Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan mobil dan ratusan sepeda motor menyeÂsaki jalan menuju sebuah rumah paling megah di Kelurahan Lepo-Lepo, Kendari. Jumat, 30 Agustus lalu, tuan rumah, Bupati Kolaka Buhari Matta, punya hajatan. Ia akan mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur Sulawesi Tenggara. Pagi itu, ribuan pendukungnya datang dari berbagai penjuru, bersiap mengantarnya ke kantor Komisi Pemilihan Umum.
Sebelum berangkat, Buhari tampil di depan massanya. Selain meminta dukungan, dia menyatakan optimistis bakal menang dalam pemilihan yang digelar November mendatang itu. "Dengan dukungan segenap warga, saya siap memimpin," katanya.
Buhari menggandeng Amirul Tamim, Wali Kota Bau-Bau, sebagai pendampingnya. Koalisi enam partai yang dimotori Partai Persatuan Pembangunan menyokong pasangan kandidat ini. Beberapa pekan terakhir, tim sukses Buhari-Amirul makin sering wira-wiri ke berbagai tempat di Sulawesi Tenggara "mengkampanyekan" kehebatan calon mereka.
Tapi sesungguhnya jalan Buhari belum mulus. Meski dia disokong koalisi partai, ada kerikil yang bisa membuatnya terpelanting. Sejak 30 Juni 2011, Kejaksaan Agung menetapkan Buhari sebagai tersangka kasus korupsi bersama Direktur PT Kolaka Mining International Atto Sakmiwata Sampetoding. Menurut jaksa, korupsi dalam penjualan nikel kadar rendah itu membuat negara rugi Rp 29,95 miliar.
Menjelang pemilihan gubernur, soal dugaan korupsi Buhari ini makin gencar diungkit-ungkit. Agustus lalu, misalnya, dua kelompok pengunjuk rasa mendatangi Kejaksaan Agung. Mereka adalah Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat Sulawesi Tenggara dan Komite Aksi Mahasiswa Pemuda untuk Reformasi dan Demokrasi. Keduanya mendesak Kejaksaan Agung segera menuntaskan penyidikan kasus korupsi yang menggantung lebih dari setahun itu.
Buhari menyangkal terlibat korupsi. Kata dia, penjualan bijih nikel sebesar 220 ribu ton itu sesuai dengan prosedur. Dia menyebutkan kasus itu sengaja diembuskan musuh-musuhnya menjelang pemilihan gubernur. "Itu bagian dari pembunuhan karakter," ujarnya kepada Tempo, yang menemuinya beberapa waktu lalu.
Kasus yang membelit Buhari bermula pada 2010, seiring dengan berakhirnya kerja sama penambangan PT Inco Tbk dan PT Aneka Tambang di Blok Pomalaa, sekitar 30 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Kolaka. Di masa produksi, sejak 1994, setiap tahun tambang seluas 8.314 hektare itu menghasilkan 1,02 juta ton nikel kadar tinggi (saprolite), 2,5 juta ton nikel kadar rendah (limonite), dan 9,4 ribu ton feronikel.
Ketika kerja sama kedua perusahaan berakhir, di bekas blok tambang itu tersisa nikel kadar rendah sebanyak 274 ribu ton. Nah, bijih nikel mentah itu jadi incaran pemerintah setempat. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Kabupaten Kolaka meminta izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memanfaatkan bijih nikel itu. "Jawabannya, pengelolaan nikel diserahkan kepada Kabupaten Kolaka," kata Kepala Bagian Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Kabupaten Kolaka Ishak Nurdin.
Pada 25 Juni 2010, Presiden Direktur PT Inco Clayton Allen Wenas dan Buhari Matta meneken naskah serah-terima pemanfaatan nikel 222 ribu ton bijih nikel. Naskah itu, antara lain, menyebutkan penyerahan nikel tersebut bagian program corpoÂrate social responsibility PT Inco.
Tiga hari kemudian, 28 Juni 2010, pemerintah Kolaka membuat perjanjian jual-beli nikel dengan PT Kolaka Mining International. Pemerintah Kolaka diwakili Buhari, sementara PT Kolaka diwakili Atto Sakmiwata Sampetoding. Kedua pihak sepakat menjual nikel kadar rendah itu seharga US$ 10 per ton.
Bagi PT Kolaka, ini proyek jumbo pertama yang mereka peroleh. Berdasarkan akta notaris yang diperoleh jaksa, PT Kolaka Mining International berdiri pada 4 Mei 2010. Ketika meneken perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten, PT Kolaka bahkan belum berbadan hukum. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan itu masih menunggu pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Bau amis pun segera meruyak beberapa bulan setelah kontrak diteken. Sekelompok warga Kolaka mengadu ke pusat. Mereka melaporkan kejanggalan kontrak jual-beli nikel itu ke Kejaksaan Agung. Penelusuran jaksa pun segera menemukan sejumlah kejanggalan.
Sumber di Kejaksaan Agung menuturkan dosa-dosa jual-beli itu. Nikel yang dijual ke PT Kolaka Mining, misalnya, tanpa persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemilihan PT Kolaka Mining pun tak melalui lelang. Masalah lainnya, harga nikel US$ 10 per ton ditentukan tanpa survei dengan membandingkan dengan harga pasaran dunia, tapi "diciptakan" agar pas dengan sisa kewajiban PT Inco kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka.
Sewaktu kasus ini dilaporkan, PT Kolaka telah menjual 191 ribu ton lebih nikel ke Cina. Adapun yang disetor ke kas daerah baru Rp 15,09 miliar. Kepada Pemerintah Kabupaten, PT Kolaka melaporkan bijih nikel mereka jual US$ 25-30 per ton. Tapi belakangan kejaksaan memperoleh bukti bijih nikel itu dijual lebih mahal, yakni US$ 37-60 per ton. Penyidik pun menyimpulkan: terjadi pengempisan (markdown) harga dalam penjualan nikel tersebut.
Penyidik menghitung selisih hasil penjualan yang tak dilaporkan sekitar Rp 28,34 miliar. Ditambah kewajiban royalti dan pajak yang seharusnya diterima Kabupaten Kolaka, sekitar Rp 1,6 miliar, maka, menurut penyelidik, negara rugi Rp 29,95 miliar.
Sejumlah "jerat" telah disiapkan kejaksaan untuk Buhari dan Atto. Mereka akan dibidik dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Kedua pasal ini berisi larangan memperkaya diri atau orang lain dengan cara merugikan negara dan menyalahgunakan wewenang. Ancaman hukumannya: penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun.
Sedikitnya sudah 17 saksi dipanggil kejaksaan untuk mengurai kasus ini. Mereka, antara lain, pegawai Pemerintah Kabupaten Kolaka, anggota staf bea-cukai, dan petugas bank. Kejaksaan memang menelisik aliran uang para tersangka. Adapun dua "aktor" utamanya, Buhari Matta dan Atto Sakmiwata, hingga kini belum diperiksa.
Sama seperti Buhari, Atto tidak ditahan. Saat didatangi di kantornya yang terletak di kawasan industri Makassar, seorang anggota staf Atto bernama Susi menyebutkan majikannya ke luar kota. "Bapak lebih sering di Jakarta," ujarnya. Di kawasan industri itu, sebuah perusahaan Atto, PT Kayu Meridian, berkantor satu atap dengan kantor PT Kolaka.
Kepada Tempo, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto memastikan kasus Buhari tidak dipetieskan. "Penyidikan masih berjalan, tunggu saja perkembangannya," katanya. Perihal belum diperiksanya Buhari, Kejaksaan Agung menunjuk syarat yang mesti mereka miliki. Syarat itu, kata Andhi, antara lain izin pemeriksaan dari Presiden.
Menurut sumber Tempo di Kejaksaan Agung, jaksa sebenarnya sudah mengirim surat permohonan izin agar bisa memeriksa Buhari pada 16 Maret lalu. Surat dikirim kepada Presiden melalui Menteri-Sekretaris Kabinet. Tapi, sejauh ini, izin Presiden itu tak kunjung turun.
Menteri-Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan belum bisa memastikan apakah surat jaksa itu sudah sampai ke mejanya atau belum. "Nanti saya cek lagi," ujarnya. Menurut Dipo, kalaupun suratnya sudah masuk, izin pemeriksaan Buhari akan turun setelah ada hasil pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara.
Ketua Kelompok Kerja Pencalonan Gubernur di KPU Sulawesi Tenggara, Eka Suaib, mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan kasus korupsi yang kini melilit Buhari. "Sepanjang memenuhi syarat administratif, tak ada alasan kami untuk menolaknya," ujar Eka.
Jajang J., Indra W., Aryani K., Rosniawanty F. (Kendari), Indra O.Y. (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo