Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Apa itu (sekali lagi) "bebas-aktif"?

Arti "bebas-aktif" menurut perumus politik luar negeri indonesia, mulai kabinet hatta dan natsir, kabinet sukirman dan wilopo, kabinet ali, harahap, ali, zaman sukarno dan zaman orde baru. (nas)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP perumus politik luar negeri Indonesia, sejak Hatta s/d Adam Malik, akan menyebut dua kata ini: "bebas" dan "aktif'. Di tahun 1948, misalnya, Bung Hatta di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) bicara dengan judul "Mendayung di antara dua karang". Waktu itu masalah "pro-Amerika" atau "pro-Rusia" nampaknya merupakan masalah nyata -- dan Indonesia tak ingin memihak. Netral? Tidak. Indonesia tak juga ingin pasif, tapi aktif. Dan "aktif", menurut Bung Hatta dalam tulisannya di tahun 1953, berarti berusaha bekerja giat ke arah terpeliharanya perdamaian dan meredanya ketegangan antara dua blok, melalui usaha-usaha yang sedapat mungkin didukung mayoritas anggota PBB. Kini Adam Malik, kurang-lebih 10 tahun berturut-turut jadi Menteri Luar Negeri, pun akan menyebut politiknya bebas dan aktif. Begitu pula para Menteri Luar Negeri lain sepanjang sejarah Republik. Hanya bagaimana itu"bebas dan-aktif" dalam pelaksanaannya agaknya tergantung dari kecenderungan tiap orang, dan juta keadaan zaman. Di bawah ini adalah ikhtisar gambaran politik luar negeri Indonesia sejak Kabinet Hatta:  KABINET HATTA Desember'49 - September'50 dan KABINET NATSIR (September '50 - April '51): Hubungan dengan Barat umumnya baik, tapi juga tak menolak hubungan dengan Blok Timur. Hatta mengirim delegasi ke Uni Soviet musim semi 1950. RRT yang baru setahun umurnya diakui. Dutabesar RRT diterima Hatta, meski belum ada duta Indonesia ke Peking. Natsir mengikuti pola ini. Baik Hatta maupun Natir menyatakan kepada Pilipina di Konferensi Baguio akhir 1950, bahwa Indonesia tak ingin jadi anggota blok regional yang anti-komunis dan pro-Barat. Namun Natsir menghalangi langkah di Parlemen untuk mengakui Ho Chi-Minh. Sementara itu, tawaran bantuan AS diterima, berupa pinjaman dan bantuan teknis ekonomis. Tapi bantuan militer AS ditolak. Di PBB, sebagai anggota baru, Indonesia abstain waktu resolusi mengutuk pihak komunis dalam Perang Korea sebagai "agresor". Sikap ini dikecam oleh partai-partai oposisi, yang menghendaki agar resolusi itu ditolak oleh Indonesia. PNI menganggap politik luar negeri Hatta dau Natsir gagal. Kepentingan nasional serta prestise Indonesia di dunia tak tercermin di situ.  KABINET SUKIMAN April '51 - April '52) dan KABINET WILOPO (April '52 - Juli '53): Kedua Perdana Menteri berkecenderungan memperkuat hubungan dengan Barat, meskipun pendukung mereka ingin melihat yang sebaliknya. Kedua Kabinet menunda pertukaran missi diplomatik dengan Uni Soviet. Tapi awal 1953 Parlemen mengeluarkan resolusi agar hubungan itu dilakukan dalam waktu setahun. Pertengahan 1951, Kabinet Sukiman menolak 16 pejabat kedutaan RRT untuk masuk Indonesia tanpa persetujuan lebih dulu dari Deparlu. Tapi pemerintah menunjuk seorang charge d'affaires (bukan dutabesar) ke Peking. Soal yang penting ialah soal RRT dan PBB. Dengan ditopang AS, PBB menyerukan embargo perdagangan terhadap RRT yang dicap sebagai agresor di Korea. Kabinet Sukiman ikut, meskipun Indonesia di PBB menyatakan abstain dalam resolusi embargo itu. Yang paling menyolok dalam masa Sukiman ialah terbongkarnya usaha pendekatan antara Dutabesar AS Cochrall dengan Menlu Ahmad Subardjo. Subardjo, begitu kabar di awal Pebruarl 1952, membuat ikatan dengan AS, sesuai dengan Mutual Security Act (MSA) yang menghendaki jaminan tertentu sebagai balasan terhadap bantuan AS. Kabinet Sukiman jatuh setelah terbongkarnya perundingan rahasia ini. Kabinet Wilopo yang menggantikannya mewarisi kesulitan perkara MSA itu, sementara para pendukungnya di kalangan PNI mendesak sikap baru dalam politik luar negeri -- kira-kira sama dengan desakan PKI. Desember 1952, Parlemen menyetujui suatu perjanjian baru dengan AS: bantuan akan diteruskan tanpa Indonesia menyatakan ikatan apa-apa sebagai imbalannya. Misi Militer Belanda yang ada di Indonesia dipulangkan, meskipun resolusi di Parlemen agar Irian Barat direbut dengan kekerasan berhasil dielakkan oleh pemerintah.  KABINET ALI (Juli 1953 - Agustus i955): Perbaikan hubungan dengan Uni Soviet dan RRT dilakukan, dengan pertukaran duta besar. Indonesia jadi tuan-rumah Konperensi Bandung yang terkenal itu di tahun 1955. Sikap A-A (Asia-Afrika) pun mulai nampak dalam masalah jajahan Perancis di Afrika, soal NATO dan SEATO, Indo Cina, dan krisis Timur Tengah: setidak-tidaknya di masa ini sikap lebih dekat ke suara Blok Timur ketimbang ke Blok Barat. Kabinet Ali pertama ini meningkatkan kampanye perebutan Irian Barat di PBB, dan menyesali pemerintah Taiwan, Vietnam Selatan dan Korea Selatan.  KABINET HARAHAP (Agustus 1955 - Maret 1956): hubungan dengan Barat membaik kembali lebih hangat. Kabinet ini adalah kabinet Masyumi dan PSI, sementara itu PKI dan PNI dalam oposisi. Tapi satu-satunya tindakan politik luar negeri yang terpenting di sini, usaha perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat, gagal. Kabinet ini mengembalikan mandatnya setelah Pemilu pertama 1955 selesai.  KABINET ALI Maret 1956 - April 1957): Pemilihan Umum memperlihatkan kemajuan kekuatan PNI dan PKI, meskipun golongan Islam masih merupakan jumlah yang kuat -- cuma terbagi dalam tiga partai besar. PSI kalah. Dengan perimbangan politik yang baru itu Ali Sastroamidjojo ditunjuk kembali sebagai Perdana Menteri. Di masa ini Uni Indonesia - Belanda dikuburkan. Hutang-hutang Indonesia pada Negeri Belanda juga dinyatakan tak berlaku. Usaha mengembalikan Irian Barat ditingkatkan di dalam dan di luar PBB. Indonesia berunding dengan Uni Soviet untuk pinjaman sebesar AS $ 100 juta dan berunding pula dengan RRT soal yang sama. Kabinet Ali menyatakan reaksi keras kepada agresi Inggeris-Perancis di Suez, meskipun tak menyatakan kritik waktu Uni Soviet "menindak" Hungaria. Kabinet Ali jatuh karena memburuknya hubungan antara pemimpin sipil dengan militer. Suasana politik begitu rupa hingga Presiden Sukarno bertindak: meninggalkan sistem parlementer Barat. Sejak saat itu. politik luar negeri Indonesia digariskan sendiri oleh Bung Karno, yang di tahun 1958 membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD '45 -- di mana Presiden tak lagi cuma "tukang stempel".  ZAMAN SUKARNO (1958-1966: Tahun-tahun awal masa ini diributkan oleh pemberontakan para perwira militer di daerah. Para pemberontak secara resmi dituduh menerima bantuan militer dari "kaum imperialis". 18 Mei 1958, pasukan pemerintah menembak jatuh pesawat yang dinaiki oleh Allan Lawrence Pope, warganegara AS, sebelumnya tentara dan berada di Pilipina serta Taiwan. Hubungan dengan Blok Barat, khususnya AS, tentu saja memburuk. Juga hubungan dengan Belanda. Usaha diplomatik untuk mengembalikan Irian Barat gagal, begitu pula tekanan lain yang berupa pengambil-alihan milik Belanda di Indonesia yang terjadi di bulan Desember 1957. Maka Bung Karno pun memutuskan menghadapi Belanda dengan senjata. Waktu negeri Barat menolak (tentu saja) melengkapi Indonesia dengan kapal terbang, kapal dan peralatan lain buat menyerang sebuah anggota NATO, Indonesia berpaling ke Uni Soviet Januari 1961 pinjaman untuk beli senjata ditandatangani. 1 Mei 1963, Irian Barat kembali. Masa ini juga merupakan masa meningkatnya kegiatan -- dan konon juga massa PKI. Antara Juli 1959 dengan April 1963, PKI mengklaim suatu kenaikan anggota dari 1,5 juta menjadi lebih dari 2 juta, sementara anggota organisasi massanya naik dari 7,8 juta sampai dengan 12 juta. Meskipun begitu, politik luar negeri tak jauh berbeda dari thema "bebas-dan-aktif" yang lama. Setelah Konperensi Non-Blok di Beograd September 1961, Presiden Sukarno berpidato di depan Majelis Umum PBB. Ia menyatakan salah pandangan yang melihat bahwa dunia cuma terbagi dua sebab ada kekuatan ketiga, yaitu kekuatan Non-Blok. Namun pandangan Bung Karno ini berubah kemudian, bersamaan dengan masuknya Indonesia dalam "konfrontasi" dengan Malaysia. Dalam Konperensi Kairo tahun 1964, Bung Karno mencanangkan "Era Konfrontasi" -- yaitu antara "the new emerging forces" dengan "the old established forces" Gagasannya tentang "kekuatan ketiga" dengan demikian ditinggalkannya, barangkali karena adanya peredaan ketegangan antara AS dengan Uni Soviet. Kawan utama Indonesia waktu itu adalah RRT. Indonesia bahkan keluar dari PBB, untuk membentuk semacam PBB sendiri, Conefo (Conference of the New Emerging Forces) yang gedungnya kini jadi Gedung DPR di Senayan . . .  ZAMAN ORDE BARU (1966 sampai sekarang ): Jatuhnya Bung Karno, hancurnya PKI dan konsolidasi pemerintahan Orde Baru praktis membalikkan gerak politik luar negeri kita ke arah yang berlawanan dengan aman Bung Karno. Tentu saja kata "bebas dan aktif" masih dianggap pegangan. Indonesia masuk kembali ke PBB, menghentikan konfrontasinya dengan Malaysia dan Singapura, menyelenggarakan kerjasama regional ASEAN dan mengintensifkan hubungan dengan negara-negara Barat khususnya yang tergabung dalam IGGI. Semua tentang ini sudah banyak diketahui. Juga diketahui pula, meskipun tak selamanya terdengar tegas dan jelas, kritik bahwa politik luar negeri kita kini "terlalu ke sebelah Barat". Kritik terbuka B.M. Diah yang dilontarkannya dalam harian Merdeka baru-baru ini adalah dalam thema itu. Adanya resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyalahkan Indonesia dalam masalah Timor Timur memang menyebabkan terbitnya kritik dan perenungan kembali tentang politik luar negeri kita. Seakan-akan jadi jelas buat pertama kalinya bahwa Indonesia "terpencil" di dunia tak punya teman. Benarkah? Baik suara di Majelis Umum maupun dalam Dewan Keamanan mengenai satu kasus -- dalam hal ini perkara Timor Timur -- belum dengan sendirinya membuktikan bahwa ada yang salah dengan pandangan politik luar negeri kita dewasa ini. Mungkin sebabnya hanya kurang rapinya koordinasi antara pelbagai lembaga di Indonesia dalam mengambil keputusan untuk Timor Timur. "Sudah suatu prestasi bahwa negara-negara Eropa Barat ternyata abstain", kata seorang pejabat senior, "sebab mereka bisa saja ikut mengutuk kita". Meski begitu, tak berarti bahwa kasus yang satu di PBB itu bukan hal yang bisa disepelekan. Diplomasi Indonesia selama ini memang kurang, dalam hubungan dengan apa yang kini merupakan suara kuat di PBB, yakni negeri-negeri berkembang. Setidaknya, bila dibanding dengan seringnya Indoneia bertemu dengan negara-negara donornya, yang kaya yang tergabung dalam IGGI. Diplomasi Indonesia di luar itu juga tak seluas dulu: lebih sering terbatas pada negara-negara ASEAN. Mungkin karena kenyataan, bahwa ide-ide besar yang mencoba merangkum kepentingan luas di dunia seperti dulu ternyata kini tak jalan. Asia-Afrika telah membuat sejarah di tahun 1955, tapi kemudian solidaritas A-A merosot di sana-sini. Ini terutama tampak ketika RRT dan India konflik, di masa dua bintang Konperensi Bandung, Nehru dan Chou En-lai, masih hidup. Pengertian "Non-Blok" sementara itu memang sering membingungkan, khususnya di masa detente dan terurai-berainya masing-masing Blok. Gagasan persatuan negeri berkembang atau "Kelompok 77" menghadapi negeri maju mungkin satu-satunya yang bisa masih berarti. Meskipun siapa tahu perpecahan antara negara eksportir minyak, yang dianggap sudah mulai kaya, dengan negeri miskin tulen, bakal segera muncul. Itu tak berarti bahwa zaman ini dapat dibiarkan terus tanpa gagasan-gagasan penting untuk memperbaiki keadaan dunia, khususnya di bidang hubungan internasional. Sikap mau "pragmatis" untuk kepentingan sendiri semata-mata bisa menjuruskan orang ke politik senang-sendiri yang tanpa moral dan tanpa solidaritas. Keterlanjuran ke arah itu dapat berakibat keterpelcilan benar-benar. Dalam politik hubungan internasional, walaupun sering ada yang kotor, secara obyektif tetap dibutuhkan sikap beradab. Sebab kita hidup di dunia yang belum kehilangan akal sehat dan moralitas 100%. Artinya, masih selalu ada orang lain yang menilai kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus