SONIA Gandhi pernah berkata pada seorang temannya. Lebih baik anak-anaknya mengemis di jalanan bila Rajiv terjun ke dunia politik. Mungkin kutipan dari buku The Nehrus and The Gandhis, An Indian Dynasy karya Tariq Ali itu benar, mungkin tidak. Yang jelas, pada awalnya suaminya, Rajiv Gandhi, sendiri sengaja menjauh dari politik, dan lebih suka duduk di kokpit. Bila akhir pekan lalu Partai Kongres sekali lagi mencoba membujuk Sonia duduk sebagai Ketua Partai menggantikan suaminya -setelah Kamis sebelumnya ia menolak tawaran itu -dan ia tetap menolak, itu mudah dipahami. Dulu, ketika pada akhirnya Rajiv terjun ke dunia politik, Sonia menerimanya lebih sebagai seorang istri yang patuh mengikuti kehendak suami daripada alasan yang lain. Gadis Italia yang lahir di Orbassano, Italia Selatan, 44 tahun yang lalu itu memang berhasil menyesuaikan diri dengan keluarga Indira Gandhi yang berkasta Brahmana, setelah menikah dengan Rajiv pada 1968. Misalnya, ia pun berpuasa tiap Selasa demi keselamatan suaminya, sebagaimana wanita Hindu di India. Ia pun memasak sendiri makanan tertentu untuk ibu mertuanya. Namun, ia tetap memeluk Katolik, dan tetap pergi ke gereja. Ketika Rajiv terpilih sebagai perdana menteri dan ia menjadi ibu negara, ia malah lebih menahan diri. Misalnya, ia tak lagi sering bertemu dengan teman-teman Italianya. Orang asing yang ia temui hanyalah tamu-tamu negara. Ia tak memberi jawaban sepatah kata pun ketika ada tuduhan bahwa ia memanfaatkan kedudukannya untuk teman-teman Italianya. Teman-temannya di kota kelahirannya masih mengenang Sonia. Sebelum Rajiv terjun ke politik, pasangan ini memang sering berkunjung ke Orbassano. "Mereka suka berkeliling dengan sepeda di sore hari," kata Erminia Gallino, tetangga ayah Sonia, sebagaimana diceritakan Reuters. "Dan berbicara dengan Rajiv tak seperti berbicara dengan Gandhi," kata Giuseppina Pantasso, 70 tahun, tetangga yang lain. Maksudnya, seperti berbicara dengan orang biasa, bukan seorang anak perdana menteri. Teman-teman Sonia itu senang bahwa ia menolak jadi ketua partai. Mereka menduga kedudukan itu akan menyulitkan dan membahayakan diri dan anak-anaknya. "Ia kini sendiri tanpa suami dengan dua anak di sebuah negeri yang bagaimanapun bukan negerinya," kata Carolina Santinelli, 22 tahun, sahabat keluarga bapak Sonia. Para tetangga yang lebih tua mencemaskan Sonia yang tinggal punya ibu, karena tiga tahun lalu bapaknya meninggal -bakal senasib dengan ibu mertua dan suaminya bila ia jadi ketua partai dan kemudian perdana menteri. Seandainya Sonia, yang sejak suaminya tewas hanya mengenakan sari berwarna putih, akhirnya menerima tawaran Partai Kongres, ini pun bisa dimengerti. Bukankah itu bisa dianggap sebagai bentuk lain kesetiaannya pada Rajiv? Dalam sebuah wawancara satu-satunya pada 1985, ia pernah berkata, "Rajiv adalah satu-satunya tempatku berlindung ... mengapa aku harus takut mengikuti dia ke India, atau ke ujung dunia sekalipun?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini