperensi ke-69 Organisasi Antar-Parlemen, Arafat naik ke
mimbar dan menyerukan dunia untuk menekan Israel demi
terwujudnya negara Palestina. "Saya datang sebagai utusan
perdamaian yang mendambakan negara demokrasi Palestina lewat
jalan damai," katanya. Dia menerima tepuk tangan panjang dalam
konperensi di Roma itu. Delegasi Israel buru-buru angkat kaki
meninggalkan ruangan konperensi tatkala pemimpin PLO itu masuk.
Misi Arafat ke Roma itu dianggap benar-benar prestasi politik
dan diplomatik yang cemerlang - setelah pidatonya di sidang
Majelis Umum PBB 1974. Datang dengan pesawat khusus Kerajaan
Maroko, Boeing 727, Arafat disambut oleh 20 dubes negara Arab
dan negara Dunia Ketiga lainnya. Ikut menyambut pula, Uskup
Hilarion Capuci, Uskup Agung Katolik Yunani di Yerusalem yang
pernah dipenjarakan Israel gara-gara ia mengirim persenjataan
bagi PLO.
Tapi pemimpin PLO itu pekan lalu buru-buru meninggalkan Roma
menuju Damaskus, Suriah. Ia membatalkan rencananya mengunjungi
beberapa negara Eropa. Soalnya, Israel telah memasuki Beirut
Barat (lihat: Laporan Utama).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini