Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti sudah kuat diduga, pidato Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bernada keras terhadap Iran. Kamis pekan lalu waktu New York, di depan ratusan peserta sidang, wakil dari negara-negara anggota PBB, Netanyahu menggambar garis merah tegas pada gambar bom dengan sumbu tersulut—gambar di atas karton yang dilipat dua seperti map—tepat di bawah bagian leher bom. "Garis merah" pada diagram itu menunjukkan tahap pengembangan nuklir di Iran antara batas "tahap kedua" dan "tahap akhir".
"Waktunya sudah dekat, sangat dekat," Netanyahu memperingatkan bahwa Iran segera sampai pada tahap akhir pengayaan uranium, yang bisa digunakan untuk membuat bom nuklir. Pada pertengahan 2013, menurut dia, Iran sudah siap masuk tahap akhir dan, dalam beberapa minggu hingga paling lama beberapa bulan setelah itu, bom nuklir pun sudah siap. "Kita harus menetapkan ‘garis merah’ dalam program nuklir Iran," Netanyahu menegaskan.
Ia mengajak negara-negara dunia menjegal upaya Iran sebelum terlambat. Menurut dia, Iran, sebagai negara yang sudah malang-melintang mendukung aksi terorisme, akan segera memiliki senjata nuklir yang bisa digunakan untuk mempersenjatai jaringan teroris. "Bila itu terjadi, tak ada negara yang merasa aman," katanya. "Negara paling berbahaya di dunia tak boleh mempersenjatai diri dengan senjata yang paling berbahaya."
Pidato keras di depan forum resmi dunia itu jelas bukan tanpa prakondisi. Sudah sejak Revolusi Iran 1979, yang menjadikan negara Persia itu sebagai Republik Islam, hubungan Iran dan Israel berubah buruk—ketika Iran diperintah Syah Pahlevi, Israel dan Iran berhubungan baik. Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini, menyebut Israel "setan kecil" dan Amerika Serikat "setan besar". Hubungan kedua negara semakin buruk sejak Mahmud Ahmadinejad—loyalis Khomeini, mantan serdadu Garda Republik—menjadi presiden sejak 2005. Dan sejak 1991, Israel yakin benar, Iran sedang mengembangkan senjata nuklir dalam proyek nuklirnya.
Peran Iran dalam percaturan politik Timur Tengah, seperti mendukung perjuangan Hamas di Palestina serta Hizbullah di Libanon dengan persenjataan dan uang, menjadi pemicu kegeraman Israel dari waktu ke waktu. Saling serang antara Hamas dan Israel di Gaza, serta antara Hizbullah dan Israel di Libanon Selatan, bak "ritual kekerasan" di Timur Tengah.
Eskalasi ancaman terhadap Israel makin tinggi setelah gelombang revolusi Musim Semi Arab, yang mengubah Mesir sebagai penjamin keamanan Israel di Timur Tengah, menjadi potensi penentang. Naiknya Muhammad Mursi, yang berafiliasi dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, membuat Mesir tak seramah dulu terhadap Israel. Mursi secara terbuka mendukung Hamas, juga melonggarkan pengawasan di perbatasan Mesir dengan Gaza.
Belum lagi Suriah, negara yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad, teman baik Iran, yang masih bergolak dan siap meledak. Israel belum dapat memastikan seberapa besar dampak pergolakan di Suriah mengancam keamanan Israel. Sedangkan jaringan Al-Qaidah di Libya dan Irak yang mulai menguat membuat beban ancaman atas negara Yahudi di Timur Tengah itu semakin besar.
Adapun hal yang paling menghantui adalah kelanjutan program nuklir Iran. Laporan Badan Atom Internasional bulan lalu menemukan Iran telah melakukan pengayaan uranium dengan kadar tinggi. Iran juga menggunakan bunker tahan serangan udara sebagai laboratoriumnya. Netanyahu mengklaim informasi intelijen menguatkan temuan itu.
Seorang pejabat tinggi Israel yang tak mau disebut namanya mengatakan kepada harian Haaretz, ancaman nuklir Iran kali ini lebih serius ketimbang situasi Perang Enam Hari pada 1967—ketika negara-negara Timur Tengah bersama-sama memusuhi dan menyerang Israel. "Pedang yang mengancam di leher kami jauh lebih tajam dibanding pedang ketika Perang Enam Hari," kata pejabat Israel itu.
Maka tak mengherankan bila tokoh garis keras seperti Netanyahu sudah gatal ingin menyerang Iran. Ketika bertemu dengan beberapa pemimpin dunia selama tiga hari berkunjung ke New York pada masa Sidang Majelis Umum PBB, Netanyahu menyatakan Israel bisa jadi akan menyerang Iran sendiri, tanpa dukungan negara lain. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon juga mendapat "ancaman" serupa dari Netanyahu.
Usaha Netanyahu meyakinkan bahwa nuklir Iran semakin membahayakan sehingga perlu intervensi militer untuk menghentikannya itu tidaklah main-main. Harian dengan peredaran terbesar di Israel, Yedioth Ahronoth, pada pertengahan Agustus lalu menyebutkan, "Netanyahu dan Barak (Menteri Pertahanan Ehud Barak) telah memutuskan menyerang Iran pada musim gugur ini."
Atmosfernya juga mendukung. Militer Israel membuat kejutan dengan menggelar latihan di Dataran Tinggi Golan, Rabu pagi dua pekan lalu. Padahal hari itu adalah dua hari usai libur tahun baru Yahudi. Ratusan tentara dan artileri dikirim dengan helikopter. Seorang pejabat militer Israel mengatakan gelar pasukan ini merupakan bagian dari latihan rutin. Menurut pejabat lainnya, latihan ini persiapan atas eskalasi ancaman dari Iran dan Suriah.
Sumber-sumber militer mengatakan latihan yang lebih besar telah digelar pada empat pekan sebelumnya. Gelar pasukan ini dilakukan di sepanjang perbatasan Libanon. "Ini bukan kebetulan. Kami ingin menguji kesiapan unit pertahanan tentara Israel," kata Kepala Staf Militer Israel Letnan Jenderal Benny Gantz.
Akhir bulan lalu, pemerintah Israel berencana menambah anggaran untuk pertahanan 8,3 miliar shekel atau sekitar Rp 20,2 triliun dari anggaran yang sudah ditetapkan tahun ini, 55,7 miliar shekel (Rp 136 triliun). Usul ini sedang digodok di komite anggaran. Bahkan anggaran penelitian dan pengembangan persenjataan juga ditingkatkan menjadi 995 juta shekel dari 760 juta shekel tahun sebelumnya. Alasannya, untuk mengantisipasi meningkatnya ancaman dari Mesir, Suriah, Yordania, Irak, Hizbullah di Libanon, dan nuklir Iran.
Di kancah politik dalam negeri Israel, Netanyahu juga bergerak agresif. Menurut The Economist, dia sering bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat di negerinya untuk adu argumentasi dan menekankan perlunya menyerang Iran. Awal Agustus lalu, dia muncul dalam siaran jam tayang utama di stasiun televisi nasional untuk berbicara kepada warganya. Dia mengatakan, di setiap negara demokrasi, keputusan berperang ditentukan oleh pemerintah yang terpilih, dan tentara wajib menjalankannya dengan patuh. Sang pemimpin negara Israel memang menyatakan belum memutuskan menyerang Iran, tapi hal itu pasti akan dia lakukan bila keadaan mengharuskan.
Kepada abangnya, Israel juga gencar merayu agar mendapat dukungan tanpa syarat. Israel melobi pejabat dan orang berpengaruh di Negeri Abang Sam. Wakil Komite Hubungan Masyarakat Amerika-Israel (AIPAC) dikirim untuk mendekati anggota Kongres dan senator Yahudi di Amerika Serikat. Mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon turun tangan untuk meyakinkan Washington.
Bahkan Netanyahu berusaha "menyelundupkan" agendanya ke dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat, November mendatang. Yang menjadi sekutunya adalah pesaing Barack Obama dari Partai Republik, Mitt Romney. Juli lalu, Romney berkunjung ke Yerusalem. Di kota tua yang sakral itu, dia berjanji mendukung Israel tanpa syarat dalam hal menghentikan nuklir Iran. Dia juga mengkritik pihak-pihak di Amerika yang menolak hubungan kuat antara Amerika dan Israel. Kepada AFP setelah pidato Netanyahu di Majelis Umum PBB, Romney mengatakan, "Saya sepenuhnya mendukung Perdana Menteri Netanyahu."
Netanyahu juga tampil dalam iklan kampanye Romney di Negara Bagian Florida. Iklan itu menyindir ketidaktegasan Amerika Serikat terhadap Iran yang bisa membahayakan dunia. Semakin lama, Iran semakin dekat dengan bom nuklir. "Jika Iran tak diberi ‘garis merah’, tidak ada tenggat, apa yang akan ia (Obama) lakukan? Dunia membutuhkan kekuatan Amerika," kata Netanyahu.
Romney pun mengecam penolakan Obama bertemu dengan Netanyahu selama dia berada di New York. Romney menggambarkan Obama seperti "membuang Israel ke bawah kolong bus". Dan, memang, Obama tidak bersedia bertemu dengan alasan sibuk mempersiapkan pemilihan pada 6 November mendatang. Namun Obama sedikit berubah setelah pidato keras Netanyahu. Dia berjanji menelepon Netanyahu pada Jumat pekan lalu.
Benar kata Bibi—panggilan Netanyahu—bahwa "waktu sudah dekat, sangat dekat". Israel memang sudah bersiap menyerang Iran, meski tanpa dukungan Amerika. Menteri Ehud Barak—tokoh yang lebih punya hubungan baik dengan Obama dibanding Netanyahu—telah membuat kalkulasi itu.
BB, Eko Ari Wibowo (AP, Reuters, Christian Science Monitor, Daily Beast, Haaretz)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo