Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Simalakama bagi Obama

Barack Obama kembali memindahkan 55 tahanan keluar dari Guantanamo. Alih-alih jadi senjata menjelang pemilihan presiden, malah jadi bumerang.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPUCUK surat mendarat di meja Omar Farah, pengacara dari Guantanamo Global Justice Initiative, lembaga nirlaba yang mengadvokasi hak para tahanan khusus teroris yang dipenjara di Teluk Guantanamo, Kuba, Jumat dua pekan lalu. Berkop surat resmi Departemen Kehakiman Amerika Serikat, surat itu tertanggal hari yang sama.

Tanpa mau lama-lama, Omar membuka dan membaca isi surat yang tertuju untuknya. Baru setengah jalan, ia sudah riang bukan kepalang. "Tak disangka. Ini kemajuan penting dalam gerakan advokasi para tahanan Guantanamo," katanya.

Omar pantas bahagia karena isi surat tiga halaman itu memberitahukan kepadanya soal rencana pelepasan 55 pesakit­an dari penjara spesialis tersangka teroris itu. Ia makin ria: pemerintah meyakinkan, atas perintah pengadilan, menghapus kerahasiaan puluhan nama tahanan itu. Artinya, kata dia, "Kini para pembela bisa mewakili para tahanan dengan nama yang jelas di pengadilan. Tinggal satu langkah lagi untuk bisa membebaskan mereka."

Sehari setelah surat-surat pemberitahuan itu disebar ke kalangan aktivis hak asasi manusia, Gedung Putih memberi keterangan pers. Menurut salah seorang anggota staf khusus Presiden Barack Obama untuk urusan Guantanamo, Daniel Fried, pembebasan dan pemberitahuan nama para tahanan memang sudah saatnya. Meski begitu, dia mengakui tindakan ini terlambat karena seharusnya terjadi tiga tahun lalu sejak Obama memerintahkan CIA menutup Guantanamo dalam waktu satu tahun.

"Selain karena kondisi keamanan yang tidak terprediksi, kesulitan lain adalah mencari negara yang mau menampung bekas pesakitan Guantanamo. Tapi kini itu sudah tidak lagi menyulitkan," ujar Fried. Terhitung sejak 2009, ia mengklaim sudah berhasil memulangkan 28 pesakitan ke negara asal dan 44 orang dipindahkan ke negara lain di luar Amerika.

Guantanamo semacam kutukan bagi pemerintah Abang Sam. Sejak pendiriannya pada Januari 2002, kehadiran penjara ini seperti duri dalam daging di setiap pemerintahan. Penjara yang berdiri di atas lahan 116 kilometer persegi di Provinsi Guantanamo, Kuba, ini pernah jadi salah satu penyebab merosotnya kepopuleran pendirinya, Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Sekarang bui ini juga jadi beban anggaran bagi pemerintah Obama.

Maklum, Guantanamo adalah penjara termahal yang pernah dimiliki Amerika. Tahun ini saja, menurut Departemen Keuangan Amerika Serikat, pemerintah telah menghabiskan US$ 140 juta atau setara dengan Rp 1,3 triliun untuk pemeliharaan, pengamanan, dan pemenuhan segala kebutuhan penghuni penjara. Itu artinya para pembayar pajak di Amerika Serikat turut membiayai kebutuhan setiap tahanan yang mencapai Rp 7,6 miliar per tahun. "Warga negara Amerika belum tentu rela mengeluarkan uang sebesar ini," kata rival Obama dalam pemilihan presiden November mendatang, Mitt Romney.

Dulu, saat kampanyenya untuk merebut kursi presiden dari tangan Bush, Obama memakai isu Guantanamo sebagai senjata pamungkas. Namun sekarang ini justru jadi bumerang. Romney tak henti mencerca Obama soal borosnya pengeluaran untuk pemeliharaan Guantanamo. "Setelah ratusan juta dolar dihabiskan, lantas akan ditutup? Itu jelas sebuah keputusan yang sangat buruk," kata Romney dalam pidatonya di Konvensi Partai Republik di Tampa, Florida, Agustus lalu.

Serangan lain datang dari para pakar keamanan Amerika Serikat. Salah satunya ahli hukum terorisme dari Sekolah Hukum Universitas Saint Mary, Jeffrey Addicot, yang mengatakan keputusan melepaskan 55 tahanan sembari mengungkap identitas mereka adalah kesalahan fatal pemerintah Obama. Sebab, keputusan itu diambil di saat Amerika sedang berada dalam kecaman warga banyak negara gara-gara film Innocence of Muslims, yang dinilai menghina umat Islam dunia.

"Pembebasan ini dikhawatirkan berdampak pada peningkatan teror terhadap Amerika di masa mendatang," kata Addicot. Ia lantas mencontohkan seorang alumnus Guantanamo, Sufyan bin Qumu. Dia disebut dalang penyerangan atas kantor konsulat Amerika Serikat di Benghazi, Libya, pertengahan September lalu, yang menewaskan Duta Besar J. Christopher Stevens.

Obama memang kian terjepit dalam soal Guantanamo. Tahanan dibebaskan salah, tetap dikurung pun salah. Alih-alih mendapat pujian, presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat itu malah tak habis dirajam kritik. "Pembebasan ini cuma keberhasilan parsial dari perjuangan membebaskan semua tahanan dari penjara Guantanamo," kata Zachary Katznelson dari American Civil Liberties Union, lembaga pembela tahanan Guantanamo.

Sedangkan Suzanne Nossel, Direktur Amnesty International Amerika Serikat, terus mendesak pembebasan segera semua tahanan Guantanamo. Menurut dia, penahanannya sendiri sudah melanggar hak asasi manusia. "Obama itu tak beda pandai berbohongnya dengan Bush. Janji menutup pada 2009, saat ini masih saja ada yang ditahan. Apabila masih belum menutup total, Obama akan diperingati sebagai presiden yang ingkar janji Amerika Serikat," katanya.

Bagi Obama, Guantanamo tak ubahnya seperti buah simalakama.

Sandy Indra Pratama (New York Times, Examiner, Closeguantanamo.org, Economist)


Hambali Tak Ikut Kembali

ENCEP Nurjaman adalah lelaki yang lahir dan tumbuh di Desa Sukamanah, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ia anak kedua dari 12 anak yang terlahir dari pasangan suami-istri Ending Isomudin dan Eni Maryani 46 tahun lalu.

Kalem dan penurut. Itu serpihan kecil kenangan yang paling diingat keluarga tentang sosok Encep. Selebihnya, kehidupan pria yang sedari kecil tumbuh di lingkungan pesantren seperti saudara-saudara di kampungnya itu adalah misteri.

Sejak 1983, ia merantau ke Malaysia, kemudian berlanjut ke Afganistan. Kala itu, identitas Encep Nurjaman lantas terkubur dan berganti nama menjadi Hambali. Nama asing itu lalu kembali ke tengah keluarga dengan cabuh. Encep ditangkap di Ayutthava, Thailand, sekitar 75 kilometer sebelah utara Bangkok, memegang paspor Spanyol atas nama Riduan Isamuddin pada 11 Agustus 2003.

Keluarga sempat tak mengakui jati diri Hambali. Namun, lantaran sepucuk surat yang dikirimkan Encep dari balik terali penjara Guantanamo pada 2006, mereka pun menerima. Encep adalah mantan buron yang paling dicari, gara-gara tuduhan terlibat aksi teror di beberapa negara. "Dia dituduh banyak mendalangi aksi, termasuk terlibat peristiwa 11 September," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai saat bertandang ke kantor Tempo, tiga pekan lalu.

Kini, berbilang tahun sejak Hambali tertangkap dan dijebloskan di penjara khusus teroris di Teluk Guantanamo, Kuba, harapan akan kepulangannya muncul kembali. Pemerintah Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Barack Obama pada 2009, mendeklarasikan penutupan penjara kontroversial itu. Banyak tahanan sudah dipulangkan. Dari total 779 pesakitan yang pernah dijebloskan, kini tersisa 167 orang. Kabar terakhir, 55 orang dari 167 yang tersisa itu juga akan dipindahkan dari penjara Guantanamo. Lalu apakah Hambali ada dalam rombongan yang akan dipindahkan atau mungkin dikembalikan ke Indonesia?

Upaya pengembalian Hambali pernah dicoba pemerintah dan otoritas keamanan Indonesia beberapa kali. Bahkan, pada 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri yang melobi pemerintah Abang Sam untuk memulangkan Hambali. Namun hasilnya nihil.

Kabar paling anyar soal Hambali diterima Tempo pada Rabu malam pekan lalu. Juru bicara Departemen Kehakiman Amerika, Dean Boyd, menjawab langsung pertanyaan soal status Hambali di Guantanamo. Dalam surat elektroniknya, Boyd menyatakan, "Hambali tidak masuk daftar 55 tahanan yang akan dipindahkan dari Guantanamo. Ia masih ditahan di sana."

Sandy Indra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus