SIDANG "stempel karet" ditutup Rabu pekan lalu, setelah berjalan 15 hari. Demikian sebagian orang menamakan sidang tahunan Kongres Rakyat Nasional (KRN), atau DPR model Cina tak lebih dari stempel karet para penguasa Beijing. Tapi, suka atau tak suka ada beberapa keputusan KRN kali ini yang menarik dan patut dicatat. Antara lain, mundurnya Deng Xiaoping dari kursi Ketua Komisi Militer Negara, jabatan resmi terakhir yang masih dipegangnya sampai dua minggu lalu. Seperti yang sudah diduga, yang menggantikannya tak lain dan Ketua Partai Jiang Zemin, yang juga menduduki jabatan Ketua Komisi Militer dalam Komite Sentral. Dengan demikian, di atas kertas Jiang adalah ahli waris kepemimpinan Deng dan juga manusia yang paling besar kekuasaannya di Cina dewasa ini. Kini juga makin jelas bahwa kaum reformis radikal telah tersingkir paling tidak untuk sementara waktu. Tadinya, sebelum sidang KRN berlangsung tersebar desas-desus bahwa Li Peng akan digeser dari kursi perdana menteri karena Li kelewat konservatif dan pandangan-pandangan serta ucapan-ucapannya sering menunjukkan kepongahan konstervatisme. Ternyata, justru Li menunjukkan penampilan yang lain. Pidato pembukaan Li Peng, misalnya, menunjukkan sikap baru yang berbau reformis. Ia mengusulkan agar perencanaan terpusat dijalankan tak terlalu ketat dan sedikit lebih luwes. Ia juga setuju memompakan dana untuk menghidupkan kembali kegiatan ekonomi yang tersendat lantaran peranan terpusat yang diberlakukan kembali setelah program penghematan dijalankan mulai 1988, dan sejak pertengahan 1989 setelah peristiwa Tiananmen. Tapi banyak pengamat yang meragukan kesungguhan Li dalam menangani kesulitan ekonomi tersebut karena keadaan ekonomi Cina yang babak belur. Banyak perusahaan bangkrut, produksi menurun, dan makin banyak orang menganggur. Pendapatan nasional 1989 memang naik, tapi hanya kurang dari 4%. Padahal, sepuluh tahun terakhir angka rata-ratanya tak kurang dari 11%. Lebih dari 20 ribu pabrik, atau 5% dari jumlah yang ada, menganggur karena permintaan produknya menurun drastis. Angka pengangguran resmi adalah 4% atau 5,5 juta orang. Tapi, ke dalam angka itu tak termasuk ratusan ribu dan malah jutaan orang yang tak bekerja tapi masih menerima gaji. Angka resmi laju inflasi 18%, sedangkan kenyataannya menurut perkiraan mencapai 30%. Belum lagi kewajiban untuk membayar utang luar negeri US$ 44 milyar sedangkan menurut IMF cadangan pembayaran luar negerinya pada 1988 hanya US$ 17,5 milyar dan terus menurun. Keputusan penting yang lain adalah pengesahan UUD untuk Hong Kong menjelang pengalihan kekuasaan ke tangan RRC pada 1997 nanti. Tapi, ini pun tak ada yang baru. UU itu hanya mengkonfirmasikan secara resmi janji RRC dalam memerintah wilayah itu nanti. Yakni setelah 1997 Hong Kong tetap memiliki otonomi penuh dalam segala bidang kecuali pertahanan dan kebijaksanaan luar negeri. Sistem kapitalisnya kini akan dibiarkan terus sampai tahun 2047, selama 50 tahun. UU itu juga menjamin koloni tersebut akan tetap menjadi pusat keuangan internasional dan akan tetap berfungsi sebagai pelabuhan bebas. Juga sistem hukum Inggris yang berlaku sekarang akan tetap dianut. Tapi beberapa kalangan di Hong Kong merasa tak puas dengan UU tersebut. Yang mereka persoalkan adalah tak tercantumnya hak-hak demokrasi yang liberal seperti yang dewasa ini dianut. Dengan tak adanya jaminan tersebut, sangat mudah bagi RRC untuk memberlakukan keadaan bahaya seperti yang dilakukannya pada awal Juni tahun silam. Tampaknya, KRN memang masih sebuah "stempel karet". ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini